Merancang Pendidikan Kebencanaan di Indonesia

 Merancang Pendidikan Kebencanaan di Indonesia

Indonesia di pengujung 2018 mengalami duka mendalam. Setelah gempa Lombok kita disentakkan oleh gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. 

Belum selesai duka itu, tepat di ujung Desember 2018, tanpa gempa, masyarakat dikagetkan dengan tsunami yang meluluhlantakkan pesisir pantai Banten dan Lampung Selatan. Di saat berkunjung ke Banten, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerapkan pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah merespons begitu banyak kerugian baik materi maupun jiwa akibat terjadinya bencana. 

Perintah Presiden kepada Mendikbud menunjukkan betapa pentingnya pendidikan kebencanaan untuk mengantisipasi dan meminimalkan kerugian, baik materi maupun jiwa. Karenanya, kita berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa secara serius merancang model pendidikan kebencanaan di Indonesia. 

Kerawanan Indonesia 

Semua mafhum negara kepulauan ini selain menyimpan keindahan bak percikan surga juga menyimpan potensi keben canaan yang tinggi. Letak Indonesia yang sering disebut sebagai ring of fire dan berada dalam banyak patahan aktif menjadikan fenomena alam seperti gempa, erupsi gunung merapi, banjir, longsor sering terjadi. Dalam catatan pusat studi gempa baru 20% patahan yang terpetakan dengan baik, masih ada 80% yang belum terdata karena kekurangan dana untuk penelitian. 

Bahkan Pusat Data Gempa (Pusgem) merilis fasilitas pendidikan di zona kerentanan tinggi sebanyak 2.892 bangunan sekolah tempat anak-anak bangsa menimba ilmu dan merajut masa depan, 40 rumah sakit dan 126 puskesmas, serta ada 4.103.975 jiwa penduduk. Pusgem juga menyebut infrastruktur trans portasi yang masuk daerah rawan ada 11 pelabuhan, 21 terminal, 237 ruas jalan pro vinsi sepanjang 652,3 km, 31 ruas jalur kereta api dengan sepanjang 83,3 km, dan 15 ruas jalan tol sepanjang 20,1 km. MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) juga merilis data kerawanan banjir terutama untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah di DIY dan Jateng, 445 sekolah Muhammadiyah dalam kategori sedang, dan 77 sekolah dalam kategori kerawanan banjir tinggi, dari 1.213 sekolah. 

Data di atas sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa masyarakat kita bersanding dengan kerawanan bencana. Bagi masyarakat Indonesia, mitigasi bencana merupakan hak sekaligus kewajiban, bahkan perlu diwacanakan untuk masuk dalam UUD negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Mengetahui tingkat kerawanan berarti kita dapat meminimalkan kerugian baik jiwa maupun materi. Menarik definisi disaster yang sering kita terjemahkan sebagai bencana. Menurut Cambridge Advanced Leanerís Dictionary, “An event which result in great harm, damage or death or serious difficulty”, suatu peristiwa yang mengakibatkan kerugian besar, kerusakan atau kematian atau kesulitan yang serius. 

Berlandaskan pengertian ini, sesungguhnya kejadian alam atau kejadian di sekitar kita tidak dapat secara otomatis menjadi bencana, ketika kejadian tersebut tidak menimbulkan apa yang didefinisikan sebagai disaster. Kejadian seperti gempa, banjir, longsor, dan sebagainya bisa jadi tidak menjadi bencana jika kita memahami cara mengurangi risikonya. Apa yang menjadi instruksi Presiden tentang pendidikan kebencanaan harus kita kawal serius karena berkaitan dengan masa depan bangsa ini. 

Pendidikan Kebencanaan 

Keinginan untuk memasukkan pendidikan kebencanaan di dalam kurikulum, jangan hanya berhenti di pembelajaran, yang hanya menghasilkan aspek kognitif. Sebab, jika kurikulum diartikan hanya aspek pembelajaran dan mata pelajaran, pendidikan kebencanaan tidak akan mengubah apapun. Kita berharap pendidikan kebencanaan menyentuh pada aspek kepribadian yang menjadi sikap hidup peserta didik. Ada tiga pilar utama pendidikan kebencanaan. Pertama, fasilitas. Data menunjukkan banyak fasilitas sekolah yang rentan terhadap bencana. 

Artinya, sekolah dibangun tanpa mempertimbangkan faktor-faktor keamanan terhadap bencana. Ketika sekolah sudah berdiri seperti sekarang ini untuk melakukan perbaikan gedung tentu memakan dana tidak sedikit. Karenanya, yang bisa dilakukan adalah memperbaiki hal-hal kecil seperti meja kursi yang aman, tempat almari, pintu dan lain-lain agar anak-anak aman dalam bersekolah. Di sisi lain, jika pemerintah memberi bantuan fasilitas ke pada lembaga pendidikan maka faktor aman bencana menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi. 

Pilar kedua, manajemen sekolah. Sekolah adalah tempat terlama setelah rumah bagi anak-anak menghabiskan waktu hidupnya. Ketika terjadi ben cana dan mereka berada di sekolah, maka menjadi tanggung jawab sekolah untuk melakukan penyelamatan. Karenanya kepala sekolah, guru, dan warga sekolah harus paham apa yang harus dilakukan. Harus mulai disusun panduan-panduan atau SOP oleh sekolah, sosialisasi, hingga melakukan kegiatan simulasi secara berkala yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler. 

Manajemen sekolah aman bencana pada akhirnya dapat menjadi budaya dan membentuk karakter warga sekolah dalam menghadapi bencana. Pilar ketiga, kurikulum. Pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah sudah selayaknya masuk dalam kurikulum pembelajaran di kelas. Tentu tidak dengan memunculkan mata pelajaran baru, akan tetapi terintegrasi melalui mata pelajaran yang sudah ada, misalkan mata pelajaran IPS, IPA, agama, dan mata pelajaran yang lain.

Guru harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan agar mampu mengaitkan mata pelajarannya dengan kejadian bencana. Pengintegrasian pemahaman kebencanaan ke dalam mata pelajaran penting agar siswa tidak terbebani dengan materi baru, akan tetapi dapat memahami dengan baik tentang ke bencanaan. 

Kesadaran Memulai 

Menunggu peraturan Mendikbud tentang pendidikan kebencanaan tentu butuh waktu. Padahal, kejadian yang menyebabkan bencana bisa kapan saja terjadi. Karenanya, kesadaran para pengelola pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dalam menyiapkan peserta didik siap menghadapi kejadian yang dapat menimbulkan bencana harus segera dimulai, tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah atau lembaga lain. 

Sekolah secara mandiri dapat memulai melakukan langkah-langkah kecil, menerapkan sekolah aman bencana. Benar adanya bencana adalah kehendak Tuhan, akan tetapi usaha pencegahan dan pengurangan risiko bencana adalah perintah Tuhan juga. Maka, ikhlas dan sabar diwujudkan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana di sekolah. []

Sumber: tulisan ini dimuat di Opini Koran Sindo, 30 Januari 2019. diunggah kembali sebagai bahan edukasi.

Bagikan yuk

Arif Jamali Muis