Perubahan Paradigma Lingkungan Hidup

 Perubahan Paradigma Lingkungan Hidup

Perubahan Paradigma Lingkungan Hidup
Oleh: IGG Maha Adi
Judul: Hot, Flat, and Crowded: Why We Need a
Green Revolution—and How It Can Renew America
Penulis: Thomas L Friedman
Penerbit: Farrar, Straus and Giroux, New York, USA, 2008
Tebal: 448 halaman
ISBN-13: 978-0-374-16685-4
ISBN-10: 0-374-16685-4

Amerika memasuki Code Green, dan cukup sudah pengaruh Code Red yang dipakai George Walker Bush untuk menetapkan status keamanan Amerika pascaserangan teroris 11 September 2001. Amerika Serikat, begitu tulis Thomas L Friedman, harus memimpin kembali inovasi-inovasi dunia yang ramah lingkungan, efisiensi energi, dan etika konservasi yang mampu memberi inspirasi kepada umat manusia (hal.7), dan beranjak keluar dari konsentrasinya pada perang melawan terorisme. Buku ini bercerita banyak tentang Amerika dan terutama untuk dibaca orang Amerika, tetapi keberpengaruhan ekonomi dan politik Amerika terhadap dunia tetap menjadikannya layak dicermati, terutama pengaruh perubahan paradigma lingkungan hidup yang akan dibawanya untuk dunia. Alasan lain, Amerika adalah rumah bagi gerakan lingkungan hidup global dan inovator dalam gerakan konservasi dunia. Perubahan yang cukup radikal, bila nanti memang ada seperti didorong Friedman, akan banyak mengubah cara kita memandang gaia—ibu bumi ini.

Apa yang membuat buku ini akan mendapatkan perhatian dari para pengambil keputusan adalah karena Friedman dikenal luas sebagai penulis brilian, khususnya untuk laporan luar negeri, globalisasi dan perdagangan bebas. Bukunya tentang globalisasi dibaca oleh para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan besar, mungkin kali ini juga akan membawa pengaruh cukup besar untuk melihat lingkungan hidup dalam perspektif yang diperbarui.

Friedman, pemenang tiga Pulitzer dan beberapa penghargaan buku terbaik, dikenal
sebagai pendukung utama globalisasi dan perdagangan bebas. Karakteristik pembaca bukunya terdahulu adalah kelompok yang tak terlalu ambil pusing terhadap dampak aktivitas
bisnis mereka terhadap kerusakan lingkungan hidup. Buku ini mengungkapkan citranya yang
lain sebagai pemerhati lingkungan global. Friedman mulai dengan perspektif perpolitikan dalam negeri Amerika, dengan pendekatan kebijakan administratif dari berbagai era rezim
pemerintah di Amerika Serikat ketika isu lingkungan mulai mengambil posisi di arus utama, yaitu sekitar dekade 1960-an.Isu lingkungan perlahan menjadi isu arus utama dan tiba-tiba dunia berada dalam krisis multidimensi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi (crowded), yang menyebabkan kebutuhan energi dan meningkatnya emisi karbon ke atmosfer (hot). Kedua isu utama itu tidak mampu diperbaiki segera karena system ekonomi yang ada (flat) gagal bekerja secara cepat dan efektif.

Friedman menguraikan asal muasal persoalan dengan mengutip dari bukunya terdahulu, World that is Flat. Hidup digerakkan oleh kekuatan serupa: kekuatan ekonomi. Faktor penggerak seragam inilah yang menyebabkan dunia dapat dilihat dalam perspektif satu dimensi. Penetrasi ekonomi hampir menembus semua bentuk kehidupan. Akan tetapi, pada saat bersamaan, dunia menjadi riuh karena pertumbuhan penduduk yang Sebagian besar berusaha mencapai tingkat konsumerisme ala Amerika, dan kota-kota tumbuh sebagai kosmopolitan tanpa karakter. Ada sekitar dua sampai tiga miliar orang seperti ini, yang hidup dengan kendaraan mobil, penyejuk ruangan, kulkas, sehingga meningkatkan konsumsi energi secara tajam. Permintaan energi yang tak berkesudahan itu tidak hanya menambah karbon dioksida ke atmosfer tetapi terus mendorong suhu naik ke tingkat yang membahayakan. Permintaan energi juga telah membahayakan keanekaragaman hayati, menghancurkan dan melenyapkan satu spesies setiap 20 menit. Energi telah memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin yang tak punya akses pada listrik, apalagi komputer jinjing.

