Matematika Keragaman Hayati

Sumber: rumahbacakomunitas
Dari Tambang ke Keragaman Hayati
Di Desa Wae Sano, Flores, kami bertemu petani yang tidak biasa. Yosef Erwin Rahmat namanya. Lahan pertanian Yosef, yang terletak sekitar 30 kilometer dari pusat wisata Labuan Bajo, akan terkena dampak untuk kepentingan proyek geotermal pemerintah. Yosef ditawari “ganti untung” atas tanaman yang tumbuh di atasnya. Namun, petugas lapangan, yang datang dari kota, hanya menghitung pohon besar: kemiri, kopi, alpukat, kakao, dan jeruk.
“Tidak bisa,” kata Yosef. Menurutnya, semua yang tumbuh di atas lahannya harus dihitung.
Yosef juga protes karena taksiran harga tiap pohon terlalu rendah. Pohon kemiri (Aleurites moluccana), misalnya. Kemiri adalah rempah populer untuk bumbu masak. Petugas dari kota yang belum pernah melihat pohon kemiri hanya menghitung potensi hasil bijinya selama setahun.
“Tidak bisa,” kata Yosef.
Kemiri adalah pohon tahunan. Dia baru menghasilkan biji setelah ditanam 3 tahun. Jika tidak ditebang, pohon kemiri bisa bertahan hidup sampai 50 tahun, menghasiskan 200 kilogram biji per tahun setiap pohonnya. “Harus dihitung sampai berapa tahun pohon itu bisa menghasilkan,” kata Yosef. Selain untuk bumbu masak, biji kemiri juga bisa disuling menjadi minyak nabati untuk biofuel karena kandungan minyaknya yang tinggi.
Tinggi pohon kemiri bisa mencapai 25 meter lebih. Diameter batangnya lebih dari 1 meter. Daunnya lebar dan tumbuh rimbun menciptakan tutupan (kanopi) yang luas. Jamur tumbuh subur di bawah kanopinya, dan bisa dimakan. “Itu juga harus dihitung,” kata Yosef. “Berapa luas kanopi dan berapa tahun menghasilkan.” Jamur akan terus tumbuh selama pohon kemiri tidak ditebang.
Selain jamur, di sela-sela rerumputan juga ada beberapa tanaman obat seperti daun mencok, yang khas di sana. Daun ini biasa direbus untuk diminum para perempuan yang habis melahirkan, demi menjaga kesehatannya. Juga ada rempah seperti kapulaga (Elettaria cardamomum). “Bapak pernah melihat pohon kapulaga belum?” tanya Yosep. Sang petugas menggeleng. “Kapulaga adalah rempah termahal setelah vanili.”
Menurut Yosef, petugas tidak cukup hanya menghitung tanaman yang ada sekarang. Potensinya di masa depan juga harus dihitung. “Saya akan menanam 1.000 pohon vanili di sini.” Harga vinili kering bisa mencapai Rp 5 juta per kilogram.
Singkat kata, Yosef mengatakan hanya rela melepaskan seluruh asetnya jika dihargai paling sedikit Rp 26 miliar. “Tapi, dengan harga itupun saya tidak akan melepaskannya,” kata Yosef. “Seberapa pun besarnya, uang itu akan habis, hanya menunggu waktu. Tapi, apa yang kami miliki sekarang di tanah kami, di desa kami, takkan habis sampai kiamat pun jika tidak dirusak.”
Yosep tidak mengada-ada. Wae Sano adalah salah satu wajah kongkret dari MegaDiversity Indonesia, salah satu negeri dengan keragaman hayati tertinggi di dunia. Yosef juga bukan petani bodoh. Penganut Katolik taat ini pernah sekolah di sebuah seminari tingkat menengah atas Flores, dan kini menjadi salah satu pengurus paroki, komunitas gereja di Desa Wae Sano. Yosef salah satu petani Wae Sano yang paling gigih membela ruang hidup warga desanya.
Di seluruh Flores ada belasan titik pengeboran panas bumi, sehingga pemerintah bahkan menetapkannya sebagai “Geothermal Island”. Pengeboran pembangkit panas bumi diharapkan menyumbang listrik untuk pengembangan pariwisata “10 Bali Baru” Labuan Bajo, proyek lain pemerintah yang juga ditolak warga karena menggusur warga.
