Permasalahan Tanah Dalam Perspektif Fikih Kiri

 Permasalahan Tanah Dalam Perspektif Fikih Kiri

Sumber: dokumen pribadi

Oleh: Anjar Nugroho

Adapun yang terjadi saat ini, berupa pemaksaan dari pihak-pihak tertentu (pengusaha, developer, investor, dll.) untuk menggusur tanah milik rakyat dengan menggunakan tangan kekuasaan, maka itu adalah jelas-jelas sebuah kedzaliman
(As-Syafi’I As-Shaghir)[1]

Hati-hatilah untuk tidak membiarkan dirimu, keluargamu, dan teman-temanmu, menggunakan sekecil apa pun sekenangan atau keistimewaan dalam hal-hal yang merupakan milik rakyat dan harus dibagi rata di antara seluruh rakyat
(Imam Ali)[2]

Pendahuluan

Beberapa orang melakukan aksi mogok makan dan jahit mulut di depan kantor PDIP sebagai protes dan simbol perlawanan terhadap pihal PLN (pemerintah) yang tidak memberi ganti rugi atas tanahnya yang dilewati aliran listrik tegangan tinggi (sutet). Itulah sepenggal fenomena paling baru yang menghiasi perjalanan bangsa ini. Bangsa yang hidupnya berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama Pancasila), tetapi seringkali memusuhi pihak yang paling dikasihi Tuhan (rakyat miskin dan tertindas). Masih banyak fenomena serupa yang terjadi di setiap sudut tanah air ini: penggusuran, ganti rugi tanah yang tidak adil, perampasan hak, dll. Tapi seolah telah menjadi hal yang biasa, berbagai tindak kezaliman dan ketidakadilan itu telah dianggap sebagai tindakan pembangunan dan pengorbanan untuk kesejahteraan bersama (tetapi siapa yang akhirnya sejahtera???).

Memori bangsa ini tidak bisa terhapus begitu saja oleh berbagai “kasus tanah” yang selalu melibatkan kekuasaan. Dan lagi-lagi, rakyat kecil yang senantiasa harus dikorbankan. Dalam kasuh pembangunan waduk Nipah, misalnya, rakyat Nipah harus berkorban darah dan nyawa untuk mempertahankan tanahnya yang hendak digusur. Atau penggusuran 318 rumah dan 400 kuburan di desa Tanjung Pecinan, Mangaran Situbondo, untuk pembangunan megaproyek penyulingan minyak PT. APPRI. Apakah memang demikian yang dinamakan pembangunan? Sebuah upaya merampah hak rakyat atas nama “kepentingan umum” dan “kepentingan bangsa”.

“Kepentingan umum” yang sering menjadi kata kunci penggusuran tanah rakyat, hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi rakyat. Padahal yang sebenarnya punya kepentingan adalah pemilik modal dan orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan, dan merekalah yang kelak akan menikmati keuntungan itu, bukan rakyat yang digusur atau dirampas tanahnya.

Makalah ini akan menyorot problem tanah yang sering melibatkan rakyat kecil vis a vis kekuasaan yang akan ditinjau dari perspektif Fikih Kiri. Mengapa Fikih Kiri? Karena hanya Fikih Kiri yang punya komitamen untuk berpihak kepada mereka yang lemah dan teraniaya, bukan sebaliknya yang mendukung kekuasaan dengan membackupnya melalui simbol-simbol keagamaan. Fikih Kiri adalah milik mereka yang tertindas, sekaligus menjadikan orang-orang yang berbuat dzalim dan tidak adil sebagai musuh yang harus diperangi.

