Anjing-Anjing Perang

Sumber: Rumah Baca Komunitas
Aminah menuang air panas ke dalam gelas-gelas berisi kopi. Dia lalu menyuguhkannya bersama ubi bakar untuk belasan lelaki dan perempuan yang berkumpul di sebuah tenda di Desa Pancer, pesisir Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka menyebutnya “Tenda Perlawanan”. Nelayan dan petani setempat berkumpul rutin di situ untuk menggalang penolakan terhadap operasi tambang emas di Gunung Salakan.
Gunung Salakan berada tak jauh dari Bukit Tumpang Pitu, sebuah kawasan bekas hutan lindung yang sudah habis digunduli dan bukitnya terpotong akibat penambangan terdahulu. Pelumpuran akibat tambang Tumpang Pitu telah merusak ekosistem Teluk Pancer, yang mematikan usaha perikanan laut Teluk Pancer. Kali ini, warga Pancer tidak mau mengalah lagi. “Saya siap mati menolak tambang di Salakan,” kata Aminah. “Ini demi hidup kami dan anak-cucu kami.”
Dua hari sebelumnya, warga setempat hampir bentrok dengan para karyawan perusahaan tambang yang akan melakukan kegiatan eksplorasi di Gunung Salakan. Adu mulut sempat memanas. Tapi, bisa dilerai. Bentrok terdahulu antara warga yang pro dan anti tambang melibatkan adu parang yang menewaskan beberapa orang.
Tapi, pemerintah tidak peduli. Tambang emas di Tumpang Pitu melibatkan bisnis, secara langsung mapun tidak langsung, dengan lima menteri dalam Kabinet Jokowi: Zulkifli Hasan, Azwar Anas, Sakti Trenggono, Sandiaga Uno dan Erick Thohir. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono, dan puteri Presiden Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid, pernah menjadi komisaris Merdeka Copper Gold, perusahaan yang menambang emas di kawasan itu.
Cerita laut dan teluk yang sekarat tak cuma di Tumpang Pitu. Bayang-bayak konflik dan perlawanan serupa juga terjadi di banyak lokasi pertambangan yang kami kunjungi. Kita bisa membayangkan betapa besar energi emosional yang harus dikerahkan oleh para nelayan itu. Selama berbulan, bahkan kadang menahun, mereka harus berkonflik tidak hanya dengan perusahaan tambang dan aparat negara. Mereka bahkan berkonflik dengan tetangga, dengan kerabat, bahkan dengan ayah atau saudara kandung. Industri pertambangan menjadi semacam kutukan, yang merobek jalinan sosial hingga di level terkecil: keluarga.
Ribuan kilometer dari Pancer, pada pagi cerah di Teluk Buli, Halmahera Timur, Simun menyeret bagan ikan ke tepi pantai. Bagan itu tadinya ada di tengah teluk semalaman. Nelayan memasang lampu untuk memikat ikan agar masuk ke jaring dalam bagan. Tapi, Simun tak beruntung. Dia hanya memperoleh ikan beberapa kilogram saja.
“Ikan hilang dari teluk ini,” katanya. Simun dan nelayan lain curiga kondisi ekosistem lingkungan teluk telah rusak akibat pertambangan nikel tak jauh dari desa mereka. Jika hujan turun, air sungai dan teluk berwarna merah karena lumpur dari pertambangan. Pelumpuran itu mengusir ikan dan mematikan karang tempat ikan hidup.
Perikanan Buli telah sekarat. Dulu, perairan ini sangat melimpah hasilnya: ikan kembung, cakalang, teri, dan cumi-cumi. Setiap malam ada ratusan bagan dengan lampu menyala yang mengapung di teluk. “Seperti kota terapung,” kata Simun. Tapi, itu dulu. Kini hanya tinggal hitungan jari saja yang melaut, itupun sedikit hasilnya. Warga setempat juga mengeluhkan rusaknya hutan yang menjadi sumber air bersih.
Situasi seperti itu banyak kami temui juga di Teluk Weda dan Pulau Obi di Halmahera Tengah, serta perairan laut Morowali dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara. Nelayan dan aktivis lingkungan setempat sering memprotes operasi tambang nikel yang terus meluas bersama proyek “hilirisasi nikel” Pemerintahan Jokowi. Namun tidak digubris.
Sulawesi dan Maluku adalah titik-titik terpanas konflik akibat perburuan nikel yang dibutuhkan untuk membuat baterai kendaraan listrik yang diklaim sebagai ramah lingkungan. Kekayaan tambang dan mineral di sejumlah daerah secara ironis telah memicu fenomena yang kita kenal sebagai “kutukan sumber daya alam”. Mirip yang terjadi di Afrika.
Di masa lalu, kekayaan mineral Afrika telah memikat Eropa untuk menjajahnya. Kutukan belum berhenti samapai kini. Dalam beberapa dekade terakhir, perebutan sumber daya alam tadi memicu konflik berkepanjangan serta perang saudara paling brutal di Liberia, Sierra Leone, Kongo, dan Rwanda.
Pada 28 November 2023, beredar luas di media sosial video yang melukiskan seorang warga Kongo membakar diri hidup-hidup. Dia, berdiri membawa poster dengan tulisan “âStop the genocide in Congo.â” Sesaat kemudian dia menyiram tubuhnya dengan bensin dan menyalakan korek, membakar dirinya.
