Pemilu, Kematangan Berdemokrasi, dan Hal-hal Lain yang Belum Selesai

 Pemilu, Kematangan Berdemokrasi, dan Hal-hal Lain yang Belum Selesai

Selama lebih dari tiga dekade Indonesia hidup dalam kegelapan otoritarianisme. Tahun 1998 menjadi tonggak baru. Krisis ekonomi pada 1997, fragmentasi elit, dan gerakan mahasiswa pada 1998 telah mengantarkan negeri ini memasuki cahaya baru reformasi. Pada 21 Mei 1998 rejim despotik runtuh beserta seluruh bangunan besar politik yang menopangnya. Sejumlah prosedur, mekanisme, dan kelembagaan politik demokratik dibangun di tengah reruntuhan rejim otoritarianisme.

Kebebasan sipil, sistem politik yang tersentralisasi, kontrol atas penyalahgunaan kekuasaan, dan pemilihan keterwakilan politik tidak langsung adalah empat agenda utama yang diusung kelompok-kelompok prodemokrasi pasca-1998. Tak kurang UUD 1945 mengalami amandemen hingga empat kali. Selain itu, Undang Undang (UU) mengenai kebebasan sipil, desentralisasi, pembatasan keras atas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta pemilihan umum (Pemilu) yang mengemansipasi penyelenggara pemilu, partai politik, dan suara pemilih dibentuk dengan spirit demokratik.

Dalam kaitan ini, menarik untuk melihat pemilu yang digelar sejak reformasi 1998. Pada era Orde Baru pemilu berlangsung secara sangat terbatas, tertutup, dan elitis. Pemilu hanya diikuti oleh partai politik yang direstui oleh penguasa. Tidak ada kebebasan untuk mendirikan partai politik. Partai nonpemerintah tak lebih hanya sebagai aksesoris dan penghias demokrasi semu ala Orde Baru. Kebebasan memilih juga absen. Kontrol suara pemilih oleh penguasa sangat dominan ketika itu.

Namun sejak reformasi 1998, kran kebebasan politik dibuka lebar. Bukan hanya kebebasan pers, berpendapat, berserikat, dan berkumpul, rejim politik baru yang dipimpin Presiden BJ Habibie ketika itu mengesahkan UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No. 4/1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR. Regulasi-regulasi ini menjadi prakondisi bagi terwujudnya pemilu pertama paling demokratis pasca-Orde Baru. Partai-partai politik baru lahir dan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Pemilu 1999 menjadi pemilu yang diikuti oleh 48 partai politik. Ini rekor pemilu dengan jumlah peserta terbanyak setelah pemilu 1955 yang diikuti oleh 29 partai politik.

Setelah 1999, pemilu digelar pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Dalam rentang waktu 20 tahun terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam prosedur, mekanisme, dan pelembagaan pemilu. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu ditetapkan sebagai lembaga yang berwatak nasional, tetap, mandiri, dan bersifat hirarkis di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Perubahan lain yang tak kalah pentingnya terkait dengan pemilu langsung, baik pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sejak 2004 rakyat memilih presiden secara langsung. Hal ini tak lepas dari ketentuan amandemen kedua UUD 1945 terhadap Pasal 6A yang mengatur presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Perubahan UUD 1945 diatur lebih lanjut melalui UU No. 20/2004 tentang Pemilu. Adapun pilkada langsung dilegitimasi oleh otonomi daerah yang diamanatkan amandemen kedua UUD 1945 (Pasal 18) dan disahkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketentuan ini berdampak terhadap proses elektoral di daerah. Jika sebelumnya kepala daerah dipilih oleh DPRD tingkat provinsi atau kabupaten/kota, sejak UU ini berlaku efektif pada 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Perubahan penyelenggaraan pemilu yang paling fenomenal terjadi pada pemilu 2019. Pemilu 2019 digelar serentak setelah Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menetapkan kebijakan tentang pemilu serentak dan disahkannya UU No. 7/2017 tentang Pemilu. Pada pemilu 2019 untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota secara langsung.

Pemilu dengan jumlah pemilih sebanyak 192.828.520 orang, diikuti oleh dua pasangan calon presiden (capres), 16 partai nasional, 7.968 calon anggota legislatif (caleg), yang tersebar di 80 daerah pemilihan (dapil) dan 809.500 unit Tempat Pemungutan Suara (TPS), baik yang ada di dalam maupun luar negeri, inilah pemilu terbesar di dunia. Dengan level pemilu sebesar itu, tanpa konflik yang berarti, Indonesia telah menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa ini telah matang dalam berdemokrasi. Bahwa terjadi polarisasi yang tajam antara dua kubu yang bertarung dalam pilpres, bahkan di level akar rumput, hal itu tidak membuncah menjadi ledakan konflik sosial yang berat.

Kontrol Publik, Representasi, dan Partisipasi

Lebih dari 20 tahun sudah reformasi politik bergulir. Capaian dalam demokrasi prosedural bisa dibanggakan. Pemilu yang bebas dan terbuka telah berlangsung selama lima kali dan nyaris tanpa konflik sosial yang berarti. Padahal sebelum pemilu-pemilu itu digelar, kekhawatiran dari sejumlah peneliti akan terjadinya konflik horizontal sangatlah tinggi. Ternyata pemilu berlangsung relatif damai dan, dengan begitu, kita dapat secara sahih mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah siap dalam berdemokrasi.

Namun timbul pertanyaan lanjutan, apakah capaian kita dalam berdemokrasi sudah cukup? Apakah demokrasi telah selesai setelah pemilu berlangsung bebas, terbuka, dan damai? Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring kita untuk menelisik lebih jauh tentang makna sejati dari demokrasi.

