Energi Terbarukan dan Keadilan

Sumber: Rumah Baca Komunitas
Ditingkah debur ombak Samudera Hindia, saya ngobrol dengan Zamrisyaf sementara dia bermain kartu gaple bersama teman-temannya di sebuah warung kopi pantai dekat Kota Padang, Sumatera Barat. Topik obrolan kami serius. Tentang masa depan energi terbarukan di Indonesia.
Zamrisyaf pegiat “renewable energy” meski dia hanya lulusan sekolah menengah kejuruan. Saat usianya masih 20 tahun, pada 1979, dia sudah membuat desain pembangkit listrik tenaga air mikrohidro untuk desanya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Namun, konflik dengan pemerintah daerah membuat dia memutuskan pergi ke Malaysia menjadi kuli bangunan.
Bagaimana pun, prestasinya di desa telah mengantarkan dia menerima Kalpataru, penghargaan nasional dalam bidang lingkungan, pada 1983. Prestasi itu pula yang membuat Gubernur Sumatera Barat kala itu, Azwar Anas, memperjuangkannya menjadi pegawai PLN Padang dan berhasil. Zamrisyaf bekerja di situ sampai pensiun pada 2014, khususnya bertugas memperluas pemanfaatan mikrohidro. Namun, belakangan dia tak cuma tertarik pada cara membangkitkan listrik dari air sungai. Dia bermimpi memanen listrik dari ombak laut.
Dalam sebuah perjalanan ke Kepulauan Mentawai dia mengamati kapal yang dia tumpangi diayun ombak besar Samudera Hindia. Dia melihat betapa besar energi gelombang laut itu, yang bergelora tiada henti. Itu memberi dia inspirasi untuk mengubah gelombang laut menjadi listrik. Setelah ratusan kali eksperimen selama lebih dari 10 tahun, jatuh bangun, salah dan gagal, serta menghabiskan ratusan juta rupiah, dia berhasil membuat prototipe pembangkit impiannya, pada 2014, yang bisa menghasilkan daya 2.000 watt.
Memanen listrik dari ombak laut bukan gagasan baru. Tapi, memang ada beberapa cara. Di Jepang misalnya, pada 1976 Yoshi Masuda menemukan metode OWC (Oscillating Water Column): pada intinya membuat kolom-kolom terapung di laut; gelombang laut membuat permukaan air naik dan turun secara berkelanjutan; ketika muka air laut turun, kolom itu menghisap udara dan memutar turbin listrik.
Metode Zamrisyaf berbeda: dia menggunakan bandul berayun. Pembangkit listriknya berupa perahu ponton mengapung di atas drum-drum kosong yang ditambatkan ke dasar laut. Dia memasang bandul di atas ponton tadi, yang berayun ketika ponton dihantam ombak secara berkelanjutan. Ayunan itu memutar dinamo listrik. Para ahli dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya belakangan membantu Zamrisyaf menyempurnakan rancang bangun pembangkit kecil itu.
Teknologi Zamrisyaf sederhana dan memakai bahan-bahan yang tersedia secara lokal. Orang hanya perlu menambatkan ponton sekitar 100 meter dari pantai untuk memanen listrik. Ombak selalu datang sepanjang waktu, berbeda dari matahari yang sering tertutup mendung. Ponton juga bisa dipasang pada kapal nelayan sehingga tersedia sumber energi listrik yang lebih murah dari pembangkit berbahan bakar minyak diesel yang kotor. Listrik itu bisa dipakai untuk mendinginkan ikan agar hasil tangkapan tetap segar.
Menurut perhitungan Zamrisyaf, biaya membuat pembangkit listrik tenaga ombak ini sekitar Rp 20 juta per kilo-watt. Itu sedikit lebih mahal dari pembangkit batubara, namun lebih murah dari investasi untuk pembangkit dari sumber lain energi terbarukan: air, surya maupun panas bumi. Pantai sepanjang 1 km bisa menghasilkan daya listrik sekitar 20 mega-watt, dan dapat menerangi sekitar 40.000 rumah tangga sederhana. Padahal panjang pantai Indonesia sekitar 80.000 km yang secara total bisa menghasilkan 2-3 terra-watt.
Jika klaim Zamrisyaf benar, pembangkit listrik tenaga ombaknya bisa menggantikan seluruh pembangkit fosil pada 2060 dengan biaya yang jauh lebih murah dan dengan hanya memanfaatkan sekitar 25% panjang pantai tadi.
