Posisi dan Peran Manusia dalam Alam Menurut Arne Ness
Judul : Posisi dan Peran Manusia dalam Alam Menurut Deep Ecology Arne Ness (Tanggapan atas Kritik Al Gore)
Penulis : Barnabas Ohoiwutun
Penerbit : PT Kanisius (Anggota IKAPI)
ISBN : 978-979-21-6327-8
Oleh: Muhammad Naufal Rofi)*
Buku dengan judul Posisi dan Peran Manusia dalam Alam Menurut Deep Ecology Arne Ness (Tanggapan atas Kritik Al Gore) merupakan karya Dr. Barnabas Ohoiwutun, seorang imam Katolik dari tarekat MSC yang saat ini menjadi dosen pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Manado, Sulawesi Utara. Adapun buku ini merupakan hasil disertasi S3-nya yang beliau tempuh di Sekolah Tinggi Filsafat Diryakara, Jakarta. Riwayat pendidikan sebelumnya beliau meraih gelar S1 pada tahun 2000 di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng dan S2 dari University of Santo Tomas, Manila, Filipina.
Dalam kajian yang dilakukannya tersebut, beliau berupaya untuk memberikan penjelasan serta rangkuman terkait bagaimana pola pemikiran dan pemahaman serta gerakan dari salah satu teori dalam etika ekosentrisme yaitu ekologi-dalam milik Naess. Adapun kajian yang diberikan dilakukan dengan memberikan perbandingan pada paham etika lingkungan hidup yang dimiliki oleh Gore. Kajian difokuskan terhadap adanya kritik dari Gore terhadap paham ekologi yang dijalankan Naess serta pendukung gerakan ekologi-dalam terkhusus tentang bagaimana posisi dan peran manusia dalam alam.
Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Barnabas Ohoiwutun ini memberikan penjelasan awal berupa semakin tingginya perhatian terhadap gerakan peduli lingkungan yang mencuat di kalangan para aktivis, filsuf-filsuf lingkungan hidup, hingga sejarawan lingkungan hidup yang diperkirakan sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Adapun pembahasan yang menjadi poin utama berupa sebuah perubahan cara pandang atau paradigma serta gaya hidup sebagai upaya dalam menangani kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern. Perubahan atau peralihan terhadap cara pandang yang dimaksud tersebut tertuju pada paham Antroposentrisme yang dialihkan menjadi paham ekosentrisme atau ke non-antroposentrisme.
Diawali dengan pembahasan mengenai paham Antroposentrisme, penulis memberikan keterangan serta penjelasan didasarkan pada teori-teori dan pendapat yang dicetuskan oleh para filsuf ternama seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immanuel Kant. Antroposentrisme sendiri dijelaskan sebagai sebuah aliran dalam etika lingkungan hidup yang memberikan pandangan jika manusia merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki nilai maupun norma pada dirinya, hal tersebut menempatkan manusia serta segala kepentingannya menduduki posisi tertinggi dari segala kepentingan makhluk lainnya di alam, adapun alam serta isinya hanya dianggap sebagai sebuah sarana dan alat untuk memenuhi kepentingan manusia saja. Paham ini menimbulkan konsekuensi berupa prinsip etis-moral hanya berlaku untuk manusia saja tidak dengan makhluk lainnya, sehingga tuntutan dan moral kepada manusia untuk menjaga dan memelihara alam beserta seluruh isinya bukan menjadi tanggung jawab utama, adapun jika memang tindakan menjaga dan memelihara tersebut dilaksanakan semata-mata hanya kepada hal yang dirasa berkontribusi dan bermanfaat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Atas dasar tersebut penulis menjelaskan jika paham Antroposentrisme dinilai sebagai biang masalah terjadinya krisis lingkungan hidup.
