Biologi, Politik, dan Adaptivitas*

Ilustrasi kompas.com
Salah satu cara membahas situasi sulit kemanusiaan yaitu memandang manusia sebagai bagian dari alam. Peluang dan kebutuhannya sama dengan makhluk hidup lainnya.
Politik hampir tidak pernah dihubungkan dengan biologi, tetapi WJM Mackenzie (1909-1996) melakukannya dalam Biological Ideas in Politics (1978). Tidak baru tentu, kecuali belum pernah mendengarnya.
Pada sampul belakang bukunya tertulis: Mackenzie menempatkan gagasan ke dalam konteks, melakukan eksplorasi debat antara ilmu-pengetahuan dan “non-science”; ataupun dialog yang berlangsung di antara ilmuwan, filsuf, sosiolog, dan politikus, serta menawarkan eksposisi tentang bagaimana manusia melihat diri dan masa depannya.
Adaptivitas Manusia dalam Politik
Menggabungkan biologi dan ilmu politik, artinya Mackenzie berada dalam setidaknya tiga pilihan: satu memperlakukan bidang biologi sebagai analogi sosial dan metafor, dan menurut dia hal itu sudah umum (saya teringat kritik sosial Taufiq Ismail semasa Orde Baru: “badak Indonesia paling tebal kulitnya”).
Pilihan kedua, memanfaatkan ilmu biologi sebagai metode bagi kehidupan sosial manusia (politikus dengan “ilmu kadal”?).
Pilihan ketiga, memperlakukan manusia sebagai subyek biologi, dalam arti sejarah alamiah manusia sebagai “akhir” dari kajian tentang bentuk-bentuk kehidupan lain (h. 20).
Mackenzie memilih yang ketiga: bahwa gagasannya ialah tentang daya adaptivitas (adaptivity) dalam politik.
Seingat saya, dalam kasus Indonesia, kaum politikus sudah sering memperlihatkan adaptivitasnya dengan ilmu kutu loncat, berpindah partai seenak perut, seolah-olah berpolitik itu bukan masalah ideologi, melainkan keselamatan (survival) jika situasi mendesak; ataupun kesempatan atawa oportunitas jika – dan apalagi – menguntungkan, baik secara politis maupun – tentunya – finansial.
Betapa pun, kiranya gejala yang memicu Mackenzie tidaklah segamblang itu. Menengok referensinya, menurut pengulas Thomas Thorson pada 1980, yang dihadapinya pada 1960-an bukan sekadar ilmu sosial di Amerika Serikat dalam proses mengejar ketertinggalan, dari ilmu pengetahuan alam di akhir abad ke-19 ataupun teori sosial Eropa (mengaku sempat tak tahu siapa Weber siapa Adorno pada 1950-an), melainkan juga kenyataan terdapatnya revolusi dalam ilmu pengetahuan alam kontemporer.
Memasuki abad ke-20, dunia pemikiran dan seni terdominasi pola dan prosedur matematika yang statis, struktural, ahistoris, dan abstrak. Akan tetapi, ini segera digantikan humanisme baru nan penuh interaksi kompleks berbagai aspek kehidupan manusia dan budaya, selain perhatian baru pada “fungsi” – bukan dalam pengertian kuasi-fisiologis antropologi fungsionalis awal abad ke-20 atau arsitektur fungsional tahun 1920-an, tetapi dalam pengertian evolusioner, berfokus pada “adaptasi” ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni terhadap perubahan kebutuhan dan keberadaan kondisi manusia (h. 53).
Dengan kata lain, politikus (dan zoon-politicon lain, bukan hanya anggota partai) diperiksa sebagai “makhluk”, yakni spesies manusia, dan karena itu bagi Mackenzie, kesuksesan biologis manusia merupakan konsekuensi dari adaptasi sosialnya – alias selangkah kecil sahaja dari perbincangan politik (h. 16).
Dari perspektif ini, demikian Thorson, Mackenzie memperbincangkan manusia sebagai subyek ilmu pengetahuan alam kontemporer yang ortodoks, yakni sebagai produk evolusi. Adapun caranya: meninjau kritik kepada pandangan tersebut, melakukan evaluasi terhadap spekulasi “batas pertumbuhan” (lebih populer sebagai the limit to growth) pada 1970-an itu, dan simpulan atas institusi adaptif sebagai harapan manusia.