Di Waesano, para petani khawatir pembangkit itu tak hanya akan merusak lahan pertanian. Tapi juga hutan di sekeliling Danau Sano Nggoang yang indah. Keindahaan hutan dan danau di situ terkenal hampir di seluruh penjuru Flores. Warga Desa Poco Leok, yang berjarak seratus kilometer meter lebih dari situ, menciptakan lagu kuno untuk memujanya, yang masih dinyanyikan secara turun-temurun sampai kini. Poco Leok adalah lokasi proyek geotermal lain di Flores, yang juga ditolak oleh warga.
Lebih dari lahan pertanian, hutan memiliki keragaman hayati jauh lebih kaya. Mengandung beragam tanaman (flora) dan juga binatang (fauna). Tak hanya pohon besar, tapi juga jamur, ganggang dan lumut. Tak hanya babi hutan, tapi juga burung-burung, reptil dan serangga. Bahkan setiap genggam tanah hutan berisi jasad renik (mikroba) milyaran jumlahnya, lebih banyak dari jumlah manusia di bumi.
Proyek “10 Bali Baru” di Labuan Bajo tak hanya mengancam hutan sekitar Desa Wae Sano. Sebuah kawasan wisata eksklusif dibangun di hutan Golomori dan Bowosie, lengkap dengan 20 hektar kawasan hotel dan pusat perkantoran mewah. Padahal hutan ini merupakan sumber air yang penting.
Kekayaan tanaman bisa dihitung dengan uang. Tapi, fungsi ekologis hutan tak ternilai. Yosef tidak menolak klaim pejabat pemerintah bahwa pembangkit listrik bisa bermanfaat bagi banyak orang. “Tapi, kami di sini juga bekerja untuk kepentingan publik,” katanya. Pohon dan hutan menghasilkan oksigen, kata dia, serta mencegah banjir dan longsor, mengurangi sedimen ke Teluk Labuan Bajo. Ekosistem hutan yang baik sangat penting bagi ekosistem laut yang lestari pula.
Ratusan kilometer dari Flores, di Jawa Tengah saya bertemu petani Marsono di Desa Wadas, Purworejo. Lahan pertanian desa itu terancam digusur lokasi tambang batu andesit untuk membangun Waduk Bener, proyek strategis nasional lain dari Pemerintahan Jokowi. Marsono juga menolak tawaran ganti rugi.
Desa Wadas sangat subur. Kemukus (Piper cubeba) adalah jenis tanaman utama bagi petani di situ. Ini jenis bahan bumbu masak dan sekaligus tanaman obat, antara lain untuk mengatasi penyakit asma. Harganya bisa Rp 250.000 per kilogram. Tapi, kemukus hanya satu saja. Di Wadas tumbuh kelapa dan aren; juga tanaman keras seperti jati, karet, petai, mahoni, sengon dan akasia; buah-buahan seperti pisang, nangka dan durian; serta rempah lain seperti kapulaga, cengkeh, kemukus, jahe dan kencur.
Selama ini Marsono marasa nyaman hidup di desanya. Meski sudah tua, dia masih bisa menyadap nira aren atau karet di ladangnya. Pulang berkebun dia memanggul rumput untuk pakan kambing. Jika masih ada sisa tenaga, Marsono akan memanen vanili dan temulawak. Hasil sayuran dari kebunnya macam-macam: nangka muda, daun ketela, dan batang talas. Dia juga punya sawah untuk beras yang dimakannya sendiri. Lauk murah dia dapat dengan membeli ikan, tempe dan tahu dari para tetangganya.
“Kami sudah sangat bahagia dengan apa yang kami punya,” katanya. “Uang ganti rugi semilyar atau dua milyar akan segera habis,” kata Marsono. “Sementara kebun saya akan bisa menghasilkan hingga anak-cucu.” Marsono belajar dari cerita sedih petani Bojonegoro, Jawa Timur, yang menghabiskan uang ganti rugi milyaran rupiah hanya dalam satu tahun. Setelah itu gigit jari.
Ngatinah, petani lain, juga menolak. “Saya bekerja dan bertani untuk anak cucu, bukan untuk pemerintah,” kata dia. Ngatinah salah satu perempuan yang sempat dipukul polisi dan mendekam dalam tahanan karena demonstrasi menolak tambang batu andesit.