Teologi Tanah dan Kekayaan Alam

Allah telah menjadikan bumi (tanah) untuk kepentingan bersama semua makhluq Allah. Tidak ada hak istimewa pada suatu pihak atau kelompok untuk memonopoli atau menguasai bumi (tanah) untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi justru yang ditekankan adalah bagaimana bumi (tanah) itu dikelola secara adil untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Berikut beberapa ayat al-Qur’an yang mendukung pernyataan itu:

  1. Al-Qur’an surat al-Rahman ayat 10

وَالأرْضَ وَضَعَهَا لِلأنَامِ

“Bumi diciptakan oleh Tuhan untuk semua makhluq”

  1. Al-Qur’an surat al-A’raf ayat 24

…وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

“Bumi diciptakan sebagai tempat hidup dan fasilitas bagimu hingga kini”

  1. Al-Qur’an surat al-A’raf ayat 74

وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الأرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا…

“Ingatlah, ketika Aku (Allah ) jadikan dirimu sebagai penguasa sesudah kaum ‘Ad dan menjadikan bumi sebagai tempat hidup bagimu. Lembah dan ngarainya kamu jadikan tempat tinggal…”

Ketika yang menyeruak dalam pengelolaan bumi/tanah beserta seluruh kekayaan alamnya adalah monopoli sekelompok orang tertentu (para pemilik modal), maka yang terjadi adalah perilaku eksploitatif yang berakibat tidak saja akan merugikan masyarakat secara umum, tetapi keseimbangan alam menjadi terancam. Banyak contoh bencana terjadi selama ini akibat ulah manusia yang serakah, manipulatif dan eksploitatif itu. Lihat misalnya, bencana tanah longsor yang terjadi akhir-akhir ini, hasil pengamatan menunjukkan itu diakibatkan oleh penggunaan lahan yang tidak proporsional dan sewenang-wenang. Maka jangan salahkan Tuhan ketika menurunkan bencana itu kepada umat manusia, tetapi tengok dan cermati, bahwa itu adalah akibat perilaku manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Peringatan Allah tentang hal ini disampaikan-Nya dalam Qur’an surat ar-Rum ayat 41 sebagai berikut:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاس

“Telah nyata kerusakan (timbul bencana) di darat maupun di lautan akibat dari ulah manusia (yang eksploitatif, serakah)…”

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang memperingatkan kepada manusia untuk tidak melakukan tindakan yang merusak harmoni alam. Penciptaan alam raya termasuk lingkungan kosmos manusia (tanah, air dan udara) adalah telah ditentukan qadar (ukuran, hukum)nya, sehingga merusaknya adalah berarti merusak qadar Allah. Dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 56 dinyatakan:

“Janganlah membuat kerusakan di muka bumi (dunia) sesudah direformasi, berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat kepada orang yang berbuat baik”

Ungkapan “janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi” –dalam surat al-A’raf ayat 56 diatas – mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi setelah perbaikan (ishlah) yaitu saat penciptaan bumi oleh Allah sendiri. Makna ini menunjukkan tugas manusia untuk melindungi bumi itu yang sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi tugas reformasi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan alami.

Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi atau perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shalih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia. Tugas kedua ini, lebih berat dari tugas pertama, memerlukan pengertian yang tepat tentang hukum-hukum Allah s.w.t. yang menguasai alam ciptaan-Nya, diteruskan dengan kegiatan bertindak sesuai dengan hukum-hukum itu melalui rekayasa tehnologi (technological engineering). Lebih dari tugas pertama, pemanfaatan alam ini harus dilakukan dengan daya cipta dan kreasi yang tinggi, dan dengan menggunakan prinsip-prinsip keseimbangan.

Reformasi dunia yang diajarkan oleh al-Qur’an berlandasakan pada prinsip keadilan dan kejujuran, khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi yang melibatkan proses pembagian kekayaan dan pemerataannya antara warga masyarakat, sebab dunia yang sudah direformasi itu tidak boleh mengenal terjadinya perolehan kekayaan secara tidak sah dan tidak adil. Bahkan juga tidak boleh terjadi penumpukan kekayaan begitu rupa (kapitalisasi) sehingga harta benda dan sumber hidup masyarakat beredar diantara orang-orang yang kaya saja dalam masyarakat.

Ajaran tentang pemerataan sumber daya hidup masyarakat (sosialisme) itu jelas sekali disebutkan dalam al-Qur’an. Meskipun ayat yang terjemahannya tertulis seperti di bawah ini turun dalam konteks khusus harta rampasan perang, namun pesan moralnya adalah universal dan abadi. Sebab disebutkannya harta rampasan perang hanyalah penyebutan suatu sumber daya hidup yang penting, sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu. Rampasan perang sebagai sumber daya penting itu dapat dibawa kepada analogi dengan sumber sumber daya manapun. Jadi ayat berikut ini merupakan perintah umum pemerataan pembagian kekayaan nasional.

