Muhammadiyah dan Alam: Relasi yang Perlu Diperbarui

Muhammadiyah sebagai jangkar modernisasi agama punya persoalan sekaligus tanggungjawab moral spiritualnya. Pembaharuan faham keagamaan telah memanifeskan gap spiritual antara manusia dalam lingkungan hidup. Rasionalisme seolah membenarkan faham antroposentrisme di mana bumi dan isinya untuk sebesar besarnya hasrat akumulasi kapital bagi manusia. Rasionalisme keagamaan menghilangkan dimensi spiritualisme manusia dalam membangun relasi yang adil kepada sesama ciptaan-Nya.
Kondisi demikian sangat tidak memaslahatkan bumi karena di saat ini kapitalisme memimpin peradaban global. Kelompok Islam pun hanya menjadi penumpang di dalam proses pembentukan peradaban. Tawaran model peradaban ekologis justru seolah datang dari kelompok sekuler dan pasifisme kelompok Islam di jagat raya harus dibayar mahal: keringnya dan semakin jauhnya praktik kekhalifahan (caretaker) manusia di bumi.
Kekalahan lainnya Islam adalah terpinggirnya peran ekonomi politik dan ekologi politik. Kekalahan yang bisa menjadikan virus apatisme meluas di dalam peran stewardship manusia- alam. Kekafiran ekologis bisa dipicu oleh kemiskinan. Narasinya pun sangat fatalis di dalam banyak hal. Misal: Tuhan yang menghendaki bencana alam, kita musti bersabar padahal jelas-jelas di banyak ayat tangan manusia bisa mengundang dan mendatangkan bencana alam. Spiritualisme nampaknya perlu diperbarui dalam zaman Anthropocene ini.
Resakralisasi Alam
Seyyed Hossein Nasr punya kontribusi besar mengganggu status que paham keagamaan kita yang abai pada daulat alam. Bahkan ada kegagalan di mendengar aspirasi alam (nature). Penderitaan alam sering tidak menjadi bagian dari cara menyempurnakan agama. Di mata gerombolan kaum rasionalis, alam tak punya nilai sakralitas sama sekali. Rasionalis di Muhammadiyah perlu di revisi sehingga krisis sosio-ekologis mutlak juga dipandang sebagai krisis spiritualitas sehingga ada tubuh beragama kita lebih bergairah dan beberapa nalar palsu beragama nir-ekologis perlu di reformasi secara radikal.
Hakikatnya, wajah alam semulanya sudah disakralisasi oleh Yang Maha Suci dan Sakral itu sendiri. Konsep kekuatan define adalah tentang cara kita memperlakukan sumber daya alam secara adil. Banyak kaum akademisi sudah memberikan kesimpulan kunci bahwa surutnya kualitas sakral alam berawal dari terjadinya desakralisasi pengetahuan yang berlangsung di benua Eropa pada zaman Renaissance yang melahirkan rasionalisme antroposentrik. Kekuatan pengubah zaman ini menyatakan bahwa segala sumber pengetahuan berasal dari rasio/akal, sementara pengetahuan yang bersumber dari wahyu ihwal ekologi dimarjinalkan. Jika perlu dibangkitkan dari kuburannya (jika telah dikubur). Sayang, justru kita lihat kebangkitan muslim/muslimah environmentalist di ekosistem Muhammadiyah. Sangat menggembirakan bukan?
Kembali ke perkara sakral-desakral. Jadi nampaknya puncak desakralisasi alam adalah alam kehilangan makna sakralnya dan manusia tercerabut dari sejarah sebagai makhluk ekologis. Pendekatan filosofis ditawarkan banyak peneliti agama dianggap barangkali akan membantu mengubah cara pandang kelompok beragama kepada alam semesta. Dengan demikian, ada praktik politik loss and damage secara teologis dan peradaban manusia lebih mendekat pada gelombang rahmatan lil al alamien.
Sebagaimana yang kita tahu, konsepsi resakralisasi alam merupakan istilah bentukan Nasr sebagai upaya untuk memperbaiki peradaban modern yang nirekologis dan mengundang krisis bumi. Resakralisasi menurutnya bahwa alam hanya bisa dilakukan melalui agama dalam bentuk tradisionalnya sebagai repositori suci, sebagai sarana untuk menuju Yang Suci (sacred). Hanya agama, filsafat tradisional yang diambil dari sumber spiritual, metafisik, yang dapat mengungkapkan relativitas manusia dalam prinsip Ilahiah, dan tidak menuntut jenis relativisme yang begitu lazim di dunia modern dengan segala risikonya.
Konsep resakralisasi alam sebagai jawaban untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup adalah upaya transformasi dalam diri manusia yang telah hidup di pinggir lingkaran eksistensi untuk kembali kepada pusat eksistensi hingga mencapai kualitas sakral alam (Yanter Bahri, 2022). Metode pelaksanaan resakralisasi alam sangat relevan dengan keadaan kehidupan manusia zaman sekarang. Keadaan hidup manusia yang berusaha meninggalkan dimensi spiritualitasnya, ternyata menimbulkan masalah-masalah baru dan lahirnya berbagai jenis penyakit yang tidak dapat diatasi. Oleh karena itu, konsep resakralisasi alam berpotensi menyentuh inti persoalan manusia modern, yaitu menghubungkan kembali manusia dengan Pencipta-Nya.
Resakralisasi alam tidak hanya diperuntukkan untuk satu kelompok agama saja, tetapi kepada seluruh umat manusia yang ingin berperan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup. Panduan agama-agama tradisional dikemukakan oleh Nasr sebagai jalan untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan juga dengan Tuhan. Dalam tradisi Islam, metode pelaksanaannya bisa ditemukan dalam tasawuf atau sufisme.
