Hari Bumi 2024, Saatnya Memperluas Solidaritas untuk Palestina

 Hari Bumi 2024, Saatnya Memperluas Solidaritas untuk Palestina

Sumber: Rumah Baca Komunitas

Wahyu Eka Styawan, (Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur/Periset Independen).


Wilayah Palestina merupakan titik persimpangan yang menyedihkan di mana kenyataan pahit mengenai ketidakadilan dan degradasi lingkungan bertemu. Selama beberapa dekade, rakyat Palestina telah mengalami ketidakadilan yang mendalam, termasuk pemindahan paksa, pendudukan, dan diskriminasi sistemik.

Pembentukan Negara Israel pada tahun 1948 telah menyebabkan ratusan ribu warga Palestina mengungsi, mengakibatkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan dan tengah berlanjut hingga hari ini. Pendudukan berikutnya di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 1967 semakin memperkuat siklus penindasan, di mana warga Palestina menghadapi pembatasan pergerakan, perampasan tanah, penahanan sewenang-wenang hingga penghilangan nyawa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ilan Pappe (2017) dalam bukunya berjudul “Ten Myths About Israel.”

Penderitaan warga Palestina ditandai dengan serangkaian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh berbagai aktor, baik Israel beserta sekutunya. Operasi militer Israel seringkali mengakibatkan korban sipil, kerusakan infrastruktur, dan trauma psikologis. Perluasan pemukiman di Tepi Barat tidak hanya melanggar hukum internasional tetapi juga memperburuk ketegangan dan melemahkan upaya perdamaian.

Dr. Adnan Al-Wahaidi seorang Direktur Medis pada Pusat Gizi Anak  Ard El Insan di Gaza, pada tahun 2008 mengirimkan laporan ke United Nation berjudul “Human Right Situation in Gaza.” Isi laporan tersebut berisi tentang blokade Gaza oleh Israel telah menciptakan krisis, seperti semakin langkanya bahan pangan, obat-obatan, buku dan aneka barang penting lainnya, akibatnya akses terhadap layanan pangan, kesehatan dan pendidikan terbatas, mungkin perlahan hilang. Tampaknya situasi tersebut tidak berubah bahkan semakin parah, bahkan sepanjang 2023-2024 krisis kemanusiaan telah mencapai pada titik puncak, sebagaimana yang disampaikan oleh Islamic Relief dalam rilis medianya “Gaza now the world’s worst hunger crisis and on the verge of famine.”

Krisis kemanusiaan ini semakin diperparah dengan rusaknya sumber alam sebagai sumber penghidupan rakyat Palestina, seperti isi dalam buku yang dieditori oleh Englert, dkk (2023) “From The River to The Sea” yang merupakan kumpulan esai dari para jurnalis, akademisi dan pejuang kemanusiaan. Perlu diketahui bahwa dua dari penulis dalam buku ini, Dr. Hammam Alloh dan Khalil Abu Yahia yang tinggal di Gaza, saat ini telah meninggal dikarenakan dibunuh oleh Israel melalui serangan udara.

Catatan-catatan para penulis dalam buku tersebut telah merangkum sebuah gambaran mengenai degradasi ekosistem yang parah di Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat. Kondisi tersebut semakin memperburuk kesulitan yang dihadapi rakyat Palestina. Perlu digaris bawahi bahwa pendudukan Israel telah menyebabkan eksploitasi sumber alam, termasuk air dan tanah, semuanya untuk kepentingan permukiman Israel. Hal ini mengakibatkan kelangkaan air, erosi tanah, dan polusi, yang mengancam kesehatan dan penghidupan warga Palestina.

Hari Bumi untuk Palestina

Al-Butmeh dkk (2019) pada bab berjudul “The environment as a site of struggle against settler-colonisation in Palestine” dalam buku “Environmental Justice, Popular Struggle and Community Development Series: Rethinking Community Development,” mengatakan bahwa di Gaza, sekitar hampir 70% penduduknya adalah pengungsi. Kondisi tersebut merupakan bentuk dari penjajahan Israel yang terjadi dalam bentuk blokade dan serangan militer berkala. Contohnya yakni akses keluar dan masuk ke Jalur Gaza dikontrol ketat oleh militer Israel. Lalu, akses terhadap air bersih hampir nol, karena secara sengaja dimatikan. Ujung selatan akuifer pesisir tempat Gaza bergantung telah terkuras hingga menjadi asin akibat timbunan air dari laut dan aktivitas pengambilan air besar-besaran oleh Israel, yang saat ini kondisi akuifer pesisir hampir runtuh. Sementara pengisian kembali akuifer telah terhalang oleh pembendungan dan pengambilan air dari Wadi Gaza oleh Israel.

Israel juga secara tidak manusiawi memberlakukan pembatasan ketat terhadap masuknya bahan-bahan pertanian, mulai dari pupuk hingga fasilitas penunjang pertania, seperti pembangunan sumur. Pergerakan internal ke Tepi Barat dan ekspor produk pertanian sangat dibatasi oleh Israel, baik dalam segi waktu, kuantitas, dan tindakan pemeriksaan yang sewenang-wenang. Penangkapan ikan yang pernah menjadi industri besar di Gaza, saat ini telah hancur tepatnya dihancurkan paksa, karena zona eksklusi pantai tengah diberlakukan oleh Israel. Selain itu serangan rutin terhadap kapal-kapal Palestina telah melumpuhkan penangkapan ikan. Tidak hanya itu, limbah industri baik pertanian maupun manufaktur telah mencemari laut, sehingga ikan susah berkembang biak karena menghuni wilayah yang terkontaminasi.

