Runtuhnya Manusia Publik

Sumber: kompas
“Runtuhnya manusia publik akhir-akhir ini salah satu penanda bahwa kita memasuki simpang jalan kritis secara nasional.“
Menyadur dari laman Kompas, 9 Februari 2024.
Oleh: A Bagus Laksana, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Fenomena runtuhnya manusia publik akhir-akhir ini adalah salah satu penanda bahwa kita memasuki simpang jalan kritis secara nasional (national critical juncture) sesudah 25 tahun reformasi.
Hampir dua ratus tahun lalu Alexis de Tocqueville menulis demikian dalam bukunya, Democracy in America (1840): ”Ketika tenggelam ke dalam dirinya sendiri, setiap orang bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga dia menjadi asing dan acuh dengan tujuan akhir dari semua manusia lain. Baginya, anak-anaknya dan konco-konco-nya menjadi seluruh bangsa manusia itu sendiri”.
”Dalam interaksinya dengan sesama warga, ia mungkin berada bersama mereka, tetapi ia tidak memandang mereka; mungkin dia bersentuhan dengan mereka, tetapi ia tidak merasakan mereka; ia hanya hidup dalam dirinya saja. Dalam arti ini, mungkin masih tersisa rasa kekeluargaan (sense of family) di dalam pikirannya, tetapi tiada lagi rasa kemasyarakatan (sense of society)”.
Tocqueville adalah pemikir Perancis yang termasyhur terutama karena pengamatannya yang jeli terhadap masyarakat demokrasi di Amerika abad ke-19.
Meskipun konteks zamannya jauh berbeda, kutipan ini sangat menggelitik di tengah gejolak politik yang kita rasakan akhir-akhir ini. Richard Sennett, sosiolog senior, mengutip kata-kata Tocqueville itu dalam menggambarkan krisis modern di Barat dan membandingkannya dengan krisis kekaisaran Romawi sesudah Kaisar Agustus.
Kita sangat prihatin dengan gejala-gejala yang sangat mengkhawatirkan, terutama hilangnya karakter dan figur kenegarawanan (statemanship).
Hilangnya Figur Kenegarawanan
Krisis politik di dua masyarakat ini mirip dan berakar pada terganggunya keseimbangan antara kehidupan privat dan kehidupan publik. Sennett menyebut fenomena ini sebagai runtuhnya manusia publik (the fall of public man).
Menurut Sennett, sesudah berakhirnya pemerintahan Kaisar Agustus (63 SM-14 M), orang-orang Romawi memperlakukan hidup publik sebagai kewajiban formal belaka, sebuah konformitas tanpa gairah. Situasinya sama dengan peradaban Barat, yang ditandai oleh public enervation, yaitu hilangnya energi, gairah, dalam diri warga untuk berperan dalam kehidupan publik (Sennett, The Fall of Public Man, 1974).
Pengamatan Sennett rasanya juga relevan untuk membantu kita memahami dinamika politik kita akhir-akhir ini.
Kita sangat prihatin dengan gejala-gejala yang sangat mengkhawatirkan, terutama hilangnya karakter dan figur kenegarawanan (statemanship). Gejala ini juga mengarah pada kecenderungan lebih luas, yaitu semakin terbentuknya masyarakat yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan individu, sebuah masyarakat yang ditandai oleh privatisasi kehidupan meskipun politik kelihatan riuh dan ingar bingar.
Tandanya adalah obsesi dan fiksasi pada kesejahteraan psikis individu. Obsesi terhadap kebahagiaan sebagai konsumen atau warga masyarakat kapitalis akan memperparah kejatuhan manusia publik ini. Dalam situasi ini, orang cenderung bertindak lebih sebagai konsumen daripada sebagai warga negara (citizens) dalam melakukan pilihan-pilihan politiknya.

