Agenda Riset Literasi Menurut Stian Haklev

Oleh: Stian Håklev penulis tesis berjudul MENCERDASKAN BANGSA – SUATU PERTANYAAN FENOMENA TAMAN BACAAN DI INDONESIA.
Redaktur web RBK: tim redaktus menyusuri karya ini dengan seksama dan banyak hal yang relevan dengan kondisi Gerakan literasi di Indonesia. Karenanya, kami sajikan kesimpulan risetnya dan juga agenda riset lanjutannya. Berikut adalah penggalan tesis Stian Haklev yang asli sebagai upaya penyebaran pengetahuan. Judul artikel ini diberikan oleh redaktur website rumah baca komunitas.
Saya mengawali penelitian ini dengan menelusuri asal-muasal kata Taman Bacaan, yang pertama kali digunakan untuk peminjaman buku perpustakaan yang dikelola oleh orang cina peranakan pada akhir abad ke-19 di Batavia. Dengan membahas awal dimulainya suatu sastra nasional Indonesia dalam bahasa yang nanti menjadi bahasa nasional, yang tidak dapat dipisahkan dari pendirian Balai Pustaka dan perpustakaan umum pertama, saya sampaikan bahwa bahasa Indonesia memperoleh suatu posisi yang kuat sebagai bahasa nasional. Saya menelusuri konsep perpustakaan yang dapat dikunjungi masyarakat umum dan Taman Bacaan yang terus berkembang sepanjang abad ke-20, hingga perpustakaan yang dikunjungi masyarakat umum muncul kembali setelah periode kemerdekaan dengan usaha Sukarno untuk menjalankan ribuan perpustakaan-perpustakaan desa.
Ada tiga reinkarnasi yang jelas berbeda di era modern sekarang ini, yang dapat ditelusuri kembali ke era persewaan buku Taman Bacaan, yang dimulai di Batavia pada akhir abad ke-19. Satu hal yang tidak banyak berubah, dan terus ada hingga saat ini adalah kios-kios kecil yang menyewakan buku dan komik. Yang kedua adalah persewaan buku yang dikombinasikan dengan suasana kafe, untuk menarik minat kelas menengah yang tengah tumbuh berkembang di Indonesia. Reinkarnasi yang ketiga, yang saya fokuskan di sini, adalah pendirian perpustakaan- perpustakaan umum skala besar berdasarkan kesukarelaan, merupakan suatu upaya singkat di era Orde Baru Suharto dengan mendirikan Taman-taman Bacaan Masyarakat (TBM) di desa-desa pada tahun 1990-an, dan pada akhirnya berubah menjadi Taman Bacaan seperti yang kita kenal saat ini.
Untuk memaparkan perubahaan akhir yang menghasilkan model Taman Bacaan saat ini, saya telah menyelidiki periode sesaat setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru Suharto, dan percampuran subur antara budaya masa kini Yogyakarta dengan para mahasiswa dan aktivis Bandung yang bersama-sama meluncurkan suatu pergerakan komunitas literer. Saya kemudian memanfaatkan perkembangan di Yogyakarta, dan studi-studi kasus Farook Dauzan/Mabulir dan Gola Gong/Rumah Dunia serta 1001 Buku untuk mensarikan beberapa faktor penting dalam penyebaran dan pertumbuhan TB. Farook Dauzan and Gola Gong adalah contoh keberanian dan keyakinan yang luar biasa, yang telah dipublikasikan secara luas, dan telah berperan sebagai contoh yang memberi inspirasi.
Rumah Dunia adalah sebuah contoh kasus terbaik dari TB, yang telah memberikan inspirasi dan ide-ide bagi masyarakat untuk memulai TB baru. Melalui jaringan yang ada – baik secara maya seperti milis dan blog, maupun secara fisik, berupa forum-forum jangka panjang, atau pertemuan-pertemuan besar – TB bisa saling berbagi pengalaman dan informasi, sekaligus sumber daya fisik (melalui 1001 Buku). Dalam hal ideologi yang menjadi dasar, baik sumber- sumber eksternal maupun narasumber sering mengacu pada Islam – yang memiliki sejarah dalam mempromosikan penghapusan buta aksara dan kegiatan kemasyarakatan – serta Nasionalisme, melalui ide mencerdaskan bangsa.