“Apa saja harta rampasan perang yang diberikan Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya yangberasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (Q.s. al-Hasyr/59:7).

Fikih Kiri sebagai Perspektif

Fiqih dalam agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihâd (intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihâd . Ada aliran fiqih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihâd , ada aliran yang cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihâd .

Berbagai ragam aliran fiqih pada era klasik lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat atau umat saat itu ketimbang sekedar adu argumen berbasis metodologi tertentu yang tidak memiliki nili praksis apapun. Imam Hanafi lebih liberal dalam ber-ijtihâd , karena ia dihadapkan pada dinamika Bashrah yang tinggi, sementara perbendaharaan teks (Qur’an dan Hadis) jumlahnya terbatas. Inilah kondisi yang memberi peluang kepada Imam Hanafi untuk lebih kreatif dalam memainkan eksperimen intelektualnya.

Tetapi yang jelas dari sekian corak dan ragam pemikiran fiqih yang muncul pada jamannya, pemikiran itu mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud oleh Hasan Hanafi dengan nilai praksis pemikiran keagamaan,[3] sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.

Fiqih Kiri yang menjadi diskursus inti dalam kajian tulisan ini tentu saja memiliki tujuan dan orientasi sebagai bagian dari upaya mengarahkan Fiqih Kiri ke arah pemikiran keagamaan yang memiliki nilai praksis. Wacana Fiqih Kiri sewarna dengan wacana Islam Kiri yang sudah digagas luas oleh Hasan Hanafi maupun beberapa pemikir lain yang menempatkan Islam sebagai kekuatan kritik sosial dan revolusi. Fiqih Kiri pun diarahkan kepada bentuk pemikiran fiqih yang mempunyai keberpihakan yang jelas kepada pihak yang teraniaya dan tertindas. Fiqih Kiri di sini harus dapat memberi panduan kepada umat untuk dapat memformulasikan bentuk-bentuk perlawanan kepada kedhaliman sebagai manifestasi perjuangan menegakkan keadilan dan kemashlahatan di muka bumi.

Adalah Prof. KH. Ali Yafie[4] dan KH. Sahal Mahfudz[5], ulama fiqih Indonesia yang pernah melontarkan pemikiran tentang fiqih sosial. Fiqih sosial dalam bayangan mereka adalah fiqih yang mempunyai orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kapada masalah-masalah sosial. Fiqih bukan saja seperangkap hukum yang mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan orang lain (muamalah) dengan berbagai macam dimensi ; politik, ekonomi, budaya dan hukum.

Fiqih sosial, begitu Fiqih Kiri, memiliki asumsi bahwa fiqih adalah al-ahkam al-amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggungjawab atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain sehingga kemashlahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fiqih diukur oleh relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih makmur, dinamis, adil, dan beradab (mashlahat).

Fiqih Kiri dalam konteks ini, berseberangan dengan fiqih yang selama ini diasumsikan sebagai sesuatu yang statis untuk mendukung stabilitas dalam masyarakat. Lagi-lagi ini adalah sebagai akibat dari bias kepentingan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan maupun pengetahuannya. Fiqih yang diposisikan sebagai medium harmoni macam ini, akan terjebak pada arus yang tidak seirama dengan kepentingan rakyat banyak.[6]

Penguasa memang mempunyai kepentingan yang kuat untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya, tanpa peduli apa yang ia lakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemashlahatan masyarakat. Tak jarang penguasa melakukan kolaborasi dengan pihak penguasa agama (ulama) agar kebijakan yang ia telorkan memiliki bobot legitimasi yang kuat. Aneka kebijakan pembangunan dengan menggusur rumah-rumah kumuh yang notabenenya dimiliki oleh rakyat jelata dan papa, diamini oleh ulama rezim dengan dalih untuk kemashlahatan umum, yaitu ketertiban tata kota.[7] Tentu saja ini fenomena yang sangat mencengangkan, dilihat dari perspektif peran ulama yang semestinya lebih berpihak kepada rakyat kecil ketimbang penguasa yang sering menindas rakyatnya. Sehingga fiqih yang keluar dari pemikiran ulama model ini sarat dengan kepentingan kelas tertentu, dan sama sekali tidak menyentuh akar kebutuhan rakyat.

