Izin Usaha Pertambangan: Mengapa Ormas Islam Insecure?

 Izin Usaha Pertambangan: Mengapa Ormas Islam Insecure?

Sumber: Rumah Baca Komunitas

Oleh: Ahmad Rizky M. Umar, Warga Muhammadiyah tinggal di Queensland, Australia


Beberapa pekan ini dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, sepertinya sedang bersiap untuk mengambil kebijakan yang tidak pernah diambil sebelumnya: mengelola izin usaha pertambangan (IUP). Melalui PP 25/2024, pemerintah memberikan izin, dan menawarkan tentunya, pengelolaan izin usaha pertambangan untuk organisasi masyarakat keagamaan. Sebelumnya, tentu saja izin usaha pertambangan dikelola oleh badan usaha, bukan organisasi masyarakat yang bergerak secara non-profit.

Tentu saja kemudian ramai perdebatan publik di kalangan kedua organisasi ini, dan juga banyak argumen pembelaan dari kalangan internal masing-masing ormas. Membaca pembelaan ini, dari kedua ormas, seringkali membuat saya tersenyum-senyum. Bukan soal boleh atau tidaknya ormas keagamaan menambang (tentu saja: tidak ada larangan apalagi jika ormas keagamaan itu menjadi badan usaha), tapi soal bagaimana menjustifikasi keputusan yang secara etis, menimbulkan banyak pertanyaan daripada jawaban yang bisa diberikan.

Ontological Insecurity

Saya mencatat ada beberapa argumen yang berseliweran: dari soal bahwa kekayaan alam adalah rahmat Allah yang harus didayagunakan, tidak ada larangan ormas keagamaan menambang, perlu mendorong ‘demokrasi post-sekuler’ dengan memberi kesempatan ormas menambang, Indonesia belum bisa melakukan transisi energi jadi tidak apa-apa menambang, ‘daripada yang menambang orang luar terus, mending ditambang ormas keagamaan’, tidak ada kaitan antara pertambangan dengan mitigasi perubahan iklim (banyak ahli agama yang kini mengikuti jejak evangelis Amerika untuk menjadi climate-skeptic), hingga yang baru-baru ini muncul: lho kan sudah ada jurusan pertambangan, masak tidak boleh menambang?

Kontra-argumen tentu bermunculan, dari yang sifatnya fiqh (maslahat-mudlarat), saintifik (perlunya transisi energi dan mitigasi dampak negatif perubahan iklim), hingga pertimbangan moral politik (politik gentong babi, dan konsekuensi jangka-panjang). Saya tidak ingin menambah perdebatan. Tapi ada satu hal yang saya tangkap: ada semacam gejala “ontological insecurity” yang lebih luas dari respons ormas ini, yang sangat terkait dengan dilema eksistensial ormas Islam dalam peta politik Indonesia (dan global) hari ini.

Dalam ilmu sosial, “ontological insecurity” adalah fenomena dimana individu/kelompok (atau negara) merasa tidak aman bukan karena faktor yang bersifat fisik/material (seperti, misalnya, adanya perampok atau musuh dari negara lain), tetapi faktor psikologis dan eksistensial. Ketidakamanan/keresahan disebabkan oleh rasa takut ketinggalan, tidak percaya diri, status hingga keresahan. Pribadi/kelompok bisa merasa “insecure” karena status (orang lain bisa kenapa kita enggak), atau takut ditinggal (orang lain dapat kok kita enggak).

Hal semacam ini banyak melibatkan aspek emosional, dan sering kali tidak dibaca karena tersembunyi dari statement, gerak-gerik, hingga argumen yang dibaca ketika mempertahankan diri dari “kritik” di muka publik.

Kita bisa melihat ontological insecurity ini dalam banyak hal. Reaksi dari pimpinan yang defensive terlalu ingin mempertahankan diri dari kritik bisa dilihat sebagai bentuk insecurity untuk mempertahankan image di depan publik. Pemerintah yang gampang tersulut dan mempersekusi orang hanya karena komentar negatif adalah tanda ketakutan dari kehilangan legitimasinya. Atau, pimpinan ormas yang sering tersulut apalagi sampai melabeli kritik sebagai ‘komunis’ dan ‘kiri LSM’, menjadi pertanda insecurity dan takut akan kehilangan sesuatu yang lebih besar.

Ekonomi Politik Pertambangan

Selama 20 tahun terakhir, baik NU dan Muhammadiyah sibuk memoles citraan diri sebagai wajah Muslim Indonesia yang ‘moderat’. Dipimpin dan didorong oleh pemerintah, NU dan Muhammadiyah aktif mengampanyekan identitas Islam Indonesia yang moderat, rahmatan lil ‘alamin, dan yang paling penting tidak radikal. NU dan Muhammadiyah selama ini besar dengan basis sosialnya di Masyarakat Indonesia: NU dengan jaringan pesantrennya dan Muhammadiyah dengan jejaring amal usahanya di seluruh Indonesia.