Pembahasan selanjutnya penulis menjelaskan mengenai paham-paham non-antroposentrisme yang dinilai sebagai sebuah kritik dan juga paham peralihan mengenai etika lingkungan hidup dari sebelumnya berupa paham Antroposentrisme. Paham ini dinilai sebagai sebuah solusi untuk menangani permasalahan lingkungan hidup didasarkan pada pandangan yang tidak hanya melihat kepentingan manusia saja, melainkan keseluruhan makhluk yang ada di alam memiliki masing-masing nilai dan norma yang perlu dihormati dan dihargai. Adapun paham-paham non-antroposentrisme tersebut berupa biosentrisme, ekofeminisme, dan ekosentrisme.
Biosentrime sebagai sebuah paham non-antoposentrisme sendiri dijelaskan oleh penulis merupakan paham etika lingkungan hidup yang memandang bahwa seluruh makhluk hidup itu bernilai dan berharga, sehingga konsekuensi yang muncul berupa penghormatan karena setiap makhluk hidup tersebut memiliki nilai hidup. Biosentrisme juga melahirkan sebuah komunitas moral yang dimana dalam setiap keputusan serta tindakan moral, seluruh kehidupan di alam ini memerlukan perhatian dan juga pertimbangan moral, tidak hanya berlaku untuk manusia melainkan juga kepada seluruh komunitas kehidupan di dalam alam. Dalam membantu penjelasan etika ini, penulis memberikan kesimpulan dari berbagai pandangan tokoh-tokoh filsuf ternama seperti Paul Warren Taylor dan juga pencetus teori lingkungan hidup yang berfokus pada kehidupan yaitu Albert Schwietzer serta pencetus teori Etika Bumi oleh Aldo Leopold yang pada kesimpulannya memberikan penjelasan utama bahwa manusia bukan merupakan satu-satunya makhluk yang hidup di alam, melainkan salah satunya dan juga masuk ke dalam komunitas kehidupan di bumi, sehingga tidak ada alasan untuk berupaya mengeksploitasi alam beserta isinya secara berlebih hanya atas dasar untuk memenuhi kepentingan hidup manusia saja. Konsekuensi yang timbul harus berupa kesadaran bagi manusia untuk senantiasa mempertahankan dan memelihara kehidupan yang ada serta memberikan penghormatan sedalam-dalamnya terhadap kehidupan.
Etika selanjutnya yang menjadi pembahasan yaitu feminisme. Paham ini dijelaskan sebagai sebuah pertanyaan serta gugatan terhadap cara pandang umum dan dominan pada zaman modern saat ini dimana ciri khas yang menonjol berupa cara pandang maskulin, patriarkis, dan hirarkis. Dalam persoalan ekologi, penulis menjelaskan salah satu cabang dalam feminisme yaitu ekofeminisme yang dipopulerkan oleh beberapa tokoh antara lain Val Plumwood dan Karen Warren. Kelompok ekofeminisme ini menilai bahwa dominasi yang dilakukan terhadap alam dan kaum wanita memiliki keterkaitan, dimana alam dan juga para kaum wanita telah lama dipandang sebagai feminin, dimana konsekuensi yang lahir dari pandangan tersebut berupa penindasan yang sama terhadap kedua unsur tersebut. Dalam bukunya penulis berupaya memberikan penjelasan juga bagaimana kedudukan dari kaum wanita terhadap alam melalui paham ekofeminisme. Selebihnya paham ini betujuan untuk memberikan gebrakan berupa perlawanan terhadap kelompok-kelompok pendukung gerakan lingkungan hidup yang mendukung pola umum dominasi penindasan terhadap alam dan kaum wanita, kaum ini juga berkontribusi terhadap pencarian solusi penanganan permasalahan lingkungan hidup melalui cara berpikir alternative dan non-dualistik terkait manusia dan makhluk hidup lainnya.