Pilihan mereka akan sangat dipengaruhi oleh stimulasi-stimulasi yang dipersepsikan cocok dengan keadaan dan kebutuhan mereka sebagai individu. Pelbagai strategi tipu-tipu (gimmick) dan pencitraan menjadi senjata ampuh di pasar politik nirpublik ini.
Memburuknya karakter dan praktik kenegarawanan yang kita saksikan secara gamblang hari-hari ini adalah contoh yang parah dari privatisasi kehidupan politik ini. Praktik penyalahgunaan kuasa dan fasilitas negara dan rekayasa hukum oleh penguasa otokratik (autocratic legalism) telah terjadi secara kasar dan terang-terangan.
Dalam wacana mengenai apakah presiden dan pejabat publik boleh berkampanye, jelas bahwa peraturan perundang-undangan mengizinkan. Namun, sikap dan karakter kenegarawanan semestinya penalaran lain yang melampaui boleh tidaknya sebuah tindakan dalam hukum positif.
Pertanyaannya adalah: apakah tindakan kampanye, terutama yang diarahkan untuk keluarganya sendiri, sesuai dengan tuntutan sebagai pejabat publik yang seharusnya mempertimbangkan situasi dan rasa perasaan publik dan tuntutan etika sebagai negarawan.
Apa yang dikatakan Tocqueville menjadi tuntutan kenegarawanan di sini, yaitu bahwa manusia publik itu ”bergaul dan bersentuhan” dengan sesama warga, dan bahkan bisa ”merasakan” mereka.
Joko Widodo (Jokowi) menjadi fenomena ketika memenangi Pemilu 2014. Dapat dikatakan ia adalah sosok dari fenomen ”naiknya manusia publik” (the rise of public man). Karakter, kemampuan, tindakan, dan program-program politiknya gayut dengan dambaan dan aspirasi publik kala itu. Ia dikenal dengan ”blusukan”, pergaulan erat dan akrab dengan warga biasa di sudut-sudut tempat hidup mereka.
Figur Jokowi waktu itu cocok dengan agenda reformasi dan gairah publik yang menyertainya.
Meminjam bahasa Sennett di atas, ia bisa ”bersentuhan dan merasakan” rakyat. Ia diusung oleh kekuatan warga yang secara antusias berkumpul dalam ruang publik dan bergerak demi kepentingan publik yang lebih besar. Sosoknya memberi gairah politik baru untuk warga negara yang lebih luas, di luar batas-batas afiliasi partai politik. Maka, lahir secara alamiah kelompok sukarelawan di luar partai politik. Figur Jokowi waktu itu cocok dengan agenda reformasi dan gairah publik yang menyertainya.
Pada Oktober 2014, majalah Time menaruh foto wajah Jokowi sebagai sampul muka dengan tulisan ”A New Hope, Indonesian President Joko Widodo is a Force for Democracy”. Hampir sepuluh tahun kemudian, Jokowi menandai fenomena sebaliknya, yaitu runtuhnya manusia publik (the fall of public man).
Ia naik ke panggung politik sebagai ”bukan siapa-siapa”, tak berasal dari keluarga dengan jaringan politik dan modal, tetapi ia akan lengser dengan stigma telah mengutamakan kepentingan keluarga dan kroni-kroninya dengan cara-cara yang tidak etis, yang tidak pernah dilakukan presiden sesudah reformasi.
Tentu saja runtuhnya manusia publik di Tanah Air kita pascareformasi tidak hanya disebabkan oleh Jokowi semata.
Gejala ini dibarengi oleh sikap dari banyak elite dan partai politik yang terus sibuk mencari kepentingan sendiri, yang tersandera oleh kasus-kasus korupsi sehingga gagal menggairahkan hidup publik yang otentik. Tren ini juga diikuti oleh gejala yang lebih luas dari sikap para warga yang kemudian tidak lagi peduli, atau yang bertindak membabi buta, yang tak lagi mempunyai kapasitas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, terlibat, dan cerdas.
Kalau kita tidak waspada, dalam jangka panjang, fenomen runtuhnya manusia publik (the fall of public person) ini akan menjadi keruntuhan hidup publik yang lebih luas (the fall of public life).

Simpang Jalan Kritis
Fenomena runtuhnya manusia publik akhir-akhir ini salah satu penanda bahwa kita memasuki simpang jalan kritis secara nasional sesudah 25 tahun reformasi. Kita membutuhkan profil dan figur manusia publik yang baru. Maka, agenda politik kita yang paling penting bukan hanya pemilu, melainkan membangkitkan lagi manusia publik.
Dalam keadaan mekanisme politik didominasi oleh kekuasaan, kebangkitan manusia publik harus datang dari warga negara dalam kebersamaan.
Semoga letupan-letupan aspirasi warga dan figur-figur publik berhati nurani yang masih ada di tengah krisis ini menjadi energi yang menyebar dan membesar.
Sumber asli: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/07/runtuhnya-manusia-publik?open_from=Section_Berita_Utama