Lalu mengapa NU dan Muhammadiyah, yang sudah cukup mapan dengan identitas Islam Moderat di luar negeri, justru ingin mengelola izin tambang? Hal yang sering disampaikan oleh para pendukung IUP pertambangan untuk ormas Islam adalah: hasil keuntungan dari pertambangan akan mendukung kegiatan ormas Islam.

Bisnis pertambangan adalah bisnis yang sejak zaman kolonial menjadi cara untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Misalnya, ada kisah tentang Perang Banjar: bagaimana Kesultanan Banjar hancur karena konsesi yang diberikan kepada Belanda untuk tambang Batubara di Pengaron, memicu politik belah bambu yang berujung pada Perang Banjar.

Selepas kemerdekaan, pertambangan dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia dan digunakan untuk tujuan kemakmuran rakyat. Namun politik tidak semanis yang diidealkan oleh para pendiri bangsa. Pemerintah Orde Baru menggunakan Izin Usaha Pertambangan cara pemerintah untuk mendistribusikan sumber daya untuk kepentingan politik. Ilmuwan sosial menyebutnya ‘oligarki’. Pertambangan tidak hanya Batubara tetapi juga banyak sumber daya alam lain menjadi denyut nadi ekonomi Indonesia sejak zaman Orde Baru.

Dalam banyak hal, Bedanya, jika dulu Orde Baru memberikan IUP untuk lingkar militer dan pengusaha yang dekat mereka, presiden Jokowi memberikan kesempatan bagi mitra-mitra kerjanya, baik secara sosial dan politik, untuk terlibat dalam IUP. Yang dilakukan oleh Menteri Bahlil kepada ormas Islam bukan sesuatu hal yang baru, melainkan sebuah pola lama untuk memberikan ‘hadiah’ bagi mitra-mitra strategis pemerintah –dalam hal ini NU dan Muhammadiyah melalui kepercayaan mengelola sumber daya alam.

Imajinasi tentang ‘Organisasi Besar’

Namun, penting juga memperlihatkan sisi ‘penerima’. Argumen-argumen pembenaran dari Sebagian intelektual NU dan Muhammadiyah merefleksikan satu hal lain yang, bisa jadi, mendorong kedua organisasi menerima tawaran izin usaha pertambangan: sebuah ilusi tentang organisasi yang ‘besar’.

Ada kebutuhan ekonomi politik yang bisa jadi lebih besar, mungkin karena kedua organisasi ingin memperluas akses sumber daya di Indonesia, atau mungkin karena ada kebutuhan ekspansi ke luar negeri yang memerlukan sumber dana besar.

Argumen-argumen yang diberikan oleh intelektual ‘ofisial’ NU dan Muhammadiyah menyiratkan bahwa memang kedua ormas menerima IUP karena keuntungan ekonomi yang dihasilkan. Seorang pimpinan Muhammadiyah, misalnya, menyebut bahwa “Secara ekonomis, setelah kita pelajari, enam lahan yang akan diberikan pemerintah itu menurut hemat kami masih ada empat lahan yang masih cukup efektif kalau ini kita tambang, meskipun satu sudah diambil oleh sebuah ormas”

Risalah Konsolidasi Nasional yang melahirkan ‘penerimaan’ Muhammadiyah atas Izin Usaha Pertambangan juga menyebut bahwa Pengembangan tambang oleh Muhammadiyah diusahakan dapat menjadi model usaha “not for profit” dimana “keuntungan usaha dimanfaatkan untuk mendukung dakwah dan Amal Usaha Muhammadiyah serta masyarakat luas.”

Hal ini dijustifikasi atas satu argument lain: besarnya sumber daya manusia Muhammadiyah. Seorang influencer media Muhammadiyah, misalnya, menulis bahwa “Para profesional pertambangan yang merupakan kader persyarikatan bisa ikut ambil bagian. Fakultas dan jurusan-jurusan pertambangan atau bidang terkait lainnya di berbagai kampus Muhammadiyah jadi punya laboratoriumnya yang nyata, serta pemikir hingga ekonom Muhammadiyah bisa tampil memberi teladan di bidang ini.”

