Menciptakan Ekosistem Perubahan Radikal (Bagian 1)

Tangan kuasa Tuhan menciptakan perubahan radikal atas jagad raya yang kaum positifis menyebutnya teori big bang(ledakan besar) lalu disusul era megalotocene dan zaman kuasa alam batu seterusnya, lalu antroposene, dan kini zaman capitalocene yang diaktori oleh oligarki kelas dunia. Zaman kapitalisme merampok ini bisa saya sebut sebagai oligarkopocene mengingat sepuluh tahun terakhir ini oligarli di Indonesia lebih populer ketimbang sebutan kapitalis atau erzazt capitalisme(kapitalisme semu).
Transformasi besar atau perubahan radikal tidak selalu dimulai dari jutaan orang turun ke jalan, revolusi juga bisa dari ruang sunyi, dari invensi teknologi, creative minoroty, dan tentu saja bisa dimulai dari kaum muda belia. Sejarah sudah banyak mengabadikannya dalam berbagai buku ensiklopedia.
Tetapi sorry to say, perubahan radikal tak pernah bisa dijanjikan dari bergunung gunung dan beratus juta populasi manusia silence majority. Kelompok mayoritas diam seringkali hanya menjadi obyek perubahan, tertinggal di buritan zaman, dan mirisnya mereka dapat menjelma menjadi penumpang gelap peradaban(free rider of civilization).
Dalam konteks masyarakat islam, hal ini pedih sebagai kenyataan dan nyata keadaan(ketakberdayaan). Kondisi ini menjadi pemicu sosok reformis muslin Kyai Ahmad Dahlan dan segenap guru inspiratornya untuk merubah kondisi ummat islam di planet bumi. Kesadaran akan obyektifikasi ini juga mendorong sarjana NU membuat fikih peradaban dan sarjana Muhammadiyah menciptakan gerakan mencerahkan semesta(renaisance) untuk setidaknya berangkat dari kekuatan empiris.
Tagline islam berkemajuan (islam with progress) telah memberikan guideline yang clean and clear) dalam risalah islam berkemajuan plus isu isu strategis menurut Muhammadiyah baik menyangkut problem keummatan, kebangsaan (nasional) maupun global (kemanusiaan universal).
Masalah kaderisasi yang diproduksi terus menerus oleh baik Muhammadiyah atau NU telah melahirkah kader diaspora yang “muda mendunia” dan salah satu sepak terjangnya adalah pada perkara penyelamatan bumi manusia melalui isu iklim, pangan, bencana, dan teknologi transisi energi.
Sayang sekali, masalah ekologi /keadilan iklim yang muncul dalam isu kemanusiaan universal tak masuk dalam delapan prioritas program kebijakan Muhammadiyah padahal urgensinya sudah dibuktikan oleh beragam temuan saintists kenamaan(world class scientist) baik yang bekerja di kampus atau pusat riset dunia.
Grafik menunjukkan jumlah angkatan muda terus merangkat naik di negeri kurang adil dan kurang lestari ini. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2022 sebanyak 68,82 juta jiwa penduduk Indonesia masuk kategori pemuda. Angka tersebut porsinya mencapai 24% dari total penduduk. Artinya seperempat populasi anak bangsa belum ditambah yang berjiwa revolusioner tentu jumlahnya bertambah besar. Ini adalah oase politik harapan yang dapat melawan serta memukul mundur krisis lingkungan akibat gerak ekonomi oligarkis cum ekstraktif.
Harapannya di tengah kutukan kapitalisme yang menciptakan depresi besar besaran atas planet bumi sehingga perlu kaum muda ini menciptakan serbuan balik untuk great transformation pasca Polanyi–transformasi dari ekonomi kapitalistik menuju ekonomi politik kebumian (ala Vandana Shiva). Justru ekonomi dan demokrasi yang berhitung pada kepentingan planet lestari adalah embbeded yang sesungguhnya karena tidak diciptakan oleh sistem manusia tapi sistem ekosistem ilahiah.