Repolitisasi Agama-Alam
Demarkasi yang negatif antara kesadaran politik dengan umat Islam adalah peristiwa politik Orde Baru yang mengundang banyak trauma. Kaum reformis hanya menjadi basis legitimasi karena keengganan berpartai politik karena parpol sering disebut sebagai habitat kelompok TNI-ABRI dan golongan karya. Massa mengembang menjadi teknik bekerjanya kekuasaan dominan hegemonik. Sebagian umat Islam sering menjadi pemilih pasif dan menjadi statistik saja tanpa gerakan menjadi faktor determinan politik. Peristiwa kekalahan Islam dalam politik elektoral sudah mafhum kita akui. Hari ini kita memperlihatkan peristiwa yang sama walau sedikit berbeda yaitu munculnya kondisi apolitical ecology di kalangan umat Islam. Perjuangan menyelamatkan bumi tak diakui sebagai gerakan politik dan setiap ada tarikan advokasi lingkungan sering dinegasikan.
Peran penyelamatan bumi pun akhirnya didepolitisasi sedemikian hebat sehingga itu menjadi tabu dan berisiko. Muhammadiyah misalnya, lebih menunjukkan keterlibatan sebagai edukasi dan sosialisasi atau memandang persoalan lingkungan sebagai ranah negara. Ini situasi kebatinannya walaupun jika di tilik dari beragam risalah di Muhammadiyah, kerja dalam bidang lingkungan sebagai kerja politik advokatif dan banyak narasi baru akan repolitisasi agama-ekologis. Apa buktinya?
Dalam PHIWM disebutkan aspek nahi munkar dalam bidang lingkungan, dalam materi muktamar Muhammadiyah ke-48 ada desakan regulasi krisis iklim, dan dalam tanfid muktamar paling anyar menyebutkan peran advokasi lingkungan hidup. Perlu juga saya kutipkan risalah yang lebih klasik putusan muktamar 2000 yang bunyinya Muhammadiyah berperan:
- Memasyarakarkan hidup sehat dan sadar lingkungan sebagaimana pesan luhur ajaran Islam bahwa kebersihan bagian dari iman dan hendaknya memakmurkan bumi serta tidak melakukan fasad (perusakan) terhadap alam, yang dilakukan melalui berbagai upaya baik langsung maupun melalui media massa cetak dan elektronik.
- Melaksanakan dan mengambil peranan aktif dalam gerakan-gerakan dan pengembangan program/kegiatan pelestarian lingkungan hidup baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pemerintah dan LSM (Lembaga Pengembangan Masyarakat) yang bergerak dalam pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup.
- Berperan aktif dalam mendukung dan melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup maupun dalam melakukan rehabilitasi dan konservasi terhadap lingkungan hidup yang telah mengalami kerusakan.
- Mendorong dan ikutserta dalam mengawasi tindakan-tindakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang merusak dan mengancam kelestarian lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam di bumi
Saya sendiri berusaha memberikan kesaksian akan hadirnya narasi ekologi yang dianggap kurang mainstream di Muhammadiyah. Tapi bukan berarti tidak ada bahkan ada gerak memperkuat partisipasi muhammadiyah dalam politik lingkungan dan politik alokasi nilai sumber daya alam.
Saya sendiri berusaha memberikan kesaksian akan hadirnya narasi ekologi yang dianggap kurang mainstream di Muhammadiyah. Tapi bukan berarti tidak ada bahkan ada gerak memperkuat partisipasi muhammadiyah dalam politik lingkungan dan politik alokasi nilai sumber daya alam. Tonggak gerakan lingkungan di Muhammadiyah bukan tahun 2000 namun lebih awal sekutar 1990an tapi tahun 2000 adalah muktamar pertama pasca reformasi politik 1998.
Saya sedang meriset dengan memberdayakan arsip yang ada di majalah SM dan didukung oleh dokumen-dokumen resmi organisasi untuk membantu saya membangun kesimpulan yang sifatnya masih sementara. Pertama, bahwa dukungan Muhammadiyah terhadap rezim pembangunan bagian dari visi Muhammadiyah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare and development). Kerja pembangunan selalu inline dengan agenda Muhammadiyah sehingga kadang selalu berhimpitan dengan negara.
Kedua, kritik dan wacana di Muhammadiyah mengenai dampak aktivitas pembangunan lingkungan bersifat akademik-etis (moral ekologis) sehingga tidak menjadi upaya mentransformasikan agenda pembangunan pertanian yang lebih ekologis atau menghentikan deforestasi sebagai tuntutan hal ini karena Muhammadiyah berada dalam spirit pembangunan yang sama. Saking halusnya kritik ke negara, nyaris tak terlihat seperti pada proyek bendungan dan revolusi hijau. Muhammadiyah kalaupun ada kritik atau gerakan solidaritas biasanya dari personal khususnya guru-guru kampung. Ketiga, kesadaran akan pentingnya keterlibatan Muhammadiyah dalam perkara lingkungan hidup telah tumbuh di tengah menguatnya respons negara akan pentingnya memiliki lembaga yang mengurus lingkungan hidup.
Kesadaran pelembagaan kementerian lingkungan di zaman Orde Baru direplikasi Muhammadiyah setelah Orde Baru surut yaitu di tahun 2000-an yaitu dengan membentuk lembaga/majelis lingkungan hidup sebagai rumah gerakan Al-maun hijau. Secara umum, Muhammadiyah dapat disebut relatif berjarak dengan isu pangan dan ekologi lantaran aktifisme Muhammadiyah di zaman Orde Baru lebih dapat diperlihatkan sebagai fenomena urban namun respons terhadap dampak industrialisasi dan modernisasi misalnya polusi mendapat perhatian cukup kuat.