Sudah Miskin Tertimpa Gunungan Sampah

 Sudah Miskin Tertimpa Gunungan Sampah

Tak benar “tuduhan” Yogyakarta sebagai daerah termiskin. Gelar tak sedap daerah miskin, ancaman tuna wisma, Jogja berhenti nyaman, Jogja asat, dsb sering menghantui daerah dua kerajaan islam di Tlatah pulau Jawa bagian tengah ini. Akan tetapi hantu-hantu itu gampang diusir dengan deheman dan sajen harian glenik-glenik begini: wong Jogja selalu gembira, panjang umurnya. Mitos miskin dan bahagia adalah keseharian yang ditertawakan. Seperti negeri teaternya Clifford Geertz.

Tahun 2001 masuk Jogja terkesan kota sederhana sekali. Mahasiswa UGM berjalan kaki ke sana kemari, naik bus kopata dan aspada muter kemana-mana, dari Umbulharjo ke tempel muter lagi ganti jalur menuju UGM padar terban Malioboro PKU gedung Muhammadiyah dan seterusnya. Kota kecil yang sebentar saja bisa kita kelilingi. Tak ada keangkuhan pengendara motor dan mobil mewah yang karnaval klakson. Orang-orang yang gampang hilang kesabaran dan suka melempar plastik tisu dari jendela mobil tak pernah ada. Perilaku “nyampah” kelas menengah sungguh besarlah dampaknya baik di jalanan, perumahan, dan lokasi wisata.

Populasi manusia yang tak pernah resah oleh sampah akibat konsumsinya makin meroket jumlahnya. Tak terkecuali civitas akademika di kampus-kampus mentereng. Green campus adalah gelar (das sein), bukan kapasitas empirik (das sollen) sehingga ada gap antara idealitas dan realitas.

 Kalau negara tak hadir urusan sampah? Kalau tak hadir cegah kemiskinan dan kesenjangan? so, Do It Yourself! Tapi berat kan?

Dari Drama ke Tragedi Sampah

Pak Maryono, Ketua Paguyuban Mardiko TPST Piyungan binaan MPM PP Muhammadiyah, menyebut ada 446 pemulung, pengepul ada 15, sapinya ada 110, kambingnya ada 200. Upaya menyediakan akses air bersih berupa padasan pernah dibangun MPM tapi negara kurang hadir di urusan ini hanya slogan pengelolaan sampah saja. Kenapa tak kunjung membaik padahal miliaran uang APBD dipakai? Bahkan pusat pun hanya memberi dana untuk perluasan area. Laporan beritanya pemerintah pusat menggelontorkan dana Rp 109 miliar bagi DIY untuk membangun Tempat Pembuangan Sampah Sementara di kawasan Piyungan dengan luasan 1,9 hektare. Pembangunan direncanakan tiga tahun mulai 2020 hingga 2022.

TPST Piyungan menampung sampah dari tiga wilayah di Yogyakarta, yakni: Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Setiap harinya, sekira 630 ton sampah ditumpahkan ke TPST yang memiliki luas 12,5 ha tersebut. Bau methane menyengat dan sering terjadi ratusan ton menggunung jika TPA ini ditutup 3 hari saja.

Selama ini prakarsa publik memang ada. Banyak “anak muda sudah mulai bergerak untuk pilah sampah menuju Jogja zero sampah anorganik,” perlu kita syukuri. Ada juga komunitas Jogja Garuk Sampah, Warga Berdaya, Kotaku, penggerak Bank Sampah dan masih banyak lagi.

Bahkan komunitas agama pun serius berperan melalui gerakan sedekah sampah Brajan. Mas Ananto, inisiator gerakan sedekah sampah yang sudah keliling ke mana-mana mendorong kampanye kurang sampah agar tak jadi bencana. Beliau membuat kesaksian:

“……Tahun 2019 saya juga sudah mendampngi diskusi mereka, tapi yang lebih pokok adalah take action-nya. Sampai hari ini sepertinya hanya ditataran diskusi, seminar. Saya sudah lima kali mungkin diundang di UAD, dll tentang persampahan. Tapi yang jalan di UNIRES UMY, sampah dipilah dan disetorkan ke shadaqah sampah.”