Pada 2060, Indonesia berambisi menjadi negeri carbon-neutral, yakni ketika jumlah karbon yang dilepas dari seluruh kegiatan manusia sama dengan jumlah karbon yang diserap oleh alam. Sumber-sumber energi fosil untuk kegiatan manusia, seperti batubara, minyak dan gas, lebih banyak melepas karbon. Itu sebabnya, untuk mencapai netral-karbon, Indonesia harus memperbanyak sumber energi terbarukan yang ramah alam, dengan porsi sekitar 70%. Padahal, porsi energi terbarukan pada 2023 baru sekitar 15%. Pemerintah memperkirakan, diperlukan dana sekitar Rp 80 trilyun per tahun, atau totalnya Rp 2.800 trilyun, untuk melakukan transisi energi tadi.
Teknologi sederhana Zamrisyaf juga bisa menjawab problem ketimpangan energi. Sekarang ini, kebutuhan energi orang-orang di Jawa, Sumatera dan Bali sudah lebih dari cukup dipasok lewat sebuah jaringan terpadu, yang menggabungkan listrik-listrik dari berbagai jenis pembangkit. Listrik dari pembangkit tenaga uap yang berasal dari pembakaran batubara dan minyak diesel di sekitar Jakarta, misalnya, juga menerangi rumah-rumah orang di Bali dan Aceh. Demikian pula sebaliknya, listrik dari pembangkit air Bendungan Asahan dan panas bumi Sorik Marapi di Sumatera Utara, dipakai orang Jakarta, lewat sebuah jaringan listrik yang sama.
Jaringan terpadu itu memungkinkan orang Jawa, Sumatera dan Bali, terutama di perkotaan, bisa menikmati kelimpahan energi. Tapi, orang di luar pulau besar tadi, khususnya di pulau-pulau terpencil, kekurangan energi, atau harus membeli listrik dengan biaya lebih mahal. Ada sekitar 9.000 pulau terpencil yang kesulitan listrik. Bahkan banyak warga perdesaan di Jawa atau Sumatera masih mengalami kondisi “miskin energi” seperti itu.
Warga desa membutuhkan energi tak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tapi juga untuk mengolah hasil pertanian dan perikanan. Di kawasan pertanian, misalnya, energi dibutuhkan untuk mengeringkan padi, membuat tepung singkong atau menyuling rempah. Sementara di kawasan perikanan, orang membutuhkan gudang pendingin untuk menyimpan ikan agar tidak cepat busuk. Kemiskinan energi memelihara kemiskinan ekonomi. Keadilan energi adalah keadilan ekonomi dan sosial.
Indonesia, yang merupakan negeri kepulauan, berbeda dengan Amerika Serikat yang hampir seluruhnya daratan. Indonesia tidak mungkin membuat jaringan terpadu tingkat nasional (national grid). Kebijakan yang masuk akal bagi Indonesia adalah membangun pembangkit-pembangkit energi yang mandiri, di tiap pulau, atau bahkan di tiap desa, dengan sumber energi terbarukan paling murah yang tersedia secara lokal. Ada sekitar 6.000 desa yang ada di kawasan pesisir, yang bisa menjadi “Desa Mandiri Energi” dengan menggunakan teknologi pembangkit ombak Zamrisyaf tadi. Tapi, tentu saja ada banyak desa yang tidak memiliki pantai. Ada sekitar 75.000 desa di seluruh Indonesia, yang sebagian besar ada di pedalaman tanpa pantai.
Kabar baiknya: ada banyak jenis sumber lain energi terbarukan di desa-desa pedalaman yang merupakan berkah dari keragaman hayati negeri kita. Ada biomass dari limbah pertanian dan kehutanan; atau biogas dari tahi sapi, kambing dan ayam. Kelestarian alam di perdesaan juga menjaga sungai-sungai tetap hidup, dan airnya menjadi sumber pembangkit hidro skala kecil: ukuran mikrohidro (1 mega-watt) atau bahkan pikohidro (500 kilo-watt). Pembangkit listrik dari sumber-sumber itu lebih murah dibanding pembangkit surya, angin maupun panas bumi. Artinya, program “Desa Mandiri Energi” juga dimungkinkan di desa-desa pedalaman.
Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), Indonesia diperkirakan memiliki total potensi energi terbarukan sampai 3,7 terra-watt. Namun hingga 2021, baru dimanfaatkan sekitar 10 giga-watt, atau hanya 0,3% saja dari total potensi tadi.