Pengarang menyatakan bahwa dunia berada pada era Energy-Climate yang ditandai oleh
lima ciri, yaitu peningkatan kebutuhan tidak diikuti persediaan, pengalihan kekayaan besar-besaran kepada kelompok petro-diktator, perubahan iklim, masyarakat miskin semakin tertinggal jauh, dan peningkatan punahnya keanekaragaman hayati.

Menjadi ramah lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena membutuhkan infrastruktur yang bahkan Sebagian besar belum ada saat ini. Argumen-argumen penulis dalam tingkat makro tidak diikuti penjelasan yang memadai. Penulis alpa menguraikan apa yang sesungguhnya terjadi pada isu kelebihan populasi. Apakah program pembatasan kelahiran dapat memperlambat pertambahan penduduk ataukah ada program lain. Masalah lebih besar muncul dari asumsinya bahwa stimulus pemerintah dan kecerdasan manusia begitu saja akan memproduksi inovasi teknologi dan ujungnya akan menemukan sumber energi tiada batas. Sampai hari ini tidak ada bukti bahwa semua itu akan terjadi dalam waktu dekat. Bahkan, bila dikombinasikan dengan energi nuklir, semua jenis energi nonfosil yang ramah lingkungan terbukti tidak dapat menjamin lonjakan permintaan energi global.

Friedman dengan gundah mengungkapkan “ketertinggalan” Amerika dari negara-negara Eropa, Jepang atau bahkan China yang dulu
ditinggalkannya pasca-Perang Dunia II. Dia sedih melihat stasiun-stasiun kereta Eropa yang
berteknologi tinggi dibanding Amerika yang
“sederhana”. Dia cuma melihat beberapa kota
kecil Amerika yang lebih kompetitif dibanding
kota-kota di China. Dia juga tak lupa menceritakan keberhasilan “kecil” beberapa unit
angkatan bersenjata Amerika yang bertugas di
Afganistan yang memakai tenaga matahari dan
angin untuk menyejukkan markas mereka, juga
tentang 7,5 persen kendaraan taksi di New York
yang telah berganti wujud menjadi mobil hibrid.
Dalam konteks Friedman, hampir semua yang
ada di Amerika Serikat hari ini kurang ramah lingkungan.

Amerika Memimpin

Friedman bergelora ingin membawa Amerika kembali memimpin dunia dalam program
Clean Energy System, yang akan mengembalikan “elektron bersih” ke “sarangnya”, yang
digerakkan oleh tenaga surya, angin, gelombang air, dan nuklir. Dia mengatakan bahwa
perusahaan penyedia listrik terus-menerus
mendorong kita untuk meningkatkan dan bukan
menurunkan pemakaian listrik. Karena alasan
keuangan, mereka harus menjaga permintaan listrik tetap tinggi.
Menurut Friedman, cara untuk mengurangi
konsumsi energi adalah dengan membenahi
pasar. Pembenahan pasar tidak hanya dengan
mengurangi pemakaian listrik, tetapi juga bagaimana membuat perusahaan listrik membeli
energi dari sumber yang ramah lingkungan.
Kebijakan ini membutuhkan perubahan radikal
pada rezim perpajakan, insentif, dan harga yang
dapat dilakukan pemerintah. Menurutnya, pasar
sengaja didesain membuat harga bahan bakar
fosil seperti minyak bumi tetap murah, sementara harga energi terbarukan mahal dan
sulit didapat.

Ramah Lingkungan=Mengganti
Rezim?

Bahasan paling menarik, barangkali, adalah ketika perspektif geopolitik Friedman bertemu dengan perspektif lingkungan hidup. Dalam buku ini, Friedman mengambil posisi sebagai patriot. Oleh sebab itu, Amerika Serikat harus memimpin dan membawa perubahan fundamental dalam berbagai pendekatan lingkungan hidup. Salah satu argumen menarik dari Friedman adalah pencapaian Amerika untuk
menjadi lebih ramah lingkungan akan mendorong perubahan di negara-negara lain. Ber-
beda dengan Philips Shabecoff yang menganggap isu lingkungan dapat menjadi isu perdamaian dunia, bagi Friedman isu lingkungan dapat menjadi akselerator kebebasan dan
demokratisasi.