Ekosentrisme menjadi pembahasan selanjutnya yang diberikan dengan fokus terhadap pembahasan teori etika lingkungan ekologi dalam (deep ecology) yang dikembangkan oleh Arne Naess. Penulis menjelaskan bahwa paham ini merupakan lanjutan dari biosentrisme, yang dimana pandangan paham ini diperluas dengan melihat semua unsuur komunitas ekosfer itu memiliki etika, bukan hanya komunitas biotis saja. Lebih jelasnya jika biosentrisme melihat hanya kepada komunitas kehidupan, sedangkan ekosentrisme fokus kepada seluruh komunitas ekologis. Ekologi dalam milik Arne Naess dijelaskan sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap gerakan ekologi dangkal yang memiliki corak antroposentrik yang dianggap sebagai sebuah sebab tingginya pencemaran dan berkurangnya sumber daya alam yang merupakan penunjang kesehatan dan kesejahteraan manusia. Paham ini dilaksanakan dalam dua hal, yakni sebagai gerakan sosial dan juga ekofosi atau perubahan cara pandang. Ekologi dalam sebagai gerakan sosial memiliki perhatian yang utama terhadap keberlangsungan lingkungan hidup, sementara ekosofi dimaksudkan sebagai sebuah pandangan hidup yang memberikan dorongan kepada setiap orang untuk mengambil bagian dalam gerakan ekologi dalam. Penulis memberikan penjelasan jika Naess dalam teorinya menggunakan dan dipengaruhi oleh pemikiran dari dua filsuf utama yaitu Barukh Spinoza dan juga Mahatma Gandhi serta pemikiran dari kepercayaan Hinduisme dan Buddhisme. Berdasarkan sumber pandangan serta pemikiran-pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa Naess menekankan pentingnya pergeseran paham dari antroposentrisme menuju ekosentrisme dengan tujuan berubahnya cara berpikir dan bersikap manusia terhadap alam yang kemudian melihat alam dengan segala isinya juga bernilai, memiliki hak untuk hidup dan berkembang serta memiliki tujuan hidup masing-masing. Atas dasar tersebut maka diharapkan akan lahirlah sikap penghargaan, penghormatan serta tindakan untuk merawat dan menjaga alam sebagaimana manusia melakukan hal tersebut kepada dirinya.
Dalam bukunya, Dr. Barnabas Ohoiwutun mencoba mencari bagaimana sebenarnya posisi dan peran manusia di alam semesta. Setelah melalui pembahasan konsep dari paham-paham non-antroposentrisme terkhusus yang pada kesimpulannya memberikan penjelasan jika seluruh bentuk kehidupan memiliki nilai serta hak yang setara untuk hidup dan berkembang, lalu tujuan masing-masing yang ingin diwujudkan. Selanjutnya dalam memahami persoalan tersebut, penulis memberikan pembahasan terkait adanya kritik yang datang dari Al-Gore seorang mantan Wakil Presiden ke-45 Amerika Serikat dan juga merupakan seorang environmentalistberupa kekeliruan dalam teori ekologi dalam milik Arne Naess yang dianggap menempatkan manusia sebagai makhluk penyebar virus yang dapat mengancam fungsi-fungsi kehidupan di bumi. Diawali dengan anggapan bahwa para pendukung gerakan ekologi-dalam keliru dalam memaknai bagaimana relasi antara manusia dengan alam, yang memberikan kiasan bahwa keberadaan manusia layaknya penyakit. Adanya kiasan tersebut menurut Gore memunculkan permasalahan diantaranya : melihat manusia sebagai sesuatu yang merusak dan juga pembawa penyakit bagi bumi, sehingga pemikiran logis yang muncul terhadap kiasan tersebut satu-satunya cara untuk menyelamatkan bumi adalah dengan memusnahkan manusia. Masalah lainnya berupa tidak dapat dijelaskannya siapa dan apa posisi serta peran sebenarnya manusia dan bagaimana cara mereka untuk mencari jalan keluar terhadap krisis ekologi yang terjadi. Dalam menegaskan pernyataan Gore, penulis mengungkapkan pernyataan yang disampaikan oleh seorang filsuf ternama Rene Descartes dimana