Kesuksesan biologis manusia merupakan konsekuensi dari adaptasi sosialnya – alias selangkah kecil sahaja dari perbincangan politik.
Kesuksesan biologis manusia merupakan konsekuensi dari adaptasi sosialnya – alias selangkah kecil sahaja dari perbincangan politik.
Petaka Darwinisme Sosial
Menghubungkan biologi dan politik, klise yang berlaku memang Darwinisme Sosial, bias konsep-konsep Charles Darwin (1809-1882) tentang evolusi biologi, yang sosialisasinya ke jalanan seolah-olah eksis hanya dengan dua pengertian: yang selamat hanya yang kuat (survival of the fittest) dan “seleksi alam” – yang dalam kebudayaan, dan politik sebagai bagiannya, hanya berlaku pada biologi manusia, bukan ideologinya.
Namun, rupanya terpikir, seperti berlaku pada Mackenzie: terdapatnya implikasi gagasan biologis terhadap pemahaman politik kontemporer 1970-an, berdasarkan kontemplasi dan pengalaman panjang dalam kajian dan praktik politik abad ke-20.
Salah satu cara memperbincangkan situasi sulit kemanusiaan, bahkan sampai abad ke-21, ialah memandang manusia sebagai bagian dari alam, dan subyek yang peluang serta kebutuhannya sama belaka dengan makhluk-makhluk hidup lainnya: dari nyamuk sampai zebra.
Oleh karena itu, dapat diperdebatkan, bagaimana manusia sudah kelewat sukses demi dirinya – dan sekarang membahayakan lingkungannya, yang juga berarti spesies manusia itu sendiri. Tak hanya pakar biologi dan ekologi yang mesti dianggap akan prihatin, tetapi juga politikus dan khalayak mana pun.
Situasi tersebut seperti (dan telah) memberi peluang terhadap Darwinisme Sosial, yang membenarkan siapa pun bukan hanya selamat karena kuat – atau terkuat – tetapi juga menguasai, dengan cara yang berbahaya sekaligus menjijikkan, seperti menghalalkan rasisme.
Bagaimana manusia sudah kelewat sukses demi dirinya – dan sekarang membahayakan lingkungannya, yang juga berarti spesies manusia itu sendiri.
Menghadapi serangan atas konsep “politik biologi” semacam ini, Mackenzie bertahan dengan pendapat: manusia sudah menjadi sejahtera bukan karena adaptivitas biologis, melainkan adaptivitas sosial, dan masa depannya dibatasi oleh kemampuan itu.
Masih saja, kata banyak pihak yang menolaknya, adaptasi tidaklah dipilih atau dikehendaki; itu terjadi, oleh peluang dan keharusan, sedangkan manusia memiliki kemauan yang dibimbing oleh kesadaran diri.
Namun, bagi Mackenzie, manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak melakukannya sesuka hati; mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang dipilih oleh mereka sendiri, tetapi dalam keadaan yang ditemukan langsung, terberi, sebagai transmisi dari masa lalu (h. 49).
Salah-kaprah tak Terpunahkan
Saya cenderung percaya bahwa biologi menjadi bagian dari pengalaman dan penghayatan manusia, yang sadar ataupun tak sadar, mustahil tidak menyentuh caranya memandang dan berpikir tentang dunia. Mackenzie telah mencatat paralelisme yang luas dan mendalam atas keterbandingan biologi dan politik, dengan adaptivitas sebagai kata kunci yang menghubungkan keduanya.
Betapa pun sejarah masih terus menunjukkan kehadiran Darwinisme Sosial, kanker tak terpunahkan bagi sesama, yang meracuni jiwa dan menyesatkan pemikiran, sebagai ”tradisi alamiah” salah-kaprah (baca: kebersalahan yang dijalani sebagai “kebenaran”), yang sesungguhnyalah mengancam.
Oleh Seno Gumira Ajidarma | Pengajar Institut Kesenian Jakarta
*Tulisan ini pernah diterbitkan pada Opini Kompas edisi 2 Januari 2025