Teknologi energi tidak hanya akan mereformasi negara-negara muslim di jazirah Arab,
tetapi juga gelombang reformasi bagi “pesaing” terberat Amerika Serikat dalam perdagangan internasional, yaitu China. Amerikanisasi dalam model perekonomian China sebaiknya dimanfaatkan untuk menekan negeri ini menjadi lebih hijau (hal. 366). Bila Amerika menjadi lebih hijau, maka China akan mengikutinya, dan hanya di dalam alam demokrasi suara para aktivis lingkungan hidup akan mendapatkan wadah, sehingga pada akhirnya partisipasi masyarakat ini akan mempromosikan kebebasan (hal. 96). Amerika juga sudah seharusnya mengurangi permintaan minyak bumi karena adanya kebutuhan mendorong reformasi di negara-negara Arab-muslim (hal.108). Apakah Friedman kemudian menganggap semua yang terjadi di negeri non-Arab seperti Iran tidak memerlukan “sentuhan reformasi” serupa?

Bila Amerika Serikat berhasil mendesakkan agenda lingkungan hidup kepada China,
maka pemerintah akan memberi ruang lebih
luas kepada aktivis-aktivis lingkungan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan kondisi lingkungan hidup. Kesempatan ini akan membuka lebar partisipasi publik dalam pembangunan dan,
karena tidak ingin dikategorikan sebagai negeri
tidak ramah lingkungan (outgreen), mendorong
demokratisasi negeri tirai bambu (hal. 367).

Perspektif demikian tentu saja menganggap
negeri-negeri lain adalah kompetitor Amerika,
bukan kompatriot. Bahkan dengan lantang dia
menulis, setelah Amerika berhasil memperluas
pengaruh hijaunya, terciptalah kemenangan,
“America wins! America wins! America wins!”(hal. 242).

Bila dikaitkan dengan efektivitas kebijakan
publik, Friedman tak sungkan mengagumi
sebagian dari sistem politik komunis China.
Kekagumannya dapat dipahami mengingat
mesin Partai Komunis China tampak sangat
efektif dalam mendesakkan kebijakan dari atas
ke bawah. “Andaikata kita bisa jadi China untuk
satu hari saja,” tulisnya, “tapi tidak untuk dua
hari.” Menurut Friedman, bila Partai Komunis
China menginginkan China menjadi lebih hijau,
mereka akan berhasil menerapkan kebijakan
ramah lingkungan apa saja, dan akan melaju
meninggalkan negara lain termasuk Amerika.
Ironi terbesar yang dikategorikan Friedman
sebagai hambatan utama perubahan pola pikir
energi di Amerika Serikat adalah kegagalan
kepemimpinan politik dan pengaruh kuat kelompok lobi perusahaan-perusahaan minyak.
Pendapat demikian kurang lebih serupa dengan
Al Gore, dalam cara lebih “lembut”, yang menilai adanya hambatan sistem politik dan
ekonomi antilingkungan di dalam negeri Amerika Serikat. Itu sebabnya perusahaan panel
surya Amerika Serikat, First Solar, bisa mendapatkan pasar potensial di Jerman, Spanyol,
Perancis, Yunani, dan Portugal dibanding di
dalam negeri.

Kritik

Bab pertama buku ini hendak menunjukkan bagaimana menjadi ramah lingkungan akan menuntun pada pembangunan bangsa Amerika (hal. 9). Namun, Friedman tidak menerangkan
hal itu secara detail. Semua dampak yang
dikemukakannya dalam buku ini melulu
ekonomi. Dia juga membahas panjang lebar
tentang bagaimana Amerika akan mendapat
lebih banyak pekerjaan di sektor padat teknologi yang lebih sulit disubkontrakkan kepada
orang atau pekerja asing. Apa yang dia maksud
dengan pekerjaan padat teknologi? Pekerjaan di
bidang konstruksi pemasangan panel surya dan
renovasi bangunan (hal. 338)

