Akademi Ekoliterasi: Semua Orang dapat Urun Daya (Part 2)

 Akademi Ekoliterasi: Semua Orang dapat Urun Daya (Part 2)

Ilustrasi: Ditto

Akademi sebagai perkumpulan ide dan orang-orang di dalamnya dengan keragaman latar dan disiplin ilmu. Ekoliterasi sebagai pengetahuan dinamis yang mempertautkan manusia dan alam non manusia ke dalam ekosistem yang membentuk keseimbangannya. Relasi yang rentan akan persoalan di zaman kapitalisme bergerak.

Sebagaimana kerja advokasi, akademi ekoliterasi juga merupakan kekuatan cipta, karsa, karya yang diasuh oleh banyak individu di level grassroot dalam komunitas-komunitas organik. Akademilah yang mencoba membentuk ekosistem yang berdaya ubah dan berdaya tahan.

Dua dekade terakhir ini kita bangga dengan beragam pembaharuan sosial dan perangkat teknologi dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Saya mau mengapresiasi zaman kolaborasi dan society 5.0 sebagai nilai-nilai positif di tengah ancaman, meminjam istilah Noval Noah Harari, irelevansi dan insignifikansi.

Menjadi manusia unfaedah memang petaka, tapi sebaliknya bagaimana kita membuat semua orang berfaedah. Ini semangat menolak gerakan menegasikan manusia: tetaplah hidup walau tidak berguna. “Dipaksa sehat di negara sakit” adalah juga kekuatan revolutif jika pesan itu dimaknai panggilan revolusi tata kelola kesehatan global yang nir-keadilan. Bahkan, koruptif dan eksploitatif. Tengoklah sistem kesehatan kita sendiri, bolongnya bagaimana dan dimana saja.

Benar, pandemi tak banyak membelajarkan negara tapi kita, warga, harusnya belajar lebih cepat lebih kuat dan militan agar bangkit dengan praktik resiliensi 6.0 atau 7.0.

Berdaya ubah artinya kekuatan transformasi dari kondisi tak adil serta eksploitatif menuju keadaan yang lebih adil dan manusiawi (proses) di mana beragam kelompok turut membantu mengawal pengejawantahannya. Semua orang punya kontribusi langsung dan tidak. Tak ada yang boleh dianggap kecil peranannya. Sebaliknya, bertahan dari penghancuran atas nama pembangunan adalah kerja paling berat akhir-akhir ini sejak dekade keserakahan menghantui negara-negara kaya sumber daya alam dan stabil lingkungan hidupnya.

Spirit demokratisasi peran/partisipasi dan pengetahuan lokal sebagai nilai bersama adalah prinsip advokasi. Mansur Fakih pernah menulis di penghujung pengantar buku merubah kebijakan publik begini:


“……advokasi juga tidak harus menjadi monopoli para pakar, profesional dan aktivis saja. Organisasi rakyat seperti kelompok tani atau nelayan yang berada di akar rumput yakni mereka yang selama ini memang menjadi korban utama dari suatu kebijakan publik tertentu harus menjadi bagian terpenting dari suatu aliansi advokasi. Dengan kata lain, advokasi mestinya memungkinkan dipergunakan oleh rakyat di tingkat akar rumput untuk memperjuangkan nasib mereka. Dengan demikian advokasi boleh menjadi alat siapa saja yang ingin memperjuangkan perubahan kebijakan untuk tegaknya keadilan sosial.”


Saya sangat setuju dan cocok dengan pemikiran maju Mansour Faqih sehingga gerakan advokasi meluas dapat dilakukan setiap orang sehingga upaya transformasi menjadi suatu yang dekat dan akrab. Jadi kerja advokasi bukan monopoli elite terpelajar tapi justru kelompok warga dan individu menjadi penting untuk menjadi jangkar gerakan sosial ekologis. Semakin banyak yang terlibat justru semakin kuat, ibarat sapu lidi atau gerakan semut pekerja.

Dari Alit ke Elite, dari Bawah ke Atas

Bagi yang percaya merubah secara struktural adalah jalan terbaik untuk mewujudkan keadilan sosial, silakan menempuh jalan itu. Rakyat sudah banyak urun daya kepada APBN dan kepada partai politik tapi keadaan semakin payah. Gap the have and the have not kian tak tertolong. Keyakinan akan sistem politik semakin tergerus dan demokrasi makin oligarkis.

Bagi yang berkeyakinan akan keampuhan gerakan sosio kultural, semoga tabah sampai akhir. Gerakan kultural adalah paling besar populasinya tapi fragmented. Loyalitas warga terpecah-pecah sehingga tak pernah membangun agenda bersama dan mimpi bersama. Inilah yang membuat oligarki terus dominan dan memperparah dampak krisis lingkungan. Sentimen agama kadang lebih kuat dari sentimen anti kolonialisme tambang yang jelas menghancurkan masa depan peradaban masyarakat/alam.

Sudah saatnya, masyarakat percaya menjaga kampungnya, tetangganya,
temannya, hutannya, sungainya, gunungnya, dan lainnya sendiri sebagai nilai utama kehidupannya. Kekuatan nilai ini yang akan dipercaya sebagai
mesin politik tercanggih anti oligarki perusak bumi.

Perubahan dari bawah sebagai upaya transformasi paling organik dan sustain. Perubahan yang dikehendaki sebagai hal terbaik bagi kepentingan komunitas. Elitisnya gerakan sosial mati menelan jargon-jargon penuh heroisme sesaat. Banyak kelemahan gerakan sosial elit: tergantung funding, rentan politisasi, represi terhadap pengetahuan lokal. Radikal tapi sesaat dan menjual segala mimpi harapan kosong. Gerakan bawah dan dari dalam tidak menjanjikan perubahan radikal tapi menjanjikan hidup bernilai bagi komunitas inti.

Sekarang warga musti percaya pada kekuatannya sendiri, pada sumber daya lokalnya, pada mimpinya sendiri. Sudah saatnya, masyarakat percaya menjaga kampungnya, tetangganya, temannya, hutannya, sungainya, gunungnya, dan lainnya sendiri sebagai nilai utama kehidupannya. Kekuatan nilai ini yang akan dipercaya sebagai mesin politik tercanggih anti oligarki perusak bumi.

Dari Literasi ke Ekoliterasi

Literasi progresif dan kritis menjadi fondasi gerakan etis berdimensi jamak. Literasi yang memungkinkan gerakan ekoliterasi tumbuh seperti jamur dimusim penghujan. Tanpa literasi kritis, dimensi ekoliterasi akan kehilangan daya juang transformasinya. Ekoliterasi bukan hanya kognitif (kecerdasan ekologis) saja tapi aspek-aspek lainnya sama penting dan saling melengkapi seperti aspek afeksi (kepedulian) dan psikomotorik (aksi berdampak).

Bagi saya, ekoliterasi adalah sebuah gerakan etis-aktif paling penting abad ini di tengah bumi yang keropos, fragile, kering terbakar yang memberi jawaban paripurna dari pikiran (head), perasaan (hearth) dan tindakan nyata (hand).

Jika di-Islam-kan, maka ekoliterasi islam adalah gerak irama senadanya dzikir, fikir dan amalan. Iman kepada sains krisis iklim tidak hanya diyakini di hati, tetapi harus dinyatakan dengan lisan sebagai komitmen serta diamalkan dalam perbuatan.

Tanpa itu, bukankah kita sudah sering mendengar apa yang disebut munafik atau kafir ekologis. Wallahu alam bi ashowab.

Bagikan yuk

David Efendi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.