Fiqih Kiri mempunyai orientasi dan misi pembebasan sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dan Fiqih Kiri bermakna melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan sosial yang penuh penyimpangan dan ketidakadilan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul dahulu. Masing-masing Nabi dan Rasul mendapat tugas risalah yang muaranya adalah pembebasan manusia dari belenggu kedhaliman dan tirani.

Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak pula pada diri Nabi Muhammad saw, Nabi dan Rasul pamungkas dari kesekian Nabi dan Rasul yang pernah diutus Allah di muka bumi. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup.[8] Ada banyak budak, para janda dan anak yatim yang diabaikan tanpa ada yang peduli terhadap nasib mereka. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak dan dia kembali dengan pasukan pembebas untuk menagakkan keadilah. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Persia yang menindas.[9] Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.

Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan sang revolusioner pertama di zaman ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.[10]

Rasul mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.

Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir.[11]

Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Ia mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan.[12]

Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pula para pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 7-15 disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (7) وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ (8) ثُمَّ صَدَقْنَاهُمُ الْوَعْدَ فَأَنْجَيْنَاهُمْ وَمَنْ نَشَاءُ وَأَهْلَكْنَا الْمُسْرِفِين (9) َقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلا تَعْقِلُون (10) وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آخَرِينَ (11) فَلَمَّا أَحَسُّوا بَأْسَنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُون (12) لا تَرْكُضُوا وَارْجِعُوا إِلَى مَا أُتْرِفْتُمْ فِيهِ وَمَسَاكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْأَلُون (13) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (14) فَمَا زَالَتْ تِلْكَ دَعْوَاهُمْ حَتَّى جَعَلْنَاهُمْ حَصِيدًا خَامِدِينَ (15)

“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah bebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.”[13]

Secara harfiyah, zulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi zhulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.[14]

Al-Qu’an mendefinisikan zhâlimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan).[15] Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..”[16]. Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku (Q.S. Ali Imran surat 116-117) :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (116) مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ وَمَا ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (117)

َ“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri” [17].

Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, penguasa yang zhâlim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang zhâlim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kezaliman dan membela orang kecil.[18]

Tetapi yang perlu mendapat cacatan tebal di sini adalah bahwa Fiqih Kiri, sebagaimana pula Islam kiri, bukanlah fiqih yang dibungkus Marxisme, karena hal itu berarti menafikkan makna revolusioner Islam dan fiqihnya serta mengingkari tuntutan kaum muslimin terhadap kemerdekaan, persamaan dan keadilan sosial. Fiqih Kiri – sebagaimana pula Islam kiri – bukan pula Marxisme yang berbaju Islam, karena hal itu berarti pengecut. Dan bukan pula pertautan ekletik keduanya. Karena pertautan yang demikian itu mencerminkan pemikiran yang tidak mengakar dan tercerabut dari realitas rakyat. Tidak ada sedikitpun pengaruh Marxisme dalam Fiqih Kiri, baik dalam bentuk maupun substansi. Ia murni merefleksikan kebutuhan kaum Muslimin yang selama ini tertindas, dengan menggali akar-akar revolusioner dalam ajaran Islam melalui upaya revitalisasi teori-teori yang selama ini digunakan sebagai landasan pijak pemikiran Islam.[19]

Itulah yang menjadi tujuan dan orientasi Fiqih Kiri; fiqih yang selalu berpihak kepada mereka yang ditindas, teraniaya, miskin (atau termiskinkan, mustadh’afîn). Melalui formulasi Fiqih Kiri, problem-problem mendasar dalam kehidupan masyarakat dapat diselesaikan melalui rumusan-rumusan hukum dan fatwa agama yang selalu membela kepentingan rakyat banyak. Mashlahât al-âmmah (kemaslahatan umum) menjadi barometer dan landasan asasi dalam merumuskan Fiqih Kiri.