Jaringan listrik terpadu, bahkan jika sumbernya terbarukan, cenderung tidak efisien. Jaringan ini memerlukan kabel-kabel yang menjulur sampai tempat terjauh, sehingga sebagaian daya listrik hilang sepanjang perjalanan. Itu juga membutuhkan investasi dan biaya pemeliharaan yang besar. Konsep pembangkit kecil dan terdistribusi lebih merata, tak hanya lebih efisien, tapi juga lebih berkeadilan.
Pengembangan “Desa Mandiri Energi”, dengan memanfaatkan teknologi tepat guna di perdesaan, tak hanya mencerminkan pemerataan energi yang menopang keadilan ekonomi dan sosial. Ini juga mengurangi beban ekonomi, lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh pembangkit energi skala besar, bahkan jika itu dari sumber terbarukan.
Minyak nabati sebagai sumber energi (biofuel) bisa dihasilkan dari sawit, jagung, sorgum, tebu atau tanaman lain seperti kemiri. Ini tidak disarankan karena akan bersaing dengan kebutuhan pangan dan obat, kecuali jika skalanya cukup kecil. Biofuel dari sawit bahkan tidak sepenuhnya bisa disebut ramah alam. Kebun sawit tak hanya rakus air, tapi juga menghancurkan keragaman hayati hutan yang kita punya. Apalagi jika luasnya sampai jutaan hektar seperti sekarang.
Pembangkit listrik tenaga air skala-skala besar, dari bendungan-bendungan raksasa, mungkin tidak selalu ramah alam, apalagi ramah sosial. Waduk besar menggusur lahan pertanian dan kadang hutan, mempersempit keragaman hayati. Untuk membangun diperlukan semen atau batu andesit yang sering ditambang tanpa mengindahkan kelestarian alam.
Di Kendeng, Jawa Tengah, misalnya, warga memprotes tambang dan pabrik semen mengancam pegunungan kapur sumber air. Dan di Wadas warga menolak tambang andesit yang dipakai untuk membangun Waduk Bener. Lebih dari itu, bendungan besar umumnya menggusur rumah-rumah dan mengusir warganya. Kadang juga menggenangi situs-situs budaya penting yang dianggap sakral oleh warga setempat.
Di zaman Orde Baru, pembangunan Waduk Kedungombo telah memicu protes besar. Tapi, ini bukan satu-satunya. Di seluruh dunia, bendungan-bendungan besar juga memicu masalah sosial; makin besar bendungan, makin besar masalahnya. Pengalaman internasional menunjukkan pembangunan waduk besar membawa lebih banyak mudharat dari manfaat.
Pembangunan waduk besar sudah dikecam secara internasional sejak 3 dasawarsa lalu. Para aktivis lingkungan dan sosial dunia menandatangani Deklarasi Manibeli pada 1994, menyerukan moratorium pembangunan bendungan. Deklarasi itu antara lain diilhami oleh protes dan perlawanan warga sekitar Waduk Kedung Ombo di Indonesia dan Bendungan Narmada di India. Arundhati Roy, penulis dan aktivis perempuan India, salah satu tokoh di garda depan gerakan itu, mengatakan: “Bendungan punya daya rusak seperti bom nuklir.” Makin besar, kian merusak.
Protes itu memaksa Bank Dunia berhenti membiayai proyek-proyek bendungan besar yang dulu banyak dilakukan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Eropa dan Amerika Utara bahkan kini ada gerakan untuk merobohkan bendungan besar, dan mengembalikan sungai alami yang tetap masih bisa dimanfaatkan untuk membuat pembangkit hidro skala kecil.
Sebagai negeri vulkanik dengan banyak gunung berapi, Indonesia juga memiliki potensi cadangan panas bumi (geotermal) terbesar di dunia, sekitar 40% cdangan dunia ada di sini. Pembangkit geotermal memakai panas dari dalam bumi untuk menguapkan air yang dipakai memutar turbin listrik. Energi panas bumi dianggap terbarukan karena panas yang dipakai tersedia secara berkelanjutan, bersumber dari magma bumi. Di samping jauh lebih bersih ketimbang batubara, panas bumi juga dianggap lebih stabil menghasilkan listrik, ketimbang angin dan matahari. Sumber energi ini dianggap merupakan kunci penting transisi menuju energi bersih terbarukan. Tapi, bukan tanpa masalah. Dan masalahnya kadang sangat sangat serius.