Itulah protes yang melukiskan rasa putus asa paling jauh. Kongo tak habis dirundung malang. Kemiskinan ekstrim, anak-anak kurang gizi, akses pendidikan yang terbatas, luasnya kekerasan seksual, serta wabah Ebola sepertinya tidak cukup. Kini mereka menghadapi perang saudara dan genosida yang dipicu, ironisnya, justru oleh kekayaan mineral mereka.
Sampai akhir 2023, menurut Badan PBB Urusan Pengungsi, sekitar 6 juta orang telah jadi pengungsi di negeri mereka sendiri; hidup di tenda dan bedeng sederhana yang buruk kondisinya. Jika dihitung sejak 1996, konflik bersenjata di sana telah menewaskan 6 juta orang, menjadikannya salah satu konflik paling mematikan sepanjang sejarah manusia.
Dalam Laporan berjudul “Powering Change or Business as Usual?” yang terbit pada 2023, Amnesty International menunjukkan secara detil bagaimana perlombaan perusahaan multinasional untuk memperluas operasi tambang telah memicu pelanggaran hak asasi paling brutal. Warga diusir dari rumah tanah mereka. Rumah-rumah dan tanaman pangan dibakar. Perempuan diperkosa. Anak-anak dipekerjakan di tambang dan diperlakukan sebagai budak. Penyiksaan menjadi praktik lazim.
Itu terjadi justru karena Kongo terlalu kaya. Kongo memiliki cadangan cobalt nomor satu dunia; cadangan tembaga nomor tujuh terbesar di dunia; dan cadangan besar coltan. Sementara coltan dipakai dalam hampir semua perangkat elektronik, cobalt dibutuhkan dalam pembuatan baterai lithium-ion yang diklaim sebagai teknologi bersih untuk mobil listrik. Setiap bateri mobil listrik membutuhkan 13 kg cobalt, dan setiap baterai telpon genggam membutuhkan 7 gram. Kebutuhan akan cobalt diperkirakan mencapai 222.000 ton pada 2025, naik tiga kali lipat dari 15 belas tahun sebelumnya.
Sisi gelap dan brutal perebutan mineral di Kongo dan seluruh Afrika telah banyak didokumentasikan dalam buku, novel dan film. Novel “The Dogs of War” (Anjing-Anjing Perang, 1974) oleh Frederick Forsyth, misalnya, diilhami kisah nyata tentang sekawanan tentara bayaran yang disewa perusahaan multinasional untuk melakukan kudeta, menempatkan pemerintahan boneka, dan memprovokasi perang saudara dalam prosesnya.
Tapi, yang paling memiriskan adalah pelibatan puluhan ribu anak-anak dalam perang. Itu antara lain digambarkan dalam film “The Blood Diamond” (2006). Dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, film ini berlatar perang saudara di Sierra Leone (1991-2002). Itulah perang saudara brutal yang dipicu oleh perburuan berlian.
Buku “A Long Way Gone: Memoirs of a Boy Soldier” (2007) mengisahkan pengalaman pribadi Ishmael Beah sebagai tentara anak-anak; sebuah close-up bagaimana perang merusak jalinan sosial hingga satuan terkecil: keluarga.
Kita bisa bersyukur bahwa Jawa, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara tidak mengalami perang saudara seperti Afrika. Tidak sebrutal Afrika, tapi watak eksploitatif, neokolonialisme dan kekerasan dari tambang-tambang mineral di situ, serta investasi multinasional yang menyertainya, tak bisa diabaikan.
Perang saudara tidak terjadi karena dominan kekuasaan aparat negara. Konsesi-konsesi tambang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional yang dijaga polisi dan tentara. Melayani para investor dan perusahaan, mereka meredam bahkan protes yang terkecil.
Energi petani dan nelayan itu terpecah. Tak hanya melawan rencana pemerintah yang melayani investor, mereka dihadapkan pada konflik antar warga yang kadang bisa berdarah. Pro dan kontra penambangan telah memecah kekerabatan dan keluarga: anak bertengkar dengan orangtua, kakak beradik berselisih paham, permusuhan antar-tetangga. Eksploitasi tambang yang dipaksakan pemerintah mencabik-cabik harmoni sosial di daerah-daerah itu. “Pemerintah ini bukan mengamalkan Pancasila, tapi justru ngremuk (menghancurkan) Pancasila,” kata Marsono, warga Desa Wadas, Jawa Tengah, yang terancam tergusur oleh tambang batu andesit.
Praktik tambang sering berjalan seiring dengan penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Investor yang dilindungi aparat bersenjata mendapat untung besar. Rakyat menuai risikonya, tergusur dan menderita akibat bencana yang mengikutinya. “Anjing-anjing perang” juga menyalak di Indonesia, meski dalam wajah yang lebih halus.
Kita dituntut secara kreatif memanfaatkan potensi alam kita di luar sektor pertambangan masih sangat luas. Indonesia adalah salah satu Megadiversity dunia; negeri dengan keragaman hayati terbesar. Jika Amerika itu superpower militer; Indonesia adalah superpower keragaman hayati.