Nikel dan Hilirisasi – Belajar dari Iran

Sumber: Rumah Baca Komunitas
Proyek industrialisasi yang digadang-gadang sejak zaman Orde Baru, dan dipromosikan secara agresif satu dasawarsa terakhir lewat jargon “hilirisasi”, tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Kita kini justru sedang menyaksikan mundurnya sektor industri yang oleh para ekonom disebut sebagai gejala deindustrialisasi. Industri kita sudah layu bahkan sebelum berkembang terlalu jauh.
Sumbangan industri terhadap GDP pada era Jokowi mencapai titik terendah, yakni hanya sekitar 18%. Angka itu turun drastis dari sekitar 32% pada awal Reformasi. Sumbangan industri terhadap ekonomi nasional kita kalah dari Malaysia (23%) dan Thailand (27%). Kualitas industri kita pun merosot. Nilai tambah sektor ini pada era Jokowi hanya 39%, lebih rendah dari masa Presiden Megawati (44%) dan Susilo Bambang Yudhoyono (42%).
Ada banyak faktor yang menyebabkan kemunduran dini sektor industri. Tapi, salah satu yang terpenting adalah kurang seriusnya negeri ini membangun industri karena mabuk kepayang oleh sektor ekonomi ekstraktif. Jika di masa Orde Baru kita dibuat terlena oleh booming minyak dan bisnis kayu gelondongan dari menebang hutan, pada era Reformasi kita dimanjakan oleh lonjakan harga komoditas sawit dan batubara, serta nikel belakangan.
Fenomena itu dikenal sebagai The Dutch Disease, atau Penyakit Belanda. Yakni ketika lonjakan pertumbuhan sebuah sektor, dalam hal ini pertambangan dan perkebunan monokultur, menyebabkan kemunduran sektor lain seperti industri dan pertanian.
Istilah itu diperkenalkan oleh Majalah The Economist pada 1977 dengan merujuk pada penemuan ladang gas alam di Negeri Belanda pada 1959. Temuan baru itu menyedot sumber daya modal, tenaga kerja, maupun perhatian para pengambil kebijakan, sehingga sektor lain terabaikan.
Istilah Penyakit Belanda tidak hanya merujuk pada penemuan bahan tambang, tapi juga ketika harga komoditas tambang melonjak. Ini berlaku, misalnya, untuk nikel belakangan ini. Kita sudah lama tahu bahwa Indonesia memiliki salah satu cadangan nikel terbesar di dunia, yakni sekitar 5 miliar ton. Tapi, baru belakangan saja nikel menjadi primadona karena prospeknya sebagai bahan baku baterai mobil listrik, yang diharapkan menjadi trend model transportasi ramah alam di masa depan.
Pemerintah mensyaratkan investor, yang sebagian besar dari China, untuk membangun pula industri pengolahan (smelter), yang belakangan populer dengan istilah “hilirisasi nikel”. Dengan itu pemerintah berharap, Indonesia tak lagi hanya menjual bahan tambang mentah tapi memperoleh nilai tambah dari produk yang sudah diolah. Lebih jauh, pemerintah berharap langkah tadi bisa mengembangkan sektor industri lebih luas mencakup pabrik mobil listrik dengan semua industri turunannya.
Itu gagasan yang bagus. Tapi, masalahnya, sebagian besar produk nikel yang dihasilkan oleh smelter China tadi adalah nikel kelas dua, nilai tambahnya kecil dan hanya dibutuhkan untuk produk baja tahan karat, bukan untuk keperluan baterai mobil listrik.
Smelter-smelter China tadi juga membutuhkan bahan baku biji nikel sangat besar, sekitar 120 juta ton per tahun. Jika praktek ini dilanjutkan, Kementerian ESDM sendiri memperkirakan cadangan nikel kita akan habis paling lama dalam kurun 10 tahun saja. Walhasil, nikel kita akan segera ludes tanpa punya peran signifikan dalam pengembangan industri hilir.
Penyakit Belanda sudah lama dikenal oleh para ekonom, tapi berbeda dari Iran, kita sepertinya kita tak belajar untuk menghindarinya. Iran punya kekayaan mineral jarang (rare earth), tapi menahan diri untuk tidak buru-buru menambang dan menghabiskannya. Salah satu cara mencegah Penyakit Belanda memang mengeksploitasi tambang secara perlahan dan seksama.
Iran memiliki deposit raksasa logam tanah jarang di Zona Mineral Sangan seluas 12.000 kilometer persegi. Iran sebelumnya sudah dikenal memiliki mineral serium, lantanum, neodimium, dan itrium. Tiga unsur itu sangat dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan tabung hampa udara, baterai yang mengandalkan teknologi hibrida logam. Semua mineral itu jauh lebih tinggi nilainya dari kekayaan minyak mereka.