Populasi kaum muda memberikan harapan “bonus demografi” yang jika salah kelola akan menjadi bonus krisis sosio ekologis yang multidimensional. Krisis pangan dan air bersih saja dapat memicu konflik mematikan dan pelanggaran ham berat. Bayangan perang air ini bukan hanya skala lokal tapi global jika pasokan air mengering (baca: perang air dan buku earth democracy karya Vandana shiva).
Kaum muda dan Kendala Krisis Iklim
Membuat daya revolutif kaum muda berdampak untuk keadilan semesta manusia merupakan tanggungjawab moral bersama baik moral ekonomi, moral politik, moral agama, dan moral ekologis. Semesta manusia merupaka n terminologi yang interchangable dengan konsep manungguling kawula lan gusti, alam dan manusia, dan konsepsi tentang kondisi rahmatan lil alamin.
Kiat mendayagunakan kekuatan kaum muda yang revolusioner (swbagaimana digambarkan dengan baik oleh Ben Anderson (2015) dalam disertasinya revolusi pemuda). Secara internal kaum muda perlu berorganisasi. Kekuatan organisasi tak tergantikan di zaman biologi, zaman informasi 4.0, atau juga masih sangat compatible di era society 5.0. Pengorganisasian demokratik dapat mengerem laju roda copot oligarhypocene atau capitalocene yang merangsek pada organ kekuasaan formal(negara) sehingga negara berasa pasar.
Kedua, pilihan gerakan yang inklusif sebagai watak gen baru yang keluar dari sekat primordial dan batas batas etnik, agama, partai, negara, dan sebagainya. Gerakan lingkungan sendiri sejak dasawarsa 80-an sudah dikenal sebagai new social movement.
Ketiga, konsepsi kaum muda terkait ekonomi dibangun di atas praksis green dan blue economy dalam konteks anti kapitalistik dan anti oligarkisme. Kuasa ekonomi alternatif akan memperkuat kemandirian pergerakan. Keempat, kolaborasi global sebagai ruang kewargaan bumi (earth citizenship) dimulai dari kolaborasi wacana, pendidikan, kampanye, aksi aksi langsung berdampak meluas. Kerja ini memerlukan kesadaran ekosistemik antar agensi di dunia untuk saling support tanpa merasa inferior. Ketika Greta bergerak, semua bersolidaritas dan begitu sebaliknya greta perlu support gerakan kaum muda lain di berbagai belahan sudut bumi.
Terakhir, challenging dictatorship sangat perlu diupayakan ketika kekuatan demokratik direpresi kaum muda harus berani menantang kekuasaan. Jika tak mampu merubah kebijakan ubtuk lebih emansipatif pada semesta alam, merebut kekuasaan adalah takdir kaum muda. Jika perjuangan tanpa kekerasan tak kuasa memberi dampak, maka pilihan radikal bukanlah keniscayaan yang ahistoris. Kaum muda adalah anak kandung dan anak sah segala ibu revolusi.
Dari great tranformation Polanyi barangkali kita dapat belajar untuk mencari di luar alternatif-alternatif yang tidak memadai yang biasa diperolehnya, menerima tidak lebih jauh dari liberalisme, menerima mentah-mentah kolektivisme, atau pengingkaran terhadap ahli ramal dari individualisme, untuk itu semua cenderung membuat sistem ekonomi menjadi tujuan utama manusia sehingga berujung pada zaman keserakahan (dekade keserakahan, Josep Stiglitz) . Hanya dengan mengutamakan ekonomi masyarakat rentan, persatuan umat manusia yang inklusif saling tergantung, yang terhadapnya kita dapat berharap untuk melebihi kebingungan dan kontradiksi-kontradiksi zaman capitalocene yang terjadi saat ini.
Masyarakat beragama dan beriman bertanggungjawab mempertahankan planet bumi dari serangan gelombang energi kotor tang tiada hentinya. Ummat muda beragama perlu bersatu agar planet bumi tak terhancurkan terlalu cepat.