Penerapan Fikih Kiri dalam Kasus Penggusuran

Di muka telah disebut, bahwa seringkali dengan dalih pembangunan, maka perampasan hak rakyat menjadi sesuatu yang dianggap tidak masalah, bahkan ini harus, karena pambangunan selalu berorientasi kepada “kepentingan bersama”. “Kepentingan bersama” dalam konteks ini terasa sangat kabur dan bias, karena faktanya pembangunan hanya berpihak kepada kelompok tertentu saja, apalagi jika yang dibangun itu adalah simbol-simbol atau perangkat kapitalisme, seperti pembangunan mall, tempat hiburan, pabrik industri, padang golf dan sebagainya. Rakyat yang mana yang akan menikmati pembangunan macam ini.

Tetapi tentu saja tidak bisa dinafikan bahwa “kepentingan bersama” dalam pembangunan itu ada, misalnya dalam pembangunan jalan, waduk irigasi, sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya. “Kepentingan bersama” dalam konteks ini harus diwujudkan, tetapi tetap dengan cara-cara yang benar-benar adil dan tidak ada pihak yang dirugikan terlalu besar. Ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah dalam kasus ini harus tetap proporsional dan manusiawi, sembari tetap melakukan negosiasi dengan prinsip-prinsip at-taradli dan syura. Fikih menyebut hal ini sebagai istimlak bi al-qimmah, penguasaan hak orang lain dengan ganti rugi.

Contoh yang secara eksplisit disebutkan dalam kitab kuning adalah, ketika ada sebuah masjid yang sudah tidak lagi memuat jamaah dan sudah sangat mendesak untuk diperluas, tetapi dengan konsekwensinya harus mengorbankan tanah warga yang berada di samping masjid. Apakah boleh memaksa pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya? Para fuqaha menjawabnya: Boleh, dengan syarat pemilik tanah harus mendapat ganti rugi yang layak.[20]

Ketentuan fikih ini tidak untuk memberi peluang tindah sewenang-wenang pemerintah terhadap rakyat. Tidak pula untuk mengabsahkan penguasaan pemodal besar atas rakyat kecil. Meskipun sudah jelas bahwa proyek yang hendak dilaksanakan adalah demi al-mashlahah al’ammah (( المصلحة الامة, tetapi tetap diperlukan musyawarah untuk menetapkan harga ganti rugi. Al-Qur’an memberi petunjuk: la tadzlimuna wala tudzlamun ( ( لاتظلمون ولا تظلمون .

Jadi, sesungguhnya ada dua hal yang perlu dipastikan dalam penggusuran tanah rakyat. Pertama, apakah tanah itu memang dibutuhkan untuk proyek pemerintah yang manfaatnya untuk kepentingan umum (al-mashlahah al’ammah/ المصلحة الامة). Kedua, apakah telah ada kesepakatan harga antara pemilik tanah dengan pelaksana proyek. Jika kedua syarat ini tidak dipenuhi, maka tidak ada pembenaran bagi pihak manapun untuk menggusur tanah milik rakyat, dan pada sat yang sama, rakyat wajib mempertahankan dengan cara apapun, termasuk dengan demonstrasi (mogok makan, jahit mulut), sekalipun harus mengorbankan jiwa. Ini sejalan dengan pesan Rasulullah: “Jika kamu terbunuh (saat mempertahankan hak milikmu) maka kamu mati syahid, dan kalau mereka yang terbunuh maka dia masuk neraka”.[21]

Di luar itu maka tidak ada peluang sama sekali untuk melakukan penggusuran tanah rakyat dengan dalih apapun. Pembangunan lapangan golf, hotel berbintang, mall, real estate yang manfaatnya hanya dirasakan kelompok tertentu bukanlah alasan untuk menggusur tanah rakyat, meskipun membawa-bawa negara dan bertopeng demi kepentingan umum. Jika ini yang terjadi, adalah tindakan dzalim yang dosanya teramat besar.