Penting untuk dilihat, disini, bahwa keinginan untuk mendapatkan keuntungan –yang bisa digunakan untuk membiayai amal-amal usaha Muhammadiyah, menjadi argument sentral yang mendasari penerimaan Muhammadiyah atas IUP. Ada beberapa hal yang jadi pertanyaan di sini. Berhubung pertambangan adalah bidang yang capital intensive, berapa modal yang harus dikeluarkan dan berapa kira-kira keuntungan yang didapatkan oleh Muhammadiyah? Berapa jangka waktu yang diperlukan untuk sampai pada break even? Dan yang lebih penting, jika menanggulangi/menyerap risiko kerugian yang muncul?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini masih jadi tanda tanya. Yang kita tahu adalah semakin besar kebutuhan NU dan Muhammadiyah di tengah ekonomi yang juga makin berbiaya tinggi: dari mengelola amal usaha, pondok pesantren, logistik, hingga yang terbaru: ekspansi organisasi ke luar negeri. Di sisi lain, Muhammadiyah juga merasa punya sumber daya dan asset yang besar untuk mengelola tambang.

Fear of Missing Out

Saya menduga ada alasan kedua, yang ini juga sangat terkait dengan keterlibatan Muhammadiyah dalam mengelola IUP, yaitu keinginan memperbesar organisasi dan, karena hal itu, muncul perasaan fear of missing out (FOMO) dari dukungan pemerintah yang semakin kesini semakin hidup bergantung dari sumber daya alam pertambangan.

FOMO ini mewujud dalam banyak bentuk., iri hati Ketika organisasi lain dapat keuntungan (mereka dapat kenapa kita tidak?), ingin mendapatkan hal yang sama Ketika organisasi lain juga mendapatkan keuntungan, atau bahkan takut ditinggalkan pemerintah karena pemerintah lebih memprioritaskan organisasi lain yang (mungkin) banyak mendukung agenda pemerintah.

Disadari atau tidak, NU dan Muhammadiyah adalah bagian penting dari legitimasi pemerintah hari ini. Memberikan IUP bisa jadi adalah salah satu cara penting untuk memberikan budi baik dari kedua ormas ini, selain bisa jadi juga karena semakin “beragam”-nya komoditas tambang hari ini, memerlukan sumber investasi dan pengelola kontrak karya yang juga beragam.

Pemerintah Jokowi dalam banyak hal menggunakan sumber daya alam untuk memberikan insentif dan reward bagi para pendukung pemerintah, agar legitimasi pemerintah terjaga. Di sini fakta bahwa NU dan Muhammadiyah menerima, dengan senang hati atau menunjukkan semacam ketakutan untuk ditinggalkan pemerintah yang selama ini jadi pendukung utama mereka.

Pemerintah Jokowi dalam banyak hal menggunakan sumber daya alam untuk memberikan insentif dan reward bagi para pendukung pemerintah, agar legitimasi pemerintah terjaga. Di sini fakta bahwa NU dan Muhammadiyah menerima, dengan senang hati atau menunjukkan semacam ketakutan untuk ditinggalkan pemerintah yang selama ini jadi pendukung utama mereka.

Faktor FOMO ini penting, terutama, bagi elit-elit ormas di Tingkat pusat, yang memang punya kedekatan sendiri dengan pemerintah. Influencer Muhammadiyah yang sama menulis bahwa “Sebagai gerakan Islam yang memasuki multidimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, ini kesempatan bagi Muhammadiyah untuk ikut serta mengelola Sumber Daya Alam Indonesia bagi kemakmuran dan hajat hidup rakyat sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945… Pintu yang sebelumnya sama sekali tertutup, digembok kelompok kepentingan tertentu, dijaga para oligarki, akhirnya terbuka.”

Pemisahan oligarki/ormas Islam menjadi penting disini. Sektor pertambangan selama ini dipandang sebagai ‘sektor asing/aseng’. Beliau menulis di artikel lain bahwa “…selama ini tambang ‘dipergunakan’ oleh orang per orang atau untuk kepentingan beberapa kelompok saja. Perusahaan dan korporasi yang terlibat dan menikmati tambang maksimal hanya 1% dari masyarakat—bahkan sebenarnya kurang. Sisanya, 99% rakyat Indonesia tak punya akses atau mendapatkan manfaat dari hasil tambang yang sebenarnya secara undang-undang adalah milik negara dan harus ‘dikembalikan’ kepada rakyat.”

Padahal, di artikel yang sama, ia mengutip Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengatakan bahwa, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Logika asing-aseng ini membangun sebuah logika baru: karena selama ini yang menguasai adalah asing (atau ‘oligarki’), penting bagi pribumi (atau ‘ormas Islam’) untuk masuk. Sebuah logika oposisi biner dipersembahkan: selama ini tambang dikuasai asing, dan oleh karenanya buruk, maka tambang harus dikuasai pribumi, yang lebih baik. Tidak dijelaskan apa yang membedakan praktik baik dan praktik buruk tambang selama ini, dan apa yang membuat tambang ormas Islam bisa lebih baik.