Pada tahun 2015, Palestinian Environmental NGOs Network – FoE Palestine Through: Maan Development Center dalam laporan assessment berjudul, “2014 War on Gaza Strip: Participatory Environmental Impact Assessment,” melaporkan kerusakan ekosistem yang cukup luas di Palestina khususnya Gaza, di mana akibat serangan dan aksi pendudukan Israel telah menyebabkan polusi udara, polusi air, kerusakan infrastruktur air, degradasi tanah, kontaminasi bahan kimia, polusi pesisir, dan kerusakan kawasan hijau. Akibat aneka kerusakan ekologis tersebut, masalah kesehatan lingkungan cukup besar dan diperkirakan akan meningkat akibat serangan Israel, termasuk penggunaan bahan kimia beracun dalam perang.

Dari pengantar di atas, bahwa kaitan antara ketidakadilan dan degradasi lingkungan di Palestina tidak dapat disangkal. Eksploitasi sumber alam oleh Israel melalui pendudukan dan penguasaan paksa tidak hanya melanggengkan siklus penindasan, namun juga memperburuk degradasi lingkungan, sehingga semakin membahayakan masa depan rakyat Palestina.

Persoalan kerusakan ekosistem berdampak besar pada komunitas marjinal dan memperburuk kesenjangan dan ketidakadilan yang ada. Misalnya, kelompok masyarakat rentan, termasuk masyarakat berpendapatan rendah dan masyarakat kulit berwarna, sering kali menanggung beban degradasi lingkungan, mengalami masalah kesehatan terkait polusi yang lebih tinggi, dan terbatasnya akses terhadap udara bersih, air, dan ruang hijau. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dirasakan oleh rakyat Palestina, yang kehidupannya dipenuhi diskriminasi hingga dirampas serta dirusak sumber kehidupan mereka.

Hari Bumi dan perjuangan Palestina adalah dua topik penting yang menyoroti perlunya keadilan lingkungan dan sosial. Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah lingkungan dan mendorong tindakan untuk melindungi planet kita. Sebuah memoriam yang berfungsi sebagai pengingat akan keseimbangan antara aktivitas manusia dan ekosistem bumi.

Sejak dimulai pada tahun 1970, Hari Bumi telah berkembang menjadi gerakan global, dengan jutaan orang di seluruh dunia berpartisipasi dalam aktivitas penyelamatan ekosistem, seperti penanaman pohon, kampanye lingkungan hidup, dan advokasi praktik berkelanjutan. Fokus Hari Bumi pun saat ini telah diperluas hingga mencakup berbagai isu lingkungan, termasuk perubahan pangan, iklim, polusi, penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan keadilan lingkungan.

Tantangan-tantangan saat ini tengah mengancam kesehatan planet kita dan kesejahteraan generasi mendatang, sehingga menggarisbawahi pentingnya tindakan kolektif. Pada saat yang sama, perjuangan Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan keadilan terus menjadi isu mendesak di Timur Tengah bahkan secara global.

Rakyat Palestina telah menghadapi pengungsian, pendudukan, dan pelanggaran hak asasi manusia selama puluhan tahun, yang mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang besar. Konflik yang sedang berlangsung telah mengakibatkan hancurnya rumah, infrastruktur, dan lahan pertanian, memperburuk degradasi lingkungan dan melemahkan upaya pembangunan berkelanjutan.

Hari Bumi Harus Memperluas Solidaritas untuk Palestina

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, gerakan-gerakan akar rumput di Palestina dan upaya solidaritas di seluruh dunia terus mengadvokasi hak-hak warga Palestina, termasuk hak untuk hidup bermartabat, bebas, dan lingkungan yang sehat.

Di titik persimpangan antara Hari Bumi dan perjuangan Palestina, terdapat peluang untuk mengakui keterkaitan antara isu-isu lingkungan dan keadilan sosial. Dengan mengakui dampak yang tidak proporsional dari degradasi lingkungan terhadap komunitas yang terpinggirkan, termasuk warga Palestina, kita dapat berupaya mencapai solusi yang mendorong kesetaraan, ketahanan, dan keberlanjutan bagi semua.

Mengatasi masalah ketidakadilan dan degradasi lingkungan yang saling terkait di Palestina memerlukan perluasan solidaritas dan penguatan tekanan global. Seperti mendorong komitmen untuk menegakkan hukum internasional dan menghormati hak-hak warga Palestina. Hal ini termasuk mengakhiri pendudukan, memberantas pemukiman ilegal, dan mendorong penyelesaian konflik yang adil berdasarkan prinsip kesetaraan dan penentuan nasib sendiri.

Pada akhirnya, Hari Bumi harus menjadi sebuah seruan untuk bertindak melindungi planet kita dan menjamin masa depan yang lebih baik bagi semua makhluk hidup, termasuk mereka yang terkena dampak konflik dan ketidakadilan. Dengan meningkatkan kesadaran, memupuk solidaritas, dan mengadvokasi perubahan yang berarti, kita dapat membangun dunia yang lebih adil dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Wahyu Eka Styawan

Sebagai penutup, bahwa mustahil kita mewujudkan keadilan iklim (climate justice) atau keadilan lingkungan atau keadilan ekologis, selama masih ada perang, masih ada penindasan dan masih ada eksploitasi atas alam dan manusia. Konsep-konsep tersebut runtuh dengan sendirinya, karena berbicara keadilan tetapi melupan penindasa yang nyata, seperti yang terjadi di Palestina.

Selamat Hari Bumi dan Mari Kita Serukan Palestina Merdeka!!!

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.