Memerangi kedzaliman adalah kewajiban agama. Maka jangan ada rasa takut dan khawatir untuk selalu membela mereka yang lemah (dhu’afa) dan dilemahkan (mustadh’afin), karena Allah memerintahkan[22] : ولا تخشوهم فاخشونى (“janganlah kamu takut kepada mereka (yang dzalim) tetapi takutlah kepadaku (jika kamu tidak memerangi mereka)”).

Daftar Pustaka

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Qur’an-Munawwir, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984
Ali Syari’ati, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan, 1998
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung : Mizan, 1994
Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan, 1999
Eko Prasetyo, Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist,2002
Hasan Hanafi, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Yogyakarta : LkiS, 2003
_, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : LKIS, 2004
Muhammad Ibn Isma’il as-Shan’ani, Subul as-Salam, Kairo: Maktabah al-Mujalladah al-‘Arabi, t.t.
Musthafa Ahmad Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al’am, Beirut: Dar al-Fikr, 1967
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta : LkiS, 1994
Syamsuddin Muhammad Ibn Abi al-Abbas al-Anshari, Nihayah al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS, 2000

catatan akhir

[1] Syamsuddin Muhammad Ibn Abi al-Abbas al-Anshari, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Juz V, hlm. 343
[2] Dikutip dari Eko Prasetyo, Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist,2002), hlm. Cover Belakang
[3] Lihat Hasan Hanafi, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, (Yogyakarta : LkiS, 2003) hlm. 160-177
[4] Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 10-15
[5] Lihat Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta : LkiS, 1994), hlm. 1-9
[6] Mogok kerja, misalnya, dianggap sebagai tindakan yang melanggar akad antara pekerja dan pihak menejemen perusahaan, sehingga perilaku pekerja ini tidak boleh menurut ketentuan fiqih. Mengapa demikian? Karena fiqih diposisikan sebaqgai seperangkat aturan untuk menjaga stabilitas tanpa harus melihat aspekaspek penindasan, penganiayaan dan sebagainya.
[7] Lihat Eko Prasetyo, Islam Kiri …op.cit., hlm. xxv-xlv
[8] Gambaran sadis dan biadab itu dapat dilihat dalam al-Qur’an surat at-Tanwir : 8-9
[9] Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi Pembebasan, (Bandung :, Mizan, 1999), hlm. 28-30; bandingkan dengan Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta : LkiS, 2000), hlm. 23-29
[10] Lihat Ziaul Haque, Wahyu … op.cit., hlm. 216
[11] Ibid., hlm. 226
[12] Ibid., hlm. 45
[13] al-Qur’an surat al-Anbiya’: 7-15
[14] Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Qur’an-Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984), hlm. 255

[15] al-Qur’an surat al-Baqarah : 254
[16] al-Qur’an surat Ali Imran : 21
[17] al-Qur’an surat Ali Imran : 116-117
[18] Ali Syari’ati, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 45
[19] Lihat Hassan Hanafi, “Apa Arti Kiri Islam” … op.cit., hlm. 128
[20] Musthafa Ahmad Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al’am, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), Juz I, hlm. 248
[21] Lebih jelas lihat hadis dalam Muhammad Ibn Isma’il as-Shan’ani, Subul as-Salam, (Kairo: Maktabah al-Mujalladah al-‘Arabi, t.t.), Juz IV, hlm. 72
[22] Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 150

*) Penulis adalah staf pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto, sedang menempuh studi S2 pada program studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis di berbagai Jurnal Ilmiah Nasional Terakreditasi, diantaranya al-Jami’ah Journal of Islamic Studies (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta); As-Syir’ah (Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga); Profetika (Magister Studi Islam Univ. Muh. Surakarta); Ulumuddin (Fak. Agama Islam Univ. Muh. Malang); Afkaruna (Fak Agama Islam Univ. Muh. Yogyakarta); dll. Bersama dengan kawan-kawan telah menulis buku: Kembali ke Al-Qur’an, Menafsir Makna Zaman, (Malang: UMM Press, 2004); dan Pluralisme & Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005).

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.