Sejumlah negara Eropa menawari Iran investasi milyaran dolar untuk membeli dan mengolah mineral itu dengan membangun smelter di sana. Namun, alih-alih berambisi menjadi pemasok mineral terbesar di dunia seperti Indonesia atau Kongo, Pemerintah Iran lebih memilih membiarkan sumber daya mewah itu tetap berada di dalam bumi. Para ilmuwan Iran ditugaskan melakukan riset untuk menemukan cara mengurai unsur logam tanah jarang tadi dengan teknologi sendiri. Pemerintah Iran memilih menunda operasi pertambangan sampai benar-benar siap, termasuk memitigasi dampak lingkungan alam dan sosialnya yang harus ditangani secara bijaksana.
Sikap Iran itu mengingatkan kita pada ucapan Bung Karno, yang memilih menunda investasi asing penambangan emas. Tambang hanya layak dieksloitasi ketika anak-anak negeri ini sendiri benar-benar siap melakukannya secara mandiri, dan kalau perlu menunggu sampai bergenerasi.
Kita sering mendengar istilah “kutukan sumber daya alam”, yakni fenomena yang menghantui banyak negara kaya akan sumber daya alam tapi terbelakang dan rakyatnya miskin. âThe curse of oilâ, misalnya, juga sering dinisbatkan pada Indonesia. Kita pernah kaya minyak, namun kini menjadi salah satu importir minyak terbesar, sementara itu tetap saja miskin.
Sebenarnya, bukan minyak itu sendiri yang terkutuk. Kutukan minyak terjadi terutama karena kekeliruan kita dalam memperlakukan sumber daya yang pasti akan habis alias tak-terbarukan. Iran memperlakukan tambang mineral sebagai modal, sementara kita memperlakukannya sebagai penghasilan jangka pendek dengan mengobralnya secara murah.
Kita tidak memperlakukan minyak sebagai modal untuk serius membangun sumber daya manusia dan penguasaan sains-teknologi yang bisa memanfaatkan sektor-sektor ekonomi lain. Ketika minyak habis, kita tak beranjak piawai menjadi negeri industri. Bahkan tidak pula pada sektor pertanian yang perannya terus merosot.
Kita terlalu terpukau pada pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi menuntut jalan pintas memanjakan sektor swasta besar, mendahulukan industri-industri padat modal yang berorientasi pada produksi massal. Petani dan nelayan yang bekerja dalam usaha dan industri kecil terabaikan dan kian terpuruk.
Ketika minyak habis, kita mulai menjarah hutan. Pohon, flora, dan fauna hutan adalah sumber daya terbarukan. Namun, eksploitasi berlebihan lewat bisnis kayu dan perkebunan monokultur seperti sawit mempercepat hilangnya hutan, lebih cepat dari yang bisa kita manfaatkan. Padahal, dengan keragaman hayatinya, hutan adalah modal untuk mengembangkan industri hilir yang sangat beragam, baik dalam pengolahan pangan, farmasi, biokimia dan kosmetika.
Kemunduran sekaligus sektor industri bukan hanya disebabkan oleh mabuk ekonomi ekstraktif itu sendiri. Istilah Penyakit Belanda berlaku pula ketika sebuah negara dibanjiri oleh bantuan dan investasi asing. Ketergesa-gesaan menerima investasi asing dalam bidang pertambangan justru telah menciptakan ketergantungan. Kita seharusnya belajar dari kasus Freeport.
Pada 1967, hanya tiga pekan setelah berkuasa, Soeharto memberi Freeport konsesi tambang emas selama 30 tahun. Pada 1991, sebelum kontrak habis, Soeharto memperpanjang konsesi itu hingga 30 tahun kemudian. Dengan logika sederhana, pada 2021 Indonesia semestinya punya peluang mengambil-alih konsesi tambang itu secara utuh tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun.
Namun, Pemerintah Jokowi memutuskan membeli separo saham Freeport sambil memperpanjang konsesinya hingga 2061. Artinya, Freeport akan mengelola konsesi tambang itu hampir satu abad lamanya. Dan selama hampir satu abad kita pula tergantung pada Freeport karena tak mampu mengelola tambang emas itu baik secara teknologi maupun manajemen.
Dan sepertinya kita tetap belum belajar dari kekeliruan menghamba pada investor. Bahkan tanpa Omnibus Law, Indonesia adalah tujuan investasi terpenting di Asean. Namun, sebagian besar investasi itu cenderung dibelanjakan untuk infrastruktur mercusuar dan proyek-proyek real-estate megah. Bukan untuk memperkuat riset dan penguasaan teknologi serta pengembangan mesin-mesin industri pengolahan. Sektor industri kita mundur justru di tengah investasi yang berlimpah.