Pemikiran paradigma baru dalam teologi: sebuah tafsiran

Oleh Thomas Mathus dan David Steindel-Rast
paradigma teologis lama dapat disebut paradigma rasionalistik, manualistik atau kau skolastik- positif Karena ciri-ciri khasnya yang utama telah dirumuskan dalam pedoman pedoman teologis yang didasarkan pada naskah-naskah skolastik
sedangkan paradigma baru dapat disebut paradigma holistik ekumenis atau thomistic transcendental meski tak satupun dari sifat-sifat ini yang mencirikannya secara lengkap pemikiran paradigma baru dalam teologi meliputi lima kriteria dalam teologi meliputi lima kriteria sebagai berikut dua yang pertama mengajukan pandangan kita atas wahyu ilahi ketika berikutnya mengacu kepada metode teologis yang kita pakai
pergeseran dari Tuhan sebagai pemberi kebenaran menjadi realitas sebagai penyingkapan diri Tuhan
dalam paradigma lama diyakini bahwa keseluruhan ke Seluruh ajaran agama (yang pada dasarnya semua sama pentingnya) merupakan tambahan saja terhadap kebenaran yang diwahyukan.
Dalam paradigma baru hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan nya di balik dari ajaran-ajaran tertentu hanya dapat dimengerti melalui dinamika pewahyuan sebagai suatu keseluruhan. akhirnya, Wahyu sebagai suatu proses adalah sebuah kepingan. Ajaran-ajaran tertentu memfokuskan diri pada momen-momen tertentu saja dalam pengungkapan-diri Tuhan di dalam alam sejarah dan pengalaman manusia.
pergeseran dari Wahyu sebagai kebenaran Abadi kepada Wahyu sebagai manifestasi historis
dalam paradigma lama diyakini bahwa terdapat sekumpulan kebenaran adikodrati yang statis yang akan diwahyukan oleh tuhan kepada kita tetapi proses historis pewahyuan itu dianggap sebagai tambahan saja sehingga menjadi kurang penting.
dalam paradigma baru proses dinamis dari sejarah keselamatan itu sendiri merupakan kebenaran Agung pernyataan diri Tuhan. Pewahyuan dalam dirinya sendiri pada hakekatnya bersifat dinamis
pergeseran dari teologi sebagai ilmu objektif objektif kepada teologi sebagai proses mengetahui
dalam paradigma lama pernyataan pernyataan teologis diasumsikan bersifat objektif yakni tidak tergantung kepada pribadi yang meyakininya maupun proses mengetahui.
paradigma baru meyakini bahwa refleksi atas cara-cara mengetahui yang non konseptual–intuitif afektif, mistis–harus dimasukkan secara eksplisit ke dalam wacana teologis
pada titik ini tak ada konsensus tentang sejauh mana sumbangan yang telah diberikan oleh cara-cara konseptual dan non konseptual bagi wacana teologis, yang ada ialah munculnya konsensus bahwa cara-cara pengetahuan pengetahuan non konseptual adalah bagian integral dari teologi
pergeseran metafora pengetahuan dari bangunan kepada jaringan
metafora pengetahuan yang diibaratkan sebagai bangunan– hukum hukum fundamental, prinsip-prinsip dasar, tiang tiang penyangga dan sebagainya– telah digunakan dalam dunia ilmu dan filsafat barat selama ribuan tahun
selama berlangsungnya pergeseran pergeseran paradigma dirasakan bahwa fondasi-fondasi doktrin tersebut telah rapuh
dalam paradigma baru metafora bangunan telah digantikan dengan metafora jaringan kerja (Network). sebagaimana yang kita lihat realitas merupakan jaringan hubungan-hubungan, pernyataan -pernyataan teologis kita, demikian pula, membentuk jaringan kerja yang saling berhubungan dari berbagai perspektif mengenai realitas transcenden.
dalam jaringan kerja semacam itu masing-masing perspektif merupakan pandangan-pandangan yang khas dan valid kepada kebenaran
Pergeseran dari bangunan kepada jaringan kerja juga mengimplikasikan ditinggalkannya konsep tentang sistem teologi monolithic sebagai pengikat semua orang beriman serta sebagai satu-satunya bagi ajaran yang otentik.
pergeseran dari pernyataan pernyataan teologis kepada misteri misteri ilahi
paradigma teknologi manual ditandai dengan adanya kumpulan yang lengkap (Summa), yang menandakan pengetahuan teologis kita telah kering.
paradigma baru, dengan penekanan yang lebih besar pada misteri, mengakui sifat terbatas dan kira-kira dari setiap Pernyataan teologis.
Teologi tidak akan pernah dapat memberikan pemahaman yang lengkap dan definitif mengenai misteri misteri ilahi
para teolog, sebagaimana setiap orang beriman. Mememukan Kebenaran ultim, bukan pada pernyataan pernyataan teologis, melainkan pada realitas kemana pernyataan itu memberikan sebuah kebenaran tertentu. Namun dengan ungkapan yang terbatas.