Sependek pengetahuanku, belum ada Pemda di Yogyakarta atau di kabupaten/kota yang serius urus sampah, mereka tak punya alat kelola sampah yang ada hanya memindah sampah dengan teknologi inovasi yang rendah sekali. Anggaran menguap tanpa legasi nyata perkara mengelola sampah. Desa Panggungharjo di Bantul saja setahuku yang punya alat pilah dan ubah plastik jadi batangan-batangan siap pakai untuk material bangunan.  Konon hanya butuh sedikit miliar saja kalau mau mulai. Sudah pasti, kalau hanya memilah manual bakal chaos. Perlu inovasi berbekal dukungan kebijakan dan anggaran untuk cegah atasi sampah.

Tahun 2021 sempat saya melihat dari dekat gunung sampah di Piyungan Yogyakarta. Pemerintah hanya mengandalkan sapi dan puluhan pengais rezeki yang mengurangi gunungan sampah yang mengalami kenaikan terus menerus. Pertanyaan kritis hari ini adalah bagaimana kontribusi banyaknya jumlah kampus hebat di DI Yogyakarta?

Apa betul tak ada terobosan atau tak mampu urus sampah? Tentu saja sangat menggelisahkan jika ini tak pernah jadi perhatian. Isu global diperkuat tapi kehilangan pijakan di bumi. Sangat miris.

Kondisi darurat tapi dinormalisasi. Think globally act locally adalah kekuatan penting untuk atasi krisis sosio ekologis. Saya terpikir, kekuatan masyarakat sipil seperti Kader Hijau Muhammadiyah bisa membuat poster satir TPST TPA Piyungan memanggil rektor dan dosen sedunia untuk cegah tragedi sampah. Sebagai sindiran agar dunia kampus serius mengurus sampah. Dukungan dana riset besar, why not? Apalagi ada kewajiban tridarma perguruan tinggi.

Kita perlu sekarang ini solidaritas sosio ekologis untuk memitigasi dan menyelesaikan tuntas problem ekologi di D.I Yogyakarta. Jangan sampai kutukan sumber daya manusia juga terjadi: hilangnya peran intelektual/cendekiawan pada krisis tata kelola sampah. Krisis ini juga bisa karena pentahelix atau apapun namanya yang disebut sebagai modal sosial tidak bekerja (death social capital) dan tercerabutnya dunia kampus (langitan) dengan dunia kenyataan (kebumian).

Tanpa pembangunan manusia yang berkelanjutan, denganya manungguling kawula akademisi maka akan ada banyak problem sosial terbengkalai dan awet. Kutukan demi kutukan akan menjadi tragedi, drama pun kehilangan tawa jika kondisi di bumi mataram berhati nyaman kini adalah tak lagi nyaman. Di abad ekologi yang ditandai persoalan lingkungan yang semakin akut kondisi buruk itu seperti mimpi muram di siang bolong: sudah miskin tertimpa gunungan sampah.

Kutukan demi kutukan akan menjadi tragedi, drama pun kehilangan tawa jika kondisi di bumi mataram berhati nyaman kini adalah tak lagi nyaman. Di abad ekologi yang ditandai persoalan lingkungan yang semakin akut kondisi buruk itu seperti mimpi muram di siang bolong: sudah miskin tertimpa gunungan sampah.

Saya yang ada di kampus PTM sering menyampaikan juga bahwa inilah saatnya UAD, UMY, UNISA menunjukkan kepeloporan kelola sampah. Jika tidak, kutukan the tragedy of common sungguh akan mengenai siapa saja. Kritik internal kepada Muhammadiyah sangat penting karena Muhammadiyah komitmennya super kuat akan pelaksanaan risalah-risalah peradaban ekologis: teologi, akhlak/etika, fikih air dan penanggulangan bencana. Jadi, inilah saat terbaik untuk bertindak sekarang.

Di organisasi Muhammadiyah, ambisi berkemajuan di semua bidang bolehlah tapi gagal mengelola sampah adalah kekalahan telak sebagai manusia berperadaban unggul.

Yogyakarta adalah Ibukota Muhammadiyah, citranya adalah citra Muhammadiyah, maka Muhammadiyah setidaknya tidak menjadi bagian dari masalah dan terus bekerja mencari solusinya. Bisakah? Kita bantu sampai bisa.

Bagikan yuk

David Efendi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.