TB yang ada saat ini bisa dibedakan menjadi tiga kelompok. TBM yang didirikan oleh pemerintah, sebagian besar merupakan peninggalan dari program di tahun 1990-an, dan beberapa program yang dibentuk oleh pemerintah lokal dan regional. TBM yang didirikan oleh para penyandang dana skala besar, seperti misalnya oleh Badan Usaha Milik Negara, perusahaan-perusahaan Indonesia dan asing, serta beberapa yayasan Indonesia yang telah mulai membangun belasan atau ratusan TBM. Terakhir adalah, TBM yang diawali oleh LSM skala kecil, organisasi masyarakat atau kelompok warga masyarakat. Kami memiliki sangat sedikit data mengenai kelompok-kelompok ini, tetapi dengan menggabungkan angka statistik dari program bantuan pemerintah dengan data survei dari Jakarta, kami melihat bahwa TBM yang didanai oleh pemerintah (terutama dari kategori pertama di atas), jarang beroperasi lebih dari beberapa hari dalam seminggu, dan tidak mengadakan aktivitas apapun. Di sisi lain, TBM yang menjadi anggota jaringan 1001 Buku hampir seluruhnya buka tujuh hari seminggu, dan mereka juga memiliki beberapa kegiatan. Bagaimanapun, mereka masih jauh kurang aktif dibandingkan perpustakan-perpustakaan “terbaik”.
Penelitian ini bersifat mencari hasanah baru, meliputi suatu bidang yang hampir tidak diteliti sebelumnya. Saya telah memetakan pelopor dari pergerakan TB saat ini, dan juga mengumpulkan data yang terkait dengan situasi saat ini di Indonesia. Melalui penelitian sejarah, saya telah menemukan asal muasal kata Taman Bacaan, dan menelusuri kembali perpustakan- perpustakaan umum dan persewaan buku selama satu abad ke belakang. Saya juga telah mengidentifikasi secara khusus posisi kuat dari bahasa nasional di Indonesia, dibandingkan dengan bekas-bekas jajahan lain. Akhirnya, saya mencoba untuk menggambarkan proses-proses sejarah, khususnya di Bandung dan Yogyakarta, yang menghasilkan pergerakan TB saat ini. Meskipun data tersebut masih kurang, secara pribadi saya telah memperoleh suatu pengertian yang sangat mendalam mengenai fenomena, perbedaan jenis perpustakaan, dan para pelaku yang terlibat. Saya melihat ini sebagai kontribusi utama penelitian saya.
Sebagai tambahan, saya telah mencoba mengidenfikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya fenomena ini pada waktu dan tempat tertentu. Faktor-faktor penyebab yang muncul dari data saya – termasuk wawancara dengan narasumber yang aktif dalam berbagai aspek pergerakan TB dan TBM (tapi bukan sebagai pengguna), serta menganalisis blog–blog, laporan- laporan pemerintah dan organisasi serta artikel-artikel surat kabar – adalah model-model peran yang menginspirasi orang untuk menirunya, contoh-contoh kasus perpustakaan terbaik yang dapat mengajarkan dan menyebarkan ide-ide mengenai cara menjalankan suatu perpustakaan – mengingat belum banyak bahan-bahan pelatihan yang tersedia – jaringan-jaringan yang memungkinkan pertukaran pengalaman serta sumber daya, dan pengaruh ideologi Islam dan nasionalisme. Dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk menentukan peranan pasti yang telah dimainkan, dan faktor-faktor lainnya yang hanya dapat muncul dari wawancara-wawancara panjang, dan mungkin dari studi lapangan.
Agenda riset berikutnya
Karena kelangkaan sumber-sumber, skripsi ini hanya dapat menjadi suatu gambaran awal, dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Diharapkan dengan menampilkan sejumlah besar permasalahan yang berpengaruh terhadap Taman Bacaan dalam suatu tesis, para peneliti lain akan menemukan banyak peluang untuk melakukan studi-studi yang lebih mendalam. Dengan karya Claudine Salmon, kita memiliki suatu gambaran yang tepat mengenai persewaan buku diantara para peranakan Cina, dan terdapat sejumlah sumber yang menggambarkan perpustakaan Balai Pustaka, meskipun sangat sedikit yang memfokuskan pada hal-hal tersebut secara spesifik, dan mungkin terdapat lebih banyak bahan-bahan berupa arsip terkait, apabila seseorang melakukan penelitian sejarah di bidang ini.
Sejarah persewaan buku sepanjang abad ke-20 belum pernah ditulis, dan saya mengandalkan pada sumber-sumber yang sangat sedikit, yang hanya menjelaskan situasi pada kejadian- kejadian sejarah tertentu. Ini sangat menarik untuk dijelaskan, khususnya perkembangan dan perubahan yang berjalan, dan bagaimana hal tersebut mencerminkan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam kondisi yang sama, sangat sedikit literatur tersisa dari pergerakan perpustakaan rakyat yang digagas oleh Sukarno pada tahun 50-an, pergerakan TB pada tahun 1980-an, dan program-program pemerintah pada era 1990-an. Lebih banyak pengetahuan mengenai terutama bagian terakhir, akan sangat bermanfaat bagi pemahaman terhadap kemunculan pergerakan TB di tahun 2000, dan barangkali suatu studi terhadap arsip- arsip pemerintah akan memunculkan lebih banyak informasi.
