Akademi Ekoliterasi: Apa dan Bagaimana? (Bagian 1)

 Akademi Ekoliterasi: Apa dan Bagaimana? (Bagian 1)

Ilustrasi: Ditto

Tahun 2008, jika tak salah ingat, pernah saya dibuat tercengang dengan kedahsyatan Khan Academy yang menjadi platform terbuka belajar apa saja dan menjadi pengajaran secara virtual dengan kecanggihan IT (jauh sebelum ramai RuangGuru dan sejenisnya di Indonesia). Ketercengangan itu kemudian mendorong saya mendaftar menjadi pengajar, tetapi karena kesibukan studi di Honolulu sehingga saya malah lebih sering mengintip pembelajaran di YouTube dan website Khan Academy.

Termotivasi dari Khan Academy, saya tergerak untuk mewujudkan sebuah universitas terbuka, sudah lebih dari satu dekade lamanya, yang sementara ini dinamai Akademi Ekoliterasi. Sebuah ruang belajar, wahana urun daya, dan memajukan bersama secara kolektif menyangkut kedaulatan ekologis.

Satu dekade RBK bersama manusia-manusia militan tahan lapar dan belajar dengan keterbatasan serta kekuatan jejaring solidaritas sosial, Akademi Ekoliterasi menjajal eksperimen kreatif: kolaborasi sains dan gerakan sosial. Bukan hanya itu, nalar multifaith menjadi aspek kebaruan di dalam gerakan global menolong kesengsaraan umum (bumi manusia). Multidisipliner dan multifaith di kolaborasi, sambung menyambung menjadi shaf kuat para changemaker.

Ada ragam pendekatan di dalam mendorong kehidupan dan praktik penghidupan di tengah masyarakat yang terus berubah dan juga masyarakat terancam bencana (under attacked). Ke depan, selain globalisasi dan teknologi, climate change akan menjadi faktor determinan di dalam proyek transformasi sosial kebudayaan. Penderitaan manusia terbesar ke depan akan banyak terkoneksi dengan krisis iklim.

Kondisi terkini adalah tantangan besar menuju keberlimpahan pengetahuan yang positif bagi daya tahan/resiliensi masyarakat khususnya yang rentan (perempuan, ibu, anak difabel). Kelompok Akademi Ekoliterasi harus memaksimalkan penguasaan sains dan teknologi dengan kekuatan humanisme autentik: solidaritas ekologi, politik, ekonomi, dan moral demi mewujudnya peradaban lestari (ekologis) tanpa mengorbankan ekosistem kemanusiaan.

Kelompok Akademi Ekoliterasi harus memaksimalkan penguasaan sains dan teknologi dengan kekuatan humanisme autentik: solidaritas ekologi, politik, ekonomi, dan moral demi mewujudnya peradaban lestari (ekologis) tanpa mengorbankan ekosistem kemanusiaan.

Karenanya, Akademi Ekoliterasi sebagai gerakan kaum muda bertumpuh dan memiliki prinsip universal seperti solidaritas kewargaan bumi, inklusif, think globally act locally, gender justice, climate justice, impact, sains agama-alam, dan pro ekonomi lestari.

Hidup di tengah masyarakat berisiko (Ulrich Beck, 2010) lahir dan batin, spiritual dan material, dan campuran dari kecemasan dan ketakutan. Tak punya jurus yang super tangkas untuk menghadapi kegagalan, meminjam Yuval Noah Harari (2020) disebut insignificancy dan irrelevancy.  Menjadi tak relevan dalam tata kuasa ekonomi politik dan teknologi merupakan kehancuran mental manusiawi.

Lalu apa yang musti dijadikan way out untuk menopang ketahanan makhluk antropogenik yang powerful tapi rentan? dari Akademi Ekoliterasi ini langkah-langkah kecil dapat ditempuh sebagai kerja kreatif. Kerja kreatif saya maknai sebagai tindakan-tindakan kreatif perlawanan yang berfungsi menjaga kewarasan publik.

Learning: Radikalisasi Pembelajaran

Fitrah manusia pembelajar sejati sangat menonjol sehingga potensi mahadahsyat ini menjadi keniscayaan untuk didaya-optimalkan. Mental militan sebagai makhluk pembelajar sangat menonjol pada saat bayi atau usia anak-anak. Semakin menua semakin surut kerja belajarnya dan makin tumpul cara bekerja sebagai peneliti organik.

Bagi saya peneliti terbaik adalah manusia di masa kanak-kanak. Mereka tak memerlukan APBN untuk menyimpulkan kebuasan hewan, kesehatan tanah atau air, api panas, dingin es, serunya hujan-hujanan dan cepat mendapatkan kesimpulan. Intervensi kita adalah merawat hasrat belajar sampai akhir hayat (will to know, will to power).

Learn, unlearn, dan relearn adalah sebuah konsep atau proses belajar yang pas untuk komunitas Akademi Ekoliterasi. Berani dan militan membelajarkan diri/komunitas akan hal-hal baru (open minded). Konsep ini hadir sebagai tuntutan perkembangan zaman. Dengan teknologi yang terus berkembang, perubahan tentu tak bisa dihindari. Ini membuat kita harus selalu belajar hal-hal yang baru.

