Politik Tepuk Tangan (Ormas) Agama dengan Oligarki

 Politik Tepuk Tangan (Ormas) Agama dengan Oligarki

oleh: Widhyanto Muttaqien, wakil koordinator Bidang Politik Sumberdaya Alam LHKP PPM


Lazimnya sejarah, dalam perasaan serba kurang, tertinggal Spinoza mencatat lahirnya reformasi agama di Eropa. Spinoza yang waktu itu bagian dari kaum radikal, menginginkan emansipasi dalam beragama, dengan membuka diri pada proses menalar ekonomi, spiritual, dan sosial agar lebih produktif. Kepapaan masyarakat dan ketertinggal kebudayaan Eropa abad pertengahan membuat keterbukaan pikiran menjadi jalan untuk ‘kemajuan’[1] . Kaum oligarki waktu terdiri dari gereja konservatif dan para pedagang kaya menolak proposal Spinoza, mereka telanjur nyaman.

Cerita kemudian berganti, kaum radikal berhasil menusung Etika Protestan yang kemudaian menjadi bagian dari perubahan kehidupan beragama berkemajuan. Setiap orang adalah individu bebas, dan saling bekerjasama dalam komunitasnya dan berkontribusi untuk kemanusiaan. Weber kemudian menghubungkan Etika Protestan dengan spirit kapitalisme, yang membuat individu dalam spirit ini selain mengejar tujuan kemanusiaan dan tujuan-tujuan bersama juga aktif dalam mengakumulasikan kapital. Mulailah Eropa mengusir mendung dengan etos yang baru. Berkemajuan.

Spirit kapitalisme kemudian menghasilkan imperialisme baru yang kemudian menjadi ortodoksi yang kian matang.  Satu per satu korban imperialisme  muncul. Di Indonesia imperialisme menghasilkan geografi baru mengenai hubungan sosial yang dilandasi motif penjajahan ekonomi. Hak warga negara hilang dalam tanam paksa, sebelum tanam paksa dilaksanakan oleh rezim yang berbeda dari imperialis,  terjadi genosida dan ekosida di Kepulauan Banda. Keduanya demi menghasilkan komoditas global yang dibutuhkan oleh negeri imperialis. Minyak dan batubara menjadi bagian dari komoditas global yang terus menerus diekstraksi dari negeri jajahan, sampai saat ini. Tanah-tanah menjadi bagian terpenting untuk dikapling bagi penanaman kebun energi, dulu  tanaman pangan, rempah, dan karet, mengeluarkan masyarakat dan menjadikannya tuna-tanah. Jokowi menambahkan satu komoditas: real estate dengan HGU 190 tahun. Semua ini demi tujuan kemanusiaan dan tujuan-tujuan bersama.

Di negeri-negeri yang jauh tersebut para imperialis merusak alam, hakikatnya menambang membutuhkan air dan zat kimia yang dibutuhkan untuk pengolahan. Kerusakan lingkungan dimulai dari kehilangan tanah untuk penghidupan dasar yaitu pangan. Pemiskinan seperti ini terjadi di daerah pertambangan, bukan cuma batu-bara, ada emas, timah, tembaga,  bauksit. Kemajuan sesaat dirasakan oleh masyarakat, namun surplus produksi dibawa keluar dari ‘daerah jajahan yang tidak bertuan’, daerah-daerah ini di Indonesia berkorban untuk terang benderangnya Pulau Jawa. Dulu Hukum Belanda memperlakukan Indonesia sebagai ‘bagian dari Orient (daratan Eropa)’ sehingga bisa diatur, dikuasai.

Setelah banyak daerah yang ditambang, akumulasi kapital  tidak bisa berhenti. Dibuka peta jalan baru, yaitu energi terbarukan berbasis lahan, ke depan biofuel dari sawit dan  tebu akan mendominasi. Cofiring dari tanaman energi seperti gamal dan lamtoro, semunya berada di lahan-lahan yang sangat luas, dikapling oleh koalisi oligarki dalam dan luar negeri. Koalisi yang memimpikan tujuan kemanusiaan dan tujuan-tujuan bersama, koalisi berkemajuan.

Kemudian ada cerita lain, agen perusak ekonomi atau the economic hitmen. John Perkins, menuliskan catatan hariannya ketika menjadi penasihat yang berkerja dalam industri keuangan international dan badan  pembangunan seperti Bank Dunia untuk meyakinkan pemerintahan di negara berkembang. tugasnya satu: memuluskan investasi dengan cara merayu  negara tersebut untuk memajukan bangsanya dengan skema pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan konsumsi masyarakat. resep ekonomi dibuat. Jika tidak memiliki uang, maka dipinjamkan. Perkins menuliskan begitu banyak bangsa-bangsa pengutang yang menjadi bangsa budak, mengikuti kebijakan para kreditor, termasuk dalam menyusun angggaran belanja negara – tentu dengan metafora canggih yang digunakan untuk merayu seperti kemakmuran bersama, keberlanjutan, ramah lingkungan, ekonomi hijau dan sebagainya. Bonusnya dalam masa Orde Baru hanya satu: menutup mata pada korupsi.

Pasca Orde Baru, permasalahan korupsi pada bantuan ini menjadi masalah utama yang harus diselesaikan Indonesia, yang menjadi salah satu motif didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi, ada wacana untuk mengemplang utang najis (Odius Debt) yang merupakan jarahan para pemimpin dari pinjaman tersebut. Utang najis ini dianggap tidak bisa dibayarkan oleh pemerintahan selanjutnya yang koruptif, despotik, dan pelanggar hak azasi manusia. Rakyat tidak boleh dibebani oleh utang yang dikorupsi rezim koruptif.

Politik Oligarki

Jeffrey Winters dalam teori oligarkinya yang menyatakan dua tujuan oligarki yaitu mempertahankan kekayaan lewat instrumen kepemilikan dan ijin (property defence) dan kedua mempertahankan pendapatan (income defence). Oligarki memiliki pola yang berbeda dalam mempertahankan dua tujuan  ini, tanpa harus terlibat langsung dalam memerintah. Kaum oligarki akan turun langsung jika dua tujuan mempertahankan kekayaan  tidak dapat difasiltasi pihak luar.  Oligarki akan ‘meletakkan’ kekuasaanya pada kekuasaan lewat mekanisme politik yang resmi.

Walaupun oligarki memiliki cara berkuasa yang berbeda dengan demokrasi, namun mereka bisa bertepuk tangan artinya sepanjang tidak saling bertabrakan, oligarki akan tetap menyokong demokrasi. Jika demokrasi bekerja melalui partisipasi ‘menyebar setara’ antara warga berdasarkan hak dan prosedural. Oligarki bekerja ‘terkonsentrasi’ dalam mengamankan kekayaan dan pendapatan mereka. Mereka bertepuk tangan dengan keras selama masyarakat tak berharta tidak partisipasi lebih luas dan bermakna untuk merebut atau menggugat kekuasaaan (material dan privelese mereka dalam kehidupan keseharian).  Jika kesenjangan terlalu besar seperti di Indonesia[2] 2019 1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan[3]. Global Wealth Databook 2021 juga menunjukkan 66,2% total kekayaan di Indonesia hanya dimiliki oleh 10% orang terkaya di Indonesia. Sebanyak 1% orang terkaya di Indonesia bahkan menguasai 36,6% dari total kekayaan di Indonesia[4]. Maka oilgarki akan mencari ‘kawan’ untuk menjaga suara-suara sumbang, konflik yang terjadi di masyarakat membuat oligarki semakin kuat dengan membagi-bagi ‘sedikit kekayaannya’. 

Argumen ‘moderat’ yang dibuat oleh Tim Internal Penerima Tambang seharusnya disebut sebagai ‘Pro’, sebab argumen yang menolak juga masih dalam kutub moderat, mengapa? karena masih dalam koridor keputusan muktamar terutama dalam hal ekonomi dan lingkungan hidup. Sehingga permainan diksi ‘kontra’  versus ‘moderat’ sudah memiliki tujuan untuk memoderasi pikiran pembaca.

Saya lebih banyak membaca permasalahan pro dan kontra ini dalam konteks  fokus perhatian dalam diskursus tambang. Dan ini didasari oleh context of discovery dalam filsafat ilmu. Dalam proses mencari ‘kebenaran’. Konteks penemuan pembuatan hipotesisnya didasarkan pada kondisi faktual dan perubahan yang diinginkan. Bukti-bukti kerusakan tambang telah dipaparkan oleh kelompok ‘kontra’,  bahkan kepeloporan dalam menjaga lingkungan hidup juga berbasis bukti, artinya Muhammadiyah sudah memiliki reutasi mengenai hal tersebut. Baik risiko etis, politis, sosial, lingkungan, teknis. Saya menambahkan organisatoris yaitu ‘poiitik belah bambu lewat tambang’. Perbedaan dalam melihat konteks penemuan inilah yang membedakan argumentasi antara ‘pro dan kontra’. Argumen moderat beserta opsi dan mitigasinya menggunakan pendekatan ‘penebusan dosa’ Negara dan oligarki seolah-olah pro pasal 33 UUD 1945. Dengan puluhan Proyek Strategis Nasional beserta konsekuensi jutaan hektare lahan masyarakat yang dikapling sesungguhnya tidak ada preseden ‘penebusan dosa’ tersebut. PSN lain muncul yaitu PSN Moral yaitu mengajak (ormas) Agama untuk bermain-main dengan justifikasi agama dalam mode  ‘context of justification’ atau konteks pembenaran yang terkait dengan verifikasi kebenaran teori atau hipotesis tertentu, terlepas dari bagaimana teori atau hipotesis itu diperoleh. Kelompok yang menyebut dirinya moderat, sesungguhnya pro tambang, tidak memberikan alternatif opis atau mitigasi selain dalam bentuk normatif. Sedangkan kelompok ‘kontra’ melakukannnya dengan observasi, analogi, bahkan ada yang melakukan permodelan ‘rent seeking behaviour’ yang merupakan basis dari teori ekonomi kelembagaan yang akan diikuti oleh ‘moral hazard’ seperti perilaku menyebunyikan risiko penting dalam Amdal, keuntungan (kerugian) bisnis yang merupakan hal lumrah dalam industri ekstraktif.[5]

Respon reaksioner dengan konteks pembenaran inilah yang paling ditakutkan dalam pro-kontra tambang bagi (ormas) Agama, uniknya dua organisasi besar NU (apakah) Muhammadiyah juga menerima, kedua Ormas ini memiliki modal sosial terbesar dalam mengamankan kekayaan sekaligus pendapatan oligarki,  modal sosial inilah benefit terbesar bagi oligarki dan Negara yang selama ini abai terhadap permasalahan keadilan sosial dan ekologis, akankah semacam ­economi hitmen  sedang berkeliaran di (ormas) Agama dan membuatnya dekaden.


[1] dalam literatur berbahasa Inggris progresif dimaknai sebagai berkemajuan

[2] Kesenjangan Ekonomi di RI Tidak Banyak Berubah sejak 20 Tahun Lalu (katadata.co.id).

[3][3] Survei: 1 Persen Orang Kaya RI Kuasai 50 Persen Aset Nasional – Bisnis Tempo.co.

[4] Potret Kekayaan Konglomerat, Pejabat, dan Masyarakat Indonesia – Analisis Data Katadata.

[5] Tulisan I- Menguak “Tabir” Transparansi Industri Ekstraktif Kalimantan Selatan – IESR

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.