Nalar yang membentuk logika ‘anti-asing’ semacam ini adalah sebuah imajinasi tentang ‘persyarikatan yang besar’. Narasi ini tidak asing bagi kita yang bergulat di persyarikatan hari ini. Persyarikatan digambarkan sebagai sebuah organisasi yang besar: punya amal usaha di mana-mana, ekspansi ‘internasionalisasi’, dan punya banyak kader professional. Kita tidak menafikan bahwa Muhammadiyah memang besar. Namun yang jadi pertanyaan: jika Muhammadiyah memang organisasi yang besar, mengapa masih memerlukan IUP?

Jawabannya, bisa jadi, adalah sebuah kegelisahan elit terhadap posisi mereka dalam rezim politik hari ini. Dalam logika kader dan warga awam, tentu susah untuk memahami Keputusan untuk menerima IUP karena posisi organisasi yang memang sudah cukup besar. Namun, bagi elit yang memang dekat dengan pemerintah (atau rezim politik), ada ketakutan untuk tidak mendapatkan akses dari fasilitas dan sumber daya yang selama ini diberikan oleh rezim.

Sehingga, logika yang muncul dan berkembang adalah, sebagaimana ditulis kader lain, “Kalau sudah tahu tambang dikelola secara ugal-ugalan dan destruktif, sementara himbauan moral keagamaan selama ini terus diabaikan, kemudian menerima tambang juga dipersekusi, terus apa pilihan terbaiknya?” Seakan-akan, pilihannya adalah: mengambil tambang, atau menyerahkannya pada asing-aseng, tanpa ada pilihan lain untuk mengambil investasi/bisnis di sektor lain yang lebih ramah lingkungan.

Bahaya Laten Komunis

Symptom terakhir dari ontological insecurity akut ini adalah melabeli kritik sebagai ‘kiri/komunis’ – sesuatu yang mengancam terhadap stabilitas dan, dalam logika politik Indonesia, harus dienyahkan. Kita mungkin bisa melihat bahwa logika ini jelas adalah warisan antikomunis Orde Baru, yang melihat apapun yang mengancam sebagai ‘bahaya laten komunis’.

Namun seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga membangun argument ini. Dalam satu artikel yang mengkritik ‘pengaruh ideologi kiri LSM’, beliau menulis “Orientasi emansipasi, liberasi, hegemoni, kemiskinan struktural, dan kontradiksi menjadi bagian dalam isu dan pendekatan NGO-LSM beraliran kiri. Ranah gerakannya berada dalam sentrum masyarakat sipil atau civil society versus negara dan pemerintahan. Gerakan ini kritis dan anti dalam pengelolaan sumberdaya alam karena dianggap produk rezim yang eksploitatif bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan oligarki. Termasuk dalam pengelolaan minerba.”

Artikel ini memberikan sebuah logika oposisi biner yang melabeli mereka yang mengkritik tambang sebagai ‘kiri LSM’, dan oleh karenanya (secara implisit) harus ditinggalkan. Menerima IUP adalah cara untuk menghindari pengaruh ideologi kiri LSM itu, Dan oleh karenanya, siapapun yang mengkritik IUO (termasuk kader dan warga Muhammadiyah sendiri) bisa masuk kategori ‘pengaruh kiri LSM’ tersebut.

Labelisasi dan oposisi biner anti-kiri (atau dalam batas tertentu anti-asing/aseng) in bukan sesuatu hal yang baru dalam politik internasional hari ini. Banyak politikus kanan-jauh (far-right) juga menggunakan logika yang sama, bahkan seringkali juga diimbuhi sentiment anti-Islam. Logika ‘LSM kiri’ ini sejatinya senafas dengan politikus semacam Geert Wilders dan Ayaan Hirsi Ali di Belanda, Jair Bolsonaro di Brazil, Donald Trump di Amerika Serikat, dan Narendra Modi di India. Saya tidak tahu apakah PP Muhammadiyah hari ini mencoba untuk mengubah wajah menjadi seperti mereka.

‘Ala kulli hal,Muhammadiyah dan NU tentu punya pilihan untuk menolak IUP karena sebenarnya kedua ormas ini tidak didesain untuk tampil dalam politik ekstraktivisme, Tapi keduanya memilih untuk menerima, masuk dalam lingkaran politik balas budi dari pemerintah. Argumen ini, dalam banyak hal menunjukkan sesuatu yang lebih besar: jangan-jangan, pertimbangan tidak didasarkan atas kalkulasi untung-rugi, konsekuensi jangka-panjang, apalagi lingkungan dan perubahan iklim, melainkan sebentuk ontological insecurity akut dari elit-elit ormas Islam hari ini.

*Artikel ini sudah pernah dimuat dalam laman Santri Cendekia

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.