Selain sawah yang menghasilkan padi, Ngatinah juga punya kebun sumber penting untuk hidup keluarganya: umbi coplok (Amorphophallus muelleri) yang hasilnya senilai Rp 10 juta per tahun dan pohon durian yang bisa dipanen Rp 15 juta per tahun. Secara kolektif, menurut perkiraan Wahana Lingkungan Hidup, Desa Wadas menghasilkan Rp 8,5 miliar per tahun dari pertanian saja.
Pertanian tidak hanya menghidupi petani tua seperti Marsono dan Ngatinah. Siswanto (milenial) memilih pulang kampung setelah lama merantau di kota. Dia menanam kopi dan memulai industri rumahan mengolah temulawak jadi minuman herbal. Dulu temulawak hanya dijual mentah ke tengkulak.
Wadas tak hanya untuk Wadas. Hutan dan tanaman keras yang mereka rawat melindungi desa-desa lain dari longsor dan banjir. Di masa Covid-19, mereka memasok bahan pangan cuma-cuma ke saudara dan kerabat di kota-kota. Pengelolaan desa yang baik juga membuat Wadas menjadi desa pertama di Kabupaten Purworejo yang melunasi pajak bumi dan bangunan.
Tapi, jalinan sosial itu kini rusak akibat tambang batu andesit. Pro-kontra atas proyek itu dan iming-iming ganti rugi besar telah memicu konflik di antara warga, termasuk bahkan antara anak dengan ayah dan ibunya sendiri. Itu tragis dan terasa ironis bagi saya ketika melihat poster besar yang dibentangkan pada sebuah tebing Desa Wadas. Poster itu bergambar Kiai Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, lengkap dengan kutipannya yang terkenal: “Petani Penolong Negeri”. Seperti warga Wadas pada umumnya, Marsono dan Marsinah adalah warga nahdliyin.
Petani sendiri adalah singkatan dari “Penyangga Tatanan Negara Indonesia”, akronim yang dipopulerkan Bung Karno pada 1950-an. Budidaya pertanian dan perkebunan yang sehat, serta pengelolaan hutan yang baik, sangat penting bagi ekonomi negeri. Di seluruh dunia, tak ada negeri yang maju industrinya tanpa fondasi kuat dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati.
Saya makin menyadari pentingnya sumber daya alam hayati terutama setelah keliling Indonesia yang pertama pada 2010. Lama tinggal di metropolitan Jakarta, saya pulang kampung ke kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Di kebun pekarangan yang tak terlalu luas, saya dan istri menanam beragam pohon dan tanaman meski cuma satu atau dua pohon tiap jenisnya. Sayuran, herbal dan buah. Pernah pula ada kolam ikan, kandang ayam kampung dan kandang jangkrik. Kami bikin pupuk, pakan dan pestisida alami sendiri.
Setiap hari selalu saja ada yang bisa dipanen: sirsak, kakao, nangka, jambu, kapulaga, tebu, ketela, kecombrang atau kembang telang. Tapi, itu baru sebagian saja kenikmatan yang kami syukuri. Tentu saja, setiap jengkal tanah pekarangan yang kita tanami tak bisa menyelamatkan bumi. Tapi, itu membantu melestarikan keragaman hayati tingkat mikro: capung, kumbang, kupu, burung, cacing, ngengat, kunang-kunang. Iya, kami masih bisa menikmati kerlip kunang-kunang di malam hari.
Serangga mendatangkan burung. Burung-burung suka mampir ke kebun kami: burung raja udang yang warna bulunya indah, burung hantu, emprit, tekukur, dan kelelawar. Tupai, kucing liar, berang-berang, katak dan ular juga hadir. Kebun pekarangan kami adalah miniatur keragaman hayati Indonesia, keistimewaan yang kita peringati setiap 22 Mei sebagai Hari Keragaman Hayati Internasional.
Keragaman hayati bisa menjadi fondasi ekonomi. Jika dihitung secara seksama, seperti Yosef Erwin menghitungnya, sumber daya alam hayati kita jauh lebih lebih bernilai dari emas dan nikel, yang pertambangannya hanya menguntungkan segelitir orang seraya merusak hidup banyak orang.