Pernyataan Sikap Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD)

Sumber: adobestock
Menyikapi wacana Perubahan Undang-Undang Penyiaran Usul Inisiatif DPR-RI periode 2019– 2024, pada hari Sabtu tanggal 18 Mei 2024, sejumlah jurnalis, praktisi media komunitas, akademisi, peneliti, dan elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD) menyatakan MENOLAK Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran Usul Inisiatif DPR-RI periode 2019 2024 karena berpotensi merusak masa depan media dan demokrasi di Indonesia.
Terdapat tiga kategori alasan penolakan kami, yaitu: (1) alasan administrative procedural, (2) alasan substansi, dan (3) kepentingan Publik.
Terkait dengan alasan administrative procedural terdapat tiga poin penting, yaitu:
Pertama, secara administrative procedural DPR-RI dan Presiden periode 2019 2024 sudah tidak memiliki legitimasi kewenangan untuk membuat peraturan perundangan baru mengingat masa kerja mereka kurang dari enam bulan. Apabila DPR-RI tetap memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU dan pengesahan UU, hal itu jelas tidak sesuai dengan etika hukum (constitutional ethics). Di negara-negara demokratis mana pun, ketika legislatif dan kepala negara maupun kepala pemerintahan baru sudah terpilih, maka pemerintahan yang eksisting tidak akan membuat keputusan baru dan strategis. Kalau DPR-RI dan Pemerintah tetap memaksakan diri membahas dan mengesahkan RUU menjadi UU, mereka tidak lagi memiliki legitimasi kekuasaan sehingga keputusan yang diambil tidak sah, dan patut dipertanyakan; apakah agenda terselubung di balik itu.
Kedua, proses penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran selama ini tidak transparan. Masyarakat tidak tahu prosesnya, namun tiba-tiba draf RUU Penyiaran sudah mewujud. Selama ini tidak ada niat baik dari DPR-RI untuk transparan dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran. Kalau akhirnya sebagian masyarakat dapat memperoleh draf RUU Penyiaran, hal itu bukan karena adanya transparansi dari pihak DPR-RI, melainkan hasil perjuangan kelompok masyarakat sipil. Padahal UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sangat jelas mengamanatkan perlunya transparansi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sebab, ketika prosesnya tidak transparan, keputusan yang diambil juga tidak akuntabel. Kami berpendapat bahwa proses penyusunan dan pembahasan draf RUU Penyiaran yang tidak transparan dan tidak akuntabel ini mengindikasikan adanya iktikad tidak baik yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat sebagaimana terjadi pada revisi UUKPK dan lahirnya UU Cipta Kerja.
Ketiga, langkah DPR-RI dalam penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran tidak
sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Salah satu catatan penting dari putusan MK tersebut adalah pentingnya partisipasi
masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam proses perumusan
peraturan perundangan, terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak
langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang
yang sedang dibahas.
Sementara itu, terkait aspek substansi, draf RUU Penyiaran berpotensi menambah masalah tata kelola media penyiaran, platform digital, dan demokrasi di masa depan. Beberapa contoh aspek substansi yang bermasalah, antara lain:
- RUU Penyiaran hanya melegitimasi praktik-praktik bisnis penyiaran yang toksik, tidak sehat, baik secara bisnis maupun sosio-kultural, yang berlangsung selama ini.
- Mendowngrade eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi lembaga yang hanya bertugas mengawasi isi siaran.
- Men-downgrade Lembaga Penyiaran Publik menjadi Lembaga Penyiaran Negara.
- Mengaburkan eksistensi Lembaga Penyiaran Publik Lokal.
- Mencampuradukkan pengaturan penyiaran dengan platform digital.
- Adanya pelarangan penayangan produk jurnalistik investigatif.
- Adanya tumpang tindih kewenangan regulator.
- Menempatkan peran serta masyarakat (komunitas, lembaga pendidikan, maupun individu) dalam fungsi yang sangat sempit hanya sebagai pemantau dan pengadu konten bermasalah dalam ekosistem penyiaran.
- Tidak ada upaya serius untuk memperkuat Lembaga Penyiaran Komunitas.
Adapun terkait dengan kepentingan publik, FPMD menyadari adanya kesenjangan pengetahuan antara kelompok masyarakat yang terliterasi dengan mereka yang belum memiliki literasi memadai mengenai media dan demokrasi. Untuk itu FPMD, berkomitmen untuk meningkatkan literasi masyarakat luas akan pentingnya media dan demokrasi di Indonesia.
Selain itu, kami juga mendesak agar:
- DPR RI segera menghentikan proses pembahasan RUU Penyiaran, kemudian proses pembahasan RUU Penyiaran dilakukan oleh DPR RI periode 2024- 2029 yang memiliki cukup waktu.
- DPR RI dan Pemerintah berikutnya harus mengatur penyiaran secara komperhensif dengan Parapihak terkait, sehingga tidak ada benturan kewenangan dan pengaturan dengan kebijakan lainnya.
Kami mengajak seluruh warga indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam mengawal penyiaran yang demokratis sehingga bermanfaat bagi semua warga negara Indonesia. Demikian Pernyataan Sikap ini dibuat sebagai bentuk penolakan atas berlangsungnya proses pembahasan RUU Penyiaran oleh DPR RI periode 2019 2024.
Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD)
DAFTAR ANGGOTAFORUMPENYELAMATMEDIADANDEMOKRASI (ORGANISASI/INDIVIDU):
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta 2. Combine Resource Institution (CRI) 3. Eko Wahyuanto (Warganet) 4. Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) 5. Jalin Merapi 6. Made Supriatma (Peneliti) 7. Masyarakat Cipta Media (MCM) 8. Masyarakat Peduli Media (MPM) 9. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta 10. PR2Media 11. Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RLPP) 12. Sumbo Tinarbuko (Warganet) 13. Maulin Niam (Mahasiswa UGM.