Sangat populer bahwa hari ini orang yang disebut buta huruf pada abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tak mampu mempraktikkan learn, unlearn, dan relearn. Pernyataan dari filsuf kenamaan Alvin Toffler ini viral setelah dikutip oleh Forbes awal tahun 1990an saat menjalarnya internet merambah bumi.

Organizing: Pendalaman Keterlibatan Gerakan Sosio-Ekologis

Pengorganisiran berbasis komunitas merupakan ujung tombak berjuang melawan gerakan perusakan ruang hidup di berbagai tempat. Fase advokasi jenis ini mutlak harus dimenangkan sebelum vis a vis kekuatan yang mengandalkan kekerasan (baca: negara) sebagaimana Max Weber menulis untuk memberi karakter pada negara.

Pengorganisiran, kampanye dan advokasi sebagai kata kunci untuk transformasi sosio politik (tidak dibedakan dengan socio-ekologis). Pilar civil society menjadi harapan untuk berkarir dalam pembaharuan sosial makin melejit pasca reformasi tapi di gebug habis oleh rezim demokrasi oligarkis. Karakter represi berbasis hukum sangat berat untuk dilawan sehingga memerlukan daya kreatif yang lebih dahsyat lagi. Kegagalan membatalkan UUCK UU Minerba dan UU KPK kekalahan maha besar bagi jihad ekologi.

Bagi komunitas literasi atau kelompok pemula yang terlibat dalam gerakan advokasi saya izin membagi referensi secara umum apa itu advokasi dan bagaimana. Beberapa paragraf berikut adalah pengetahuan dasar yang saya ambil dari beberapa referensi tanpa saya ubah narasinya.

Dalam bahasa Inggris, istilah to advocate tidak hanya diartikan to defend (membela), melainkan pula to promote (mengemukakan atau memajukan), to create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan) (Topatimasang, et al, (2000:7). Perubahan dan pertahanan adalah dua sisi mata uang dalam gerakan sosial. Masyarakat adat ingin bertahan, rezim pembangunan ingin membongkar kebudayaan.

Dalam pengantar buku “Pedoman Advokasi”, mengutip Webster’s New Collegiate Dictionary, memberikan pengertian advokasi sebagai tindakan atau protes untuk membela atau memberi dukungan (Nusantara, 2005). Dalam makna memberikan pembelaan atau dukungan kepada kelompok masyarakat yang lemah itu advokasi digerakkan oleh individu, kelompok, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi rakyat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah hak asasi manusia, lingkungan hidup, kemiskinan, dan berbagai korban ketidakadilan pembangunan.

Menurut Mansour Faqih (2007; 1) advokasi dipahami usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Artinya, advokasi bukan revolusi, tetapi lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan peranti demokrasi perwakilan, proses politik dan legislasi yang legitimate.

Definisi lain, Julie Stirling memandang advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah dengan membangun basis dukungan.

Jadi, advokasi merupakan kerja kolektif membangun organisasi-organisasi demokratis (organisasi gerakan sosial) yang kuat untuk meng-counter pemilik kuasa paksa bertanggungjawab. Kerja advokasi dalam pengorganisasian juga kerja memperkuat keterampilan serta pengertian rakyat tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja.

Advokasi berfokus pada banyak perkara—siapa dapat apa di masyarakat (politik), seberapa banyak mereka mendapatkannya, siapa yang ditinggalkan, bagaimana dana publik dibelanjakan, bagaimana keputusan-keputusan dibuat, bagaimana sejumlah orang di cegat untuk partisipasi dalam membuat keputusan itu, dan bagaimana informasi dibagikan atau disembunyikan (Valerie Miller dan Jane Covey, 2005;12).

Act Now! Aksi Langsung Berdampak

Komitmen melakukan adalah kerja memuliakan banyak orang. Kata penyair WS Rendra, perjuangan untuk pelaksanaan kata-kata. Melakukan apa yang kita yakini benar sebagai jihad sosio ekologis. Bahwa rusaknya lingkungan adalah inline dengan rusaknya kemanusiaan dan moral agama sehingga dengan lebih memperkuat ekoliterasi, ecotheology, dan aktivisme gerakan lingkungan sebagai kerja solidarity maker di akademi ekoliterasi.

Dampak wacana dan kampanye dapat menjadi fondasi keberlangsungan gerakan menghadang krisis iklim. Tawaran taktis, Akademi Ekoliterasi akan bersama gerakan lain, melakukan akselerasi kampanye dan aksi langsung sehingga komunitas ini harus terbuka kolaborasi dengan Greenfaith, Greenpeace, WALHI, Icel, Jatam, Muhammadiyah, FNKSDA, KHM, IPM, dan lain sebagainya untuk memperkuat dampak nyata.

Bagikan yuk

David Efendi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.