Empat Hukum Informal Ekologi

Ilustrasi: Zulfa
Oleh: Fahmi Saiyfuddin*
Dalam buku The Vulnerable Planet: a short economic history of the enviroment, John Bellamy Foster, seorang Profesor Sosiologi University of Oregon dan editor Monthly Review – majalah sosialis independen yang diterbitkan setiap bulan di New York – mengatakan bahwa bumi yang kita tinggali sedang dalam kondisi rentan.
Mengapa demikian? Karena hari ini bumi kita mengalami kerusakan yang nyaris total. Foster diawal bukunya mengatakan bahwa sebenarnya kerusakan bukanlah hal yang baru, namun sebelum abad ke-18 kerusakan masih bersifat lokal atau regional, sehingga bumi mempunyai waktu untuk mereorganisasi dirinya secara alami. Sedangkan kini, di era industrialisasi, bumi kesulitan mereorganisasi diri akibat terus-menerus dieksploitasi.
Contoh kasus alam yang sedang rusak dan menjadi perbincangan hari ini ialah “krisis iklim”. Suhu udara yang dirasa semakin memanas, naiknya permukaan air laut yang menenggelamkan pulau-pulau kecil, cuaca yang sulit diprediksi, pemasangan alat pendingin seperti AC atau kipas angin dalam jumlah banyak di masjid-masjid adalah sekelumit contoh imbas pemanasan global dampak krisis iklim.
Ah masak sih? Tingkat sensitivitas bumi yang berbeda-beda mengakibatkan dampak krisis itu tidak merata dan serentak. Ada beberapa wilayah yang sudah merasakan langsung imbasnya, ada juga yang baru mulai merasakan gejala-gejalanya. Tapi yang jelas, seluruh belahan bumi mulai atau sedang merasakannya.
Tingkat sensitivitas bumi yang berbeda-beda mengakibatkan dampak krisis itu tidak merata dan serentak. Ada beberapa wilayah yang sudah merasakan langsung imbasnya, ada juga yang baru mulai merasakan gejala-gejalanya. Tapi yang jelas, seluruh belahan bumi mulai dan sedang merasakannya.
Nah, untuk memahami bagaimana dampak tersebut bisa terjadi, ada gunanya untuk melihat apa yang oleh Barry Commoner dan yang lainnya disebut sebagai empat hukum informal ekologi:
Pertama, Everything is connected to everything else. Semua saling terhubung dengan yang lainnya, menunjukan bagaimana ekosistem merupakan hubungan yang kompleks. Sebuah ‘spesies’ dapat menghilang dan juga dapat bertransformasi menjadi suatu spesies yang baru akibat aktivitas manusia terhadap alam. Sebuah gangguna kecil di ‘satu tempat’ dapat memiliki pengaruh yang besar, jauh dan tertunda di tempat lain.
Baca juga Revolusi Senyap Gerakan Lingkungan Berbasis Iman
Contohnya, deforestasi besar-besaran di negara-negara tropis seperti Brazil dan Indonesia yang mematikan biodiversitas, biota tanah, serta resapan sirkulasi karbon. Akibatnya suhu bumi semakin memanas. Suhu yang panas berimbas pada es di kutub mencair. Es yang mencair menambah volume air laut. Bertambahnya volume air laut menenggelamkan pulau-pulau keci di bumi.
Suhu panas dan cairnya es di kutub mengakibatkan juga perubahan iklim. Iklim yang tidak teratur mengakibatkan cuaca tak menentu. Ketidakpastian cuaca berdampak pada kegagalan panen di suatu tempat, dan kegagalan panen berimbas pada ancaman kelaparan, dan hubungan-hubungan lainnya yang memerlukan spesifikasi keilmuan tersendiri untuk mengurainya.
Kedua, Everything must go somewhere. Semua pasti pergi ke suatu tempat atau tidak ada sesuatu pun yang menghilang. Hukum kedua ekologi ini menyatakan kembali hukum dasar termodinamika; dimana tidak ada limbah akhir, materi dan energi yang dipertahankan di alam. limbah yang dihasilkan dalam satu proses ekologi didaur ulang dan diproses menjadi sesuatu yang lain di alam.
Misalnya, pohon yang tumbang atau batang kayu di hutan tua merupakan sumber kehidupan bagi banyak spesies dan merupakan bagian penting dari ekosistem. Demikian pula, hewan mengeluarkan karbondioksida ke udara dan senyawa organik ke tanah, yang membantu mempertahankan tanaman yang akan dimakan hewan.
Ketiga, Nature knows best. Alam lebih tahu apa yang terbaik. Commoner berpegang pada prinsip, “bahwa setiap perubahan besar buatan manusia dalam sistem alam cenderung merusak sistem alam itu.” Pandangan ini didasarkan bahwa selama 5 miliar tahun evolusi, manusia mengembangkan serangkaian zat reaksi dan reaksi yang membenuk biosfer baru secara bersamaan.
Rekayasa penciptaan zat-zat baru pada industri petrokimia modern misalnya, pada mulanya zat-zat tersebut tidak terdapat di alam, namun setelah melalui proses pola dasar kimia karbon yang sama dengan senyawa alami, membuat zat baru ini mudah masuk ke dalam proses biokimia yang ada. Tetapi, mereka seringkali melakukannya dengan cara merusak kehidupan, menyebabkan mutasi, dan berbagai bentuk penyakit bahkan berujung pada kematian.
Commoner menuliskan;
“ketiadaan zat dari alam, seringkali merupakan tanda bahawa zat tersebut tidak sesuai dengan kimiawi kehidupan”.
Keempat, Nothing comes from nothing. Tidak ada yang berasal dari ketiadaan. Hukum ekologi informal tersebut mengungkapkan fakta bahwa eksploitasi alam selalu membawa biaya ekologis. Dari perspektif ekologi kritis, manusia lebih merupakan konsumen daripada produsen.
Contohnya energi, dalam proses penggunaannya manusia itu menghabiskan (tetapi tidak menghancurkan) energi. Maksudnya, manusia mengubahnya menjadi bentuk yang tidak lagi tersedia untuk digunakan (tidak terbarukan). Dalam kasus mobil misalnya, energi tinggi berupa bahan bakar menjadi pekerjaan yang berguna, sementara energi termal tingkat rendah pada knalpot tidak. Oleh karena itu, biaya ekologis dalam upaya mengembalikan ekosistem alam menjadi signifikan.
*Pengajar di Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Bogor