Kiri dan Pertambangan

 Kiri dan Pertambangan

Sumber: Rumah Baca Komunitas

Oleh: Erha Mardika


Di zaman kiwari, ketika bacaan melimpah dan sensor tak lagi efektif, agak sulit menerima kenyataan jika seorang Profesor masih gagap memetakan ideologi. Cara bacanya masih memakai Orba. Dan tidak jeli membedakan berbagai varian kiri.

Sebab, jika serampangan, seperti artikel di bawah ini, ya seperti memunggungi sejarah. Bahwa kiri dengan segala varian berkontribusi besar memperkaya gagasan yang melahirkan Indonesia. Bahwa gagasan kiri mengilhami orang macam Sukarno, Hatta, Sjahrir, bahkan orang semacam Kartosuwiryo.

Bahkan, Alm Gus Dur pernah bilang, UUD 1945 itu sangat diilhami oleh Das Kapital. Kalau kuat-kuat menyelami berbagai penjelasan soal pasal 33 UUD 1945, itu kan sosialistik sekali. Hatta bilang pasal 33 itu coraknya “planned economy”. Dan planned economy itu branded-nya model ekonomi sosialis. Bahkan Sukarno di Sarinah menyebut pasal 33 itu semacam “program transisional” menuju sosialisme.

Nah, menarik bicara pasal 33 UUD 1945 dan wacana izin kelola tambang ke ormas keagamaan. Kalau rajin menyelami alam berpikir Hatta, sang konseptor pasal 33 itu, selalu disebut hanya tiga entitas pelaku ekonomi: koperasi, BUMN, dan usaha swasta. Gak ada tuh ormas keagamaan.

Soal jobdesk dari tiga entitas ekonomi ini pun jelas: Koperasi mengerjakan perekonomian rakyat kecil-kecil, yang pengerjaannya tidak membutuhkan modal besar dan teknologi berbiaya tinggi; BUMN mengerjakan lapangan usaha yang lebih besar, yang bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak; pelaku usaha swasta, baik domestik maupun asing, mengerjakan lapangan ekonomi yang tidak tersentuh oleh koperasi dan BUMN.

Jadi, menurut saya, kalau pun ada niat mulia mau melibatkan rakyat dalam tata kelola tambang, agar kehadiran investasi tambang benar-benar berefek langsung pada masyarakat sekitar, maka itu adalah koperasi. Bukan ormas, apalagi ormas keagamaan.

Mengapa nggak setuju ormas keagamaan? Pertama, ormas keagamaan itu bukan entitas ekonomi. Walaupun mereka punya badan usaha dan sudah terbiasa berbisnis, tetap tak relevan menggiring kaum agamawan dalam urusan bisnis. Saya membayangkan hal semacam ini sebagai warisan abad kegelapan.

Kedua, ormas keagamaan itu partikular: hanya melayani umat seagamanya. Sementara, mandat pasal 33 soal tambang itu: kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Hak untuk menikmati hasil kekayaan alam negeri ini adalah hak setiap warga negara, bukan hak penganut agama tertentu.

Ketiga, memberi izin usaha pertambangan kepada ormas keagamaan lebih bernuansa politis ketimbang pertimbangan ekonomi yang efisien. Ini hanya akan membuat tata kelola pertambangan kita semakin berkubang dalam “resource curse” (kutukan sumber daya alam).

Menggiring masuk pemuka agama ke tata-kelola pertambangan hanya melengkapi triumvirat penyebab resource curse: politisi, agamawan dan militer.

Kalau kita terus bertungkus-lumus dalam resource curse, maka boleh jadi, pada 2045 nanti, anak cucu kita bukan melihat Indonesia emas, tetapi kisah sebuah bangsa yang bangkrut karena korupsi, crony-capitalism, dan kehancuran ekologi.

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.