Saya telah mencoba menjelaskan faktor-faktor yang menjalankan pergerakan TB di Indonesia, bagaimanapun studi lainnya akan dilihat pada motivasi dari masing-masing organisasi dan individu. Baik Ida Fajar Priyanto dan Sulistyo Basuki mengusulkan bahwa pengangguran diantara orang-orang muda berpendidikan menjadi salah satu faktor penting, Sulistyo menambahkan bahwa banyak TB hilang dari peredaran saat para penggagasnya memperoleh pekerjaan tetap. Basuki juga mengusulkan bahwa terdapat suatu ketidakbersediaan di antara para aktivis untuk bekerjasama dengan perpustakaan-perpustakaan umum, karena perpustakaan tersebut telah cukup lama didikte oleh pemerintahan Orde Baru (Sulistyo Basuki, komunikasi personal, 2008; Ida Fajar Priyanto, komunikasi personal, 2008). Akhirnya, Basuki mengusulkan bahwa terdapat egoisme mendasar di setiap organisasi (meskipun ia sepertinya lebih mengarah pada Badan Usaha Milik Negara dan donor-donor besar lain) yang menginginkan perpustakaannya sendiri, dan Septiana menemukan pada studi kasusnya bahwa “perpustakaan dijadikan sebagai wadah untuk menjalankan visi dan misi sebuah komunitas tertentu” (ibid.; Septiana, 2008). Studi-studi yang lebih mendalam terhadap organisasi dan individu yang menggagas perpustakaan akan diperlukan, khususnya bagi mereka yang terus mengikuti perkembangan sepanjang waktu, untuk menganalisis TB mana saja yang sepertinya akan berkesinambungan.
Terdapat beberapa studi antropologi punk di Indonesia, tetapi semakin besar bidang kebudayaan di kalangan anak muda di pusat perkotaan telah banyak meninggalkan banyak hal untuk dieksplorasi, khususnya dengan semakin cepatnya pertumbuhan budaya organisasi dan inisiatif masyarakat setelah jatuhnya Suharto akan menjadi suatu bidang studi yang subur, dan inilah saatnya untuk melakukan hal tersebut: banyak dari para pelaku utama pada era tersebut masih aktif, dan dapat diwawancarai, banyak dari bahan tertulis masih dapat ditemukan. Ini adalah hal yang menarik untuk melakukan suatu analisis kesesuaian terhadap contoh seperti milis, blog, dan arsip-arsip surat kabar, untuk melihat bagaimana “meme” dari Taman Bacaan menyebar, dan seberapa penting perubahan yang terjadi sejak tahun 2000 hingga setelahnya.
Banyak lagi yang perlu diketahui mengenai kebijakan dan program pemerintah, dan diharapkan bahwa lebih banyak laporan dan informasi akan diungkapkan. Saat hal tersebut menyoroti Taman Bacaan seperti yang sudah ada sekarang, kita hanya memiliki informasi yang bersifat anekdot. Hal tersebut akan sangat berguna jika dilakukan pada tataran studi makro untuk mempelajari lebih dalam mengenai ukuran pergerakan, pertumbuhannya, atribut bagi TB yang berbeda, di bagian mana mereka memperoleh keuntungan dan mengapa, begitu pula dengan studi-studi mikro, membandingkan TB yang berbeda, atau area dengan atau tanpa sebuah TB, dampak pada rata-rata melek huruf, pencapaian sekolah, keterlibatan masyarakat dan seterusnya.
Pada akhirnya, penelitian internasional dan penelitian perbandingan terhadap perpustakaan masyarakat dan pedesaan di negara-negara berkembang betul-betul dibutuhkan. Tidak hanya penelitian, tapi juga advokasi: Saya yakin perpustakaan dan pengembangan harus menjadi suatu bidang studi, seperti halnya pendidikan dan pengembangan, atau kesehatan dan pengembangan. Tidak hanya dalam hal investasi, tetapi juga dalam hal strukturisasi pengembangan perpustakaan, dan pendidikan pustakawan. Dalam banyak cara, bidang ini masih menunggu seorang pustakawan Paulo Freire.
Sumber: tesis Stian Håklev dalam tesisnya, MENCERDASKAN BANGSA – SUATU PERTANYAAN FENOMENA TAMAN BACAAN DI INDONESIA yang dapat diakses di http://eprints.rclis.org/12294/2/Mencerdaskan_Bangsa_-_bahasa_Indonesia.pdf