Tekanan Friedman pada masalah energi
tidak lantas membuat dia setuju dengan perubahan gaya hidup secara radikal (hal. 194). Dia
yakin bahwa banyak pihak relatif mudah untuk
menjadi lebih ramah lingkungan, tetapi lupa
bertanya sampai di mana batas gaya hidup ala
Amerika bisa ditoleransi. Argumentasi
Friedman justru menjadi bumerang ketika dia
mengkritik eksternalitas dalam kasus pencemaran lingkungan. Menurutnya, akunting hanya
membodohi kita bila tak memperhitungkan
eksternalitas yang timbul dalam perekonomian.
“Kenaikan keuntungan dan PDB kita setiap tahun hanya di atas kertas karena kita tidak menghitung biaya yang sebenarnya. Ibu Pertiwi telah dibodohi” (hal. 260). Jika demikian halnya,
siapakah yang mengatakan dengan lantang ekonomi Amerika benar-benar tumbuh? Apakah sistem perekonomian kapitalistik ala Amerika yang dibela mati-matian oleh
Friedman layak dipertahankan?
Menariknya, atau mungkin cukup mengherankan, Friedman tidak mengajukan beberapa pertanyaan yang telah lama didiskusikan di kalangan cendekiawan di Eropa. Pemikir sosial
seperti Andre Gorz, misalnya, telah lama menganalisis secara mendalam hakikat dan arti
spiritual setiap pekerjaan, termasuk hubungannya dengan ekologi dan energi. Sementara
pendekatan Friedman melulu materialistik dan teknokratis.

Pengarang menyederhanakan manusia menjadi sekumpulan inovator dan konsumen, padahal kita memiliki sejumlah nilai kemanusiaan. Pendekatan kompetisi di antara Amerika Serikat dengan negara lain memosisikan Amerika selalu mengejar pertumbuhan ekonomi tiada henti, padahal isu perubahan iklim dan lingkungan hidup membutuhkan kerja sama global, seperti pendapat Shabecoff, sebagaimana pernah diejawantahkan di Bali dan Kopenhagen.

Dalam buku ini, Friedman menutup sebelah mata terhadap kemiskinan di negara lain. Impiannya tentang teknologi ramah lingkngan di negara berkembang tetap mimpi ala Amerika
yang serba luas, serba besar, dan serba boros energi. Dia, misalnya, membayangkan seorang
petani Brasil dengan 400 hektar lahan, tractor berteknologi tinggi, dan sistem penyemprotan otomatis — singkatnya sebuah mega-farm — sebagai sebuah contoh pertanian masa depan.

Kenyataannya, rata-rata petani Brasil hanya memiliki 60 hektar tanah, bahkan Sebagian besar kurang dari luas itu. Sementara kaum tani di negara berkembang lain seperti Indonesia hanya memiliki garapan seluas setengah hektar saja, bahkan banyak yang menjadi buruh tani tanpa lahan.

Setidaknya ada dua catatan kritis yang patut dialamatkan kepada Friedman. Pertama, kealpaan (kesengajaan?) untuk mengupas lebih jauh apakah pasar kapitalisme ala Amerika merupakan salah satu akar penyebab katastrofi lingkungan global, karena ketergantungan yang sangat tinggi pada sumber-
sumber energi karbon8 Kedua, keyakinannyat erhadap pertumbuhan ekonomi yang semakin
tinggi. Tanpa pertumbuhan ekonomi tidak akan ada pembangunan, sehingga kelompok miskin tidak akan pernah lepas dari jerat kemiskinan (hal. 186).

Apa yang dimaksud Friedman dengan pertumbuhan ekonomi? Jawaban umum
sampai hari ini hampir seragam, yaitu pertumbuhan ekonomi menurut GDP (Produk
Domestik Bruto/PDB). Padahal, PDB terbukti tidak pernah mampu menunjukkan bagaimana kesejahteraan terdistribusikan. Bisa saja satu atau segelintir konglomerat bertambah kaya, dan PDB naik, tetapi pendapatan Sebagian besar masyarakat tidak beranjak. Selain itu, Friedman tidak menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menurut PDB bisa disebabkan
oleh kegiatan yang tidak berhubungan sama sekali dengan parameter kesejahteraan kuantitatif yang diukurnya, seperti penanggulangan penyakit atau pembersihan polusi•

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.