Masalah pertama, cadangan energi panas bumi, yang tersebar di 312 lokasi berbagai pulau, umumnya ada di hutan lindung dan dekat permukiman warga. Itu tak hanya potensial merusak keragaman hayati dan sumber air, tapi juga memicu konflik sosial. Masalah kedua menyangkut teknologi yang dipakai dalam pengeboran panas bumi. Geotermal memakai teknologi “fracking” yang sering dipakai dalam pengeboran minyak dan gas: yakni menyuntik jutaan liter air ke dalam tanah bersama berbagai jenis senyawa kimia untuk menaikkan uap panas yang siap memutar turbin generator. Sebagian senyawa kimia tadi merupakan racun yang berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan.
Fracking tak hanya potensial menghabiskan air sungai dan danau, tapi juga mencemari air di dalam tanah dengan zat-zat kimia tadi. Di samping itu, penyuntikan air potensial mengubah struktur bawah tanah yang sulit diprediksi. Perubahan struktur geologi tadi bisa memicu gempa-gempa kecil, longsor serta perubahan sistem air. Gempa mikro pada gilirannya potensial membuka celah batuan yang bisa menyemburkan gas beracun seperti H2S (hidrogen sulfida). Eksploitasi Geotermal Sorik Marapi, Sumatera Utara, misalnya, sudah beberapa kali menyebabkan semburan gas beracun, sedikitnya membunuh 5 orang dan meracuni ratusan lainnya.
Karena risiko-risiko tadi, pembangkit geotermal diprotes di banyak tempat, antara lain di Flores, yang oleh Pemerintah disebut sebagai “Geothermal Island”. Letupan konflik juga muncul di berbagai daerah lain. Jatam, sebuah lembaga swadaya, mencatat ada 22 dari 64 lokasi panas bumi Indonesia yang sempat ditolak warga sekitar, termasuk di Dieng (Jawa Tengah) dan Padarincang (Banten). Di Padarincang, warga yang protes dihadapi dengan kekerasan aparat polisi dan tentara.
Tapi, apa solusi yang bisa diajukan jika sumber listrik terbarukan seperti bendungan dan geotermal ditolak? Bagaimana pula dengan orang-orang di kawasan perkotaan yang tidak memiliki keragaman sumber energi terbarukan sekaya kerabat mereka di desa?
Di kota-kota kini mulai diperkenalkan pembangkit listrik tenaga sampah, atau bahkan tenaga biogas dari tinja. Sistem pengelolaan sampah dan limbah disatukan dengan sistem pengadaan energi. Tapi, jika itu pun belum cukup, warga perkotaan Jawa dan Sumatera bisa berharap dari surplus energi perdesaan. Melalui koperasi-koperasi energi di desa, surplus energi desa masuk ke jaringan listrik terpadu yang sudah ada.
Jika terpaksa, energi geotermal juga masih bisa diusahakan namun dengan syarat sangat ketat. Dalam film dokumenter Barang Panas yang kami buat sepanjang Ekspedisi Indonesia Baru, kami mengajukan beberapa syarat pemanfaatan energi geotermal.
Pertama, sebisa mungkin skala kecil agar lebih mudah menakar dampak ekologis dan sosial, serta mengantisipasinya. Kedua, eksplotasi energi ini harus seizin warga terdekat dan melibatkan mereka melalui partisipasi bermakna, baik dalam perencanaan maupun pengelolaan. Ketiga, memastikan warga setempat memperoleh manfaat terbesar dari proyek itu, termasuk dalam kepemilikan usaha lewat koperasi-koperasi yang dimiliki warga. Keempat, memastikan teknologi yang dipakai, baik dalam pengeboran maupun operasinya, bisa menjamin keamanan dan kesehatan warga.
Kami paham itu syarat yang berat dan jarang bisa dijamin oleh pemerintah yang seharusnya menjadi regulator semua proyek energi skala besar, tak hanya geotermal. Tapi, jika itu terlalu berat, mengapa kita tidak menempuh jalan lebih sederhana?
Pembangkit listrik tenaga ombak Zamrisyaf mungkin belum sempurna benar. Tapi, jika seorang tamatan SMK bisa membuatnya, begitu sulitkah ilmuwan universitas menyainginya? Bukankah universitas bahkan semestinya bisa berbuat lebih jauh: mengeksplorasi sains dan teknologi energi terbarukan yang belum pernah ada?