Pramoedya dan Polemik Hadiah Magsaysay

Pramoedya Ananta Toer di rumahnya, Jakarta, 1998. Sumber: Tempo.co
Oleh: Rizki AN
Sosok Pramoedya Ananta Toer tidak bisa dipisahkan dari sisi kontroversialnya. Karya-karyanya yang dilarang, naskah yang dibakar, dirinya yang diasingkan di Pulau Buru, dan rentetan peristiwa lainnya. Tulisan ini akan mengulas satu mata rantai peristiwa yang membuat Pram kembali menuai polemik setelah puluhan tahun dibisukan.
Pada 1995, Yayasan Ramon Magsaysasy dari Filipina menganugerahi Pram penghargaan untuk bidang sastra dan jurnalistik. Sejumlah sastrawan tanah air menolak pemberian penghargaan tersebut kepada Pram. Pasalnya, mereka masih menimbang dosa politik sastra Pram semasa aktif di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan PKI (Partai Komunitas Indonesia). Di antara yang keras menolak adalah Taufiq Ismail dan Mochtar Lubis.
Di tahun yang sama, Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto menerbitkan buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI. Buku ini merupakan suksesor dari “Buku Putih” yang merupakan penafsiran dari militer terhadap kup G 30 S/PKI. Prahara Budaya bertujuan meneguhkan kembali bahaya laten komunisme, di saat yang bersamaan menyentil LEKRA dan Pram.Buku ini disusun dengan seenaknya memilih karangan para penulis Lekra yang menurut mereka dapat menjadi petunjuk perencanaan peristiwa G 30 S/PKI.
Prahara Budaya adalah komitmen atas ideologi anti-komunisnya kepada pemerintah Orde Baru. Sebelumnya, Taufiq Ismail mendekati pemerintah untuk mendapatkan suntikan dana bagi keberlangsungan majalah Horison, juga menyusun agenda untuk propaganda pemerintah. Selain itu, Taufiq dan Horison menggelar sejumlah program di bidang Pendidikan untuk menggugah aktivitas kesusastraan murid dan guru Sekolah Menengah Atas. Semuanya dilakukan untuk pemerintah Orde Baru sebagai penyuntik.
Di sisi lain, Mochtar Lubis yang pernah memenangkan penghargaan yang sama dengan Pram pada 1958, mengembalikan penghargaan Magsaysasy kepada Yayasan Ramon Magsaysay sebagai bentuk protesnya.
“Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan terhadap sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia,” katanya dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Hadiah Magsaysay.
Lubis menilai Pram tidak selayaknya mendapatkan penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik. Pasalnya, salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan itu memandang Pram dan Lekra sebagai pihak yang menindas kebebasan berekspresi pada masa Demokrasi Terpimpin.
Menanggapi posisi Pram tersebut, sejumlah anak muda yang mendukung Pram. Dukungan yang diberi tajuk “Pernyataan Muda untuk Kebudayaan” ditandangani oleh Ariel Heryanto, Tommy F. Awuy, Wiji Thukul, Arif Budiman, Hilmar Farid, dan pemuda lainnya.
Kehadiran wacana tandingan itu mengomentari sikap budaya tidak demokratis yang masih dipelihara oleh kaum tua. Pasalnya, belum ada forum terbuka yang adil untuk menerangkan kontroversi Pram sebab Pram sendiri tidak diizinkan untuk berbicara di hadapan media massa.
Goenawan Mohamad yang dulunya berada satu barisan dengan Lubis dan Taufiq ditandai dengan Manifes Kebudayaan justru membela Pram dalam polemik ini: “Saya menolak ramai-ramai menyerang Pram. Karena Pram dalam keadaan tak bebas seperti bebasnya Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail. Pram memang diwawancarai majalah kampus dan pers luar negeri, tapi ia tak akan diwawancarai televisi atau boleh ceramah di TIM. Saya terima Pram aktif dalam semarakkan suasana intoleran dan represif 31 tahun yang lalu.”
Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis pernah bersikukuh hingga menyebabkan Horison terpecah dua, Horison lama dipegang oleh Mochtar Lubis, sedangkan Horison baru diterbitkan sendiri oleh Goenawan Mohamad. Selain itu, Tempo bikinan Goenawan Mohamad dilarang oleh Orde Baru untuk kedua kalinya pada 1994. Sejak saat itu, ia konsisten mengagendakan beragam bentuk perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru.