DPR dan Presiden Langgengkan Praktik Abusive Law Making Pula Melanggar Hak Konstitusional Warga Negara

 DPR dan Presiden Langgengkan Praktik Abusive Law Making Pula Melanggar Hak Konstitusional Warga Negara

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibahas secara kilat dan tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna, yakni RUU Kementerian Negara, RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan RUU Keimigrasian. Praktik pembentukan UU yang kilat, jelas sarat kepentingan politik sesaat, menihilkan kewajiban pelibatan partisipasi publik, yang jelas telah dilakukan oleh DPR dan Presiden berulang kali. Faktanya, justru memperlihatkan cara yang semakin ugal-ugalan, formal maupun material.

Celakanya, pertama, pelemahan partisipasi publik dikonfirmasi Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi, yang menyatakan, tak ada mekanisme yang dilanggar di dalam pembahasan peraturan perundang-undangan ini. Adapun anggapan soal minimnya partisipasi publik, Baidowi mengklaim hal itu telah dilakukan oleh setiap fraksi (Baleg Bantah 3 Revisi UU Tak Melibatkan Partisipasi Publik, CNN Indonesia TV | CNN Indonesia, Kamis, 19 Sep 2024).

Kedua, proses kilat pembentukan hukum ini dilakukan terlebih di masa transisi. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan bahwa pembentukan UU harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation). Tanpa partisipasi bermakna, maka pembentukan undang-undang dapat dikatakan melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty), dan jelas menegasikan prinsip Negara Hukum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Menanggapi proses pembentukan hukum ini, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM menyampaikan pandangan sebagai berikut:

  1. Partisipasi publik, termasuk dalam proses pembentukan UU, pada prinsipnya merupakan hak dasar seluruh warga negara Indonesia sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dengan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa partisipasi publik tidak signifikan sejatinya adalah keliru dan tak sesuai dengan semangat yang dibawa oleh UUD NRI Tahun 1945.
  2. Secara khusus, berdasarkan Pasal 96 ayat (1) dan (6) UU No. 13 Tahun 2022 tentang

Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lugas dinyatakan sebagai ‘hak’, baik memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengabaian pasal ini jelas pelanggaran atas hak dasar warga negara yang diatur dalam sistem hukum Indonesia.

  • Partisipasi publik merupakan salah satu aspek yang diulas dalam asas keterbukaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. “Asas keterbukaan” ini tidak hanya menjamin hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi, tetapi juga memperkuat legitimasi dan akuntabilitas pemerintah, sehingga mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih demokratis. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  • Pembentukan UU yang dilakukan secara kilat dan ugal-ugalan, serta nir-partisipasi merupakan bukti nyata pelanggaran hak dasar warga negara atau hak konstitusional warga negara, yang dilakukan terang terangan oleh DPR dan Presiden, dan ini merupakan praktik abusive law making dan/atau dalam prakteknya merefleksikan kepentingan politik legislasi yang semata menopang kepentingan rezim kekuasaan, autocratic legalism. Jelas, tindakan yang secara nyata melanggar nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.
  • Pernyataan Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi, merupakan bentuk normalisasi praktik abusive law making yang sarat kepentingan politik penguasa, melanggar hak-hak warga negara, dan sangat tidak bertanggung jawab. Pernyataan itu mengonfirmasi DPR dan Presiden yang telah menunjukkan praktek memalukan dan mengkhianati hak hak warga negara. Pernyataan tersebut merusak sistem hukum ketatanegaraan.
  • Partisipasi publik merupakan kepentingan politik pembentuk hukum. Hanya dengan melakukan pembentukan secara terbuka dan pemenuhan partisipasi publik sajalah, maka legitimasi didapatkan oleh pembentuk regulasi (Seidman, 1978; Tyler, 1990). Jika pemerintah menunjukkan perilaku abai terhadap suara rakyat, maka pemerintah sedang mengajarkan rakyat untuk tidak percaya dengan institusi negara, baik pemerintah maupun parlemen, sehingga akan mendorong rakyat abai terhadap perintah, anjuran, dan larangannya (Marien and Hooghe, 2011).
  • Nihilnya partisipasi publik mengindikasikan bahwa ketiga RUU tersebut sarat akan kepentingan politik transaksional. Terlebih dalam konteks kartelisasi politik, tak terkecuali dalam sistem kepartaian, apa yang terjadi melalui pengesahaan tiga RUU tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa kepentingan publik diingkari dan sama sekali tidak diprioritaskan. Sebaliknya, pengesahan tersebut lebih merefleksikan kepentingan segelintir pihak dalam kekuasaan yang mengendalikan proses legislasi.
  • Pengesahan ketiga RUU secara kilat dan tanpa melibatkan partisipasi publik, juga bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sesuai dengan Pasal 3 huruf a, undang-undang tersebut bertujuan untuk menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Ketiadaan partisipasi publik merupakan keinginan untuk menutupi kepentingan kekuasaan, dan semakin melemahkan demokrasi karena tidak sedang mencerminkan kehendak rakyat.
  • Pengesahan ketiga RUU tersebut juga bentuk refleksi tidak adanya kekuatan oposisi, tidak menguatnya daya kritis parlemen, serta melumpuhkan gagasan keseimbangan kekuasaan yang sangat diperlukan dalam Negara Hukum Indonesia yang demokratis.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan pemikiran ini, kami para akademisi dan peneliti dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menegaskan tiga hal,

  1. Pengesahan ketiga RUU tersebut melanggar hak asasi manusia yang diatur tegas dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya berkaitan dengan hak atas akses informasi, hak berpartisipasi, dan hak persamaan di muka hukum dan pemerintahan.
  2. Batalkan proses pengesahan ketiga RUU tersebut yang jelas cacat yuridis, formil maupun materiil, bahkan mengingkari prinsip Negara Hukum dan UUD NRI Tahun 1945.
  3. Proses pembentukan UU yang abusive dan tanpa adanya partisipasi publik, jelas kejahatan legislasi yang bertentangan dengan hukum, dan kami menilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Demikian pandangan kami, semoga menjadi pembelajaran di ruang publik, tak terkecuali bagi pembentuk hukum.

Minggu, 22 September 2024

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ)

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Abdul Munif Ashri (Peneliti/ARF LSJ)

Ardianto Budi Rahmawan (Departemen Hukum Administrasi)

Alvino Kusumabrata (Peneliti/ARF LSJ)

Arifin Setyo Budi (Peneliti/ARF LSJ)

Faiz Rahman (Departemen Hukum Tata Negara)

Herlambang P. Wiratraman (Departemen Hukum Tata Negara)

Laras Susanti (Departemen Hukum Perdata)

Maria SW Sumardjono (Departemen Hukum Agraria)

Markus Togar Wijaya (Peneliti/ARF LSJ)

Muhammad Yahya Widiana (Peneliti/ARF LSJ)

Patricia Nerissa Krisna Putri (Peneliti/ARF LSJ)

Richo Andi Wibowo (Departemen Hukum Administrasi Negara)

Sartika Intaning Pradaning (Departemen Hukum Adat)

Yance Arizona (Departemen Hukum Tata Negara)

Vanya Aulia Arundati Pratama (Peneliti/ARF LSJ)

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.