Jika kita melacak pada karya-karya para sarjana tentang demokrasi, kita dapat menemukan makna sejati dari demokrasi. Esensi dari demokrasi adalah kontrol publik atas urusan-urusan pemerintahan dengan berbasiskan pada kesetaraan politik. Dalam kaitan ini, demokrasi ditentukan oleh kualitas dari representasi, partisipasi, akuntabilitas, transparansi, daya tanggap, solidaritas, dan otorisasi (Beetham 2002, Törnquist 2009).

Pitkin (1967) menggarisbawahi pentingnya representasi dalam demokrasi. Kualitas representasi ditentukan oleh perwakilan politik di parlemen yang menghadirkan suara, pendapat, dan perspektif warga dalam proses pembuatan kebijakan publik. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah partisipasi yang tumbuh dari bawah. Hal ini akan menstimulus dan memperkuat kualitas representasi dari para anggota parlemen yang dipilih oleh rakyat.

Partisipasi rakyat juga sangat penting untuk memperkuat kontrol publik dalam urusan politik sehari-hari (daily politics). Partisipasi politik tak hanya diukur dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu. Partisipasi pasca-pemilu jauh lebih penting karena menentukan hitam-putih demokrasi. Tanpa partisipasi rakyat yang efektif dalam perumusan kebijakan, maka demokrasi akan sangat mudah direbut oleh kaum oligarki.

Pada titik ini, kita bisa mengevaluasi rejim demokrasi yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade di negeri ini. Apakah kontrol publik atas sejumlah urusan pemerintahan telah berlangsung efektif? Apakah para kepala daerah di eksekutif dan wakil rakyat di legislatif yang telah dipilih oleh rakyat secara langsung itu telah merepresentasikan ide, gagasan, dan kepentingan sejati rakyat? Bagaimana partisipasi rakyat dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan publik?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sangat baik jika kita menguji praktik politik yang terjadi akhir-akhir ini, menjelang hasil pilpres disahkan. Pada September 2019 publik dikagetkan dengan kerja cepat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merumuskan dan mengesahkan beberapa Rancangan Undang Undang (RUU) kontroversial, utamanya RUU Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbagai RUU itu lolos begitu saja tanpa pelibatan partisipasi dan kontrol rakyat. Alhasil, RUU-RUU kontroversial itu mengandung problem representasi. Berbagai kritik sosial yang mengemuka di ruang publik dan media diabaikan. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa publik kita selama ini tidak memiliki kekuatan kontrol yang berarti dalam perumusan kebijakan.

Kekosongan kontrol itu kemudian diisi oleh Gabungan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) yang turun ke jalan secara serentak di kota-kota besar di Indonesia pada 23 dan 30 September 2019. Mereka menyuarakan ketidakpuasan publik terhadap DPR yang merevisi dan kemudian mengesahkan RUU KPK tanpa pembahasan yang matang. Mereka juga mendesak pembatalan RUU lainnya–utamanya Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP)–yang dinilai membahayakan kebebasan sipil di masa depan.

Jika kelompok mahasiswa tidak turun, sulit dibayangkan kalau DPR akan menarik RUU-RUU kontroversial tersebut. Kekuatan mahasiswa memang mampu melemahkan DPR yang akhirnya menunda pembahasan RUU-RUU tersisa yang kontroversial itu. Namun kita tak bisa terus mengandalkan kekuatan politik mahasiswa. Selain karena mahasiswa hanya elemen kecil dari warga, kontrol publik membutuhkan kapasitas partisipasi dari seluruh warga. Apalagi konsolidasi elit justru makin matang akhir-akhir ini.

Mereka bisa dengan mudah mengemukakan ide, gagasan, dan kepentingan mereka yang bertentangan dengan publik. Gagasan elit politik untuk mengubah sistem pemilu menjadi pemilu tidak langsung, baik pilkada (melalui DPRD) maupun pilpres (melalui MPR), dan juga gagasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden bukanlah fenomena yang hadir di ruang hampa. Konsolidasi elit pasca-pemilu 2019 telah mengeraskan oligarki politik sekaligus melemahkan tiga fundamental demokrasi substansial: kontrol publik, representasi, dan partisipasi. Gerbong demokrasi seolah hendak ditarik mundur jauh ke era kegelapan masa lalu. Dalam situasi ini, kerja-kerja politik demokratik dari blok-blok demokratik membutuhkan strategi dan taktik politik yang jitu untuk mengembalikan demokrasi pada rel sejatinya.

Bahan Bacaan

Beetham, David, dkk. 2002. International IDEA Handbook and Democracy Assessment. New York: Kluwer Law International.

Pitkin, Hanna Fenichel. 1967. The Concept of Representation. Berkeley: University of California.

Törnquist O., dkk. 2009. Rethinking Popular Representation. Palgrave Studies in Governance, Security, and Development. New York: Palgrave Macmillan

Bagikan yuk

Asep Mulyana

Asep Mulyana merampungkan pendidikan S1 pada Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada 2006—2018 ia bekerja sebagai peneliti di Komnas HAM. Pada 2008 ia mengikuti International Human Rights Training Programme (IHRTP) di Kanada dan melanjutkan studi pada Program S2 HAM dan Demokrasi di UGM dan University of Oslo, Norwegia. Pada 2015 Asep mengikuti Leadership Training di Johns Hopkins University, Amerika Serikat. Lalu sejak 2018 Asep melanjutkan studi doktoral bidang ilmu politik di UGM atas beasiswa PhD dari Universitas Leuven, Belgia. Ia dapat dihubungi via e-mail: asepmulyana@mail.ugm.ac.id.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.