Descartes mendefinisikan manusia sebagai makhluk dengan pikiran yang abstrak serta berhubungan dengan alam dunia hanya melalui teori dan logika. Sedangkan Arne Naess serta gerakannya melihat manusia sebagai makhluk asing yang ada di dunia. Gore menilai ekologi-dalam melihat hubungan manusia dengan dunia hanya semata-mata dalam pengertian fisik. Manusia dianggap tidak lebih dari sebuah tubuh yang dirancang untuk melakukan segala macam takdirnya, tidak memiliki kemampuan untuk bertindak atau berkehendak secara bebas untuk merubah kisahnya di bumi. Atas dasar tersebut Gore menganggap justru paham ekologi-dalam sangat berbahaya karena menempatkan manusia sebagai orang asing di alam dunia. Dalam tulisannya ini penulis bermaksud juga untuk melihat bagaimana upaya yang diberikan Gore melalui pandangannya untuk mengatasi krisis ekologi yang terjadi. Dijelaskan bahwa jalan keluar yang ditawarkan oleh Gore berupa membuat kisah baru yang pada kesimpulannya menempatkan manusia untuk dapat berpikir dan bertindak sesuai kehendaknya. Kisah baru tersebut berupa membangun landasan yang kuat dan sehat bagi hubungan antara manusia dengan alam. Adapun jalan keluar tersebut dapat diwujudkan dengan baik jika manusia memahami akar dari penyebab terjadinya krisis ekologi yang terjadi dan paham bagaimana cara mengatasinya. Gore melihat jika krisis ekologi yang terjadi dewasa ini berakar dari adanya hubungan yang keliru antara manusia dengan alam. Upaya yang diberikan Gore tersebut menimbulkan konsekuensi jika pola hubungan yang dibangun tersebut dimengerti dan dipahami bagaimana dampak destruktifnya maka hal tersebut dapat menjadi langkah awal bagi manusia untuk menyembukan kerusakan serta krisis ekologi yang terjadi, yang kemudian pada akhirnya menjadi sebuah usaha yang melahirkan paham baru terkait hubungan sehat antara manusia dengan alam serta dengan seluruh makhluk lainnya.
Berdasarkan pandangan dari Gore tersebut yang merupakan kritik dari teori ekologi-dalam milik Arne Naess, penulis memberikan tanggapan melalui penjelasan yang diberikan Naess dalam teorinya bahwa definisi yang diberikan kepada manusia berupa makhluk “unik”, tidak hanya dilihat dari fisiknya melainkan karena kemampuan berpikir dan bertindaknya. Unik tersebut ditegaskan oleh Naess sebagai sebuah konsekuensi untuk manusia sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam demi kepentingan dan keberlangsungan alam tersebut. Penjelasan yang diberikan Naess tersebut tentunya jelas bertentangan dengan yang disampaikan oleh Gore.
Melalui dasar adanya kritik terhadap pemahaman teori ekologi-dalam yang merupakan salah satu bagian dari paham ekosentrisme tersebut, penulis dalam kajiannya ingin kembali menegaskan tentang bagaimana posisi dan peran sebenarnya manusia di alam melalui pandangan ekologi-dalam milik Arne Naess, serta ingin memastikan apakah benar ekologi-dalam Arne Naess melihat manusia sebagai makhluk asing pembawa penyakit yang menjadi sebab kerusakan terhadap alam. Sebagai pembanding, penulis juga mendalami kajian tentang paham ekologi yang dijalankan oleh Gore terkhusus terhadap pandangannya mengenai posisi dan peran manusia di alam. Penulis menegaskan selanjutnya meskipun berbeda pehamaman, ekologi-dalam Naess dan ekologi Gore sebenarnya saling melengkapi dan dapat dijadikan rujukan inspirasi bagi upaya-upaya perlindungan dan pelestarian alam dewasa ini.
Kajian yang dilakukan oleh penulis terlebih dahulu mendalami tentang paham ekologi yang dijalankan oleh Arne Naess. Pembahasan yang diberikan cukup lengkap karena tidak hanya sekedar membahas bagaimana latar belakang dari pemikiran Arne Naess, penulis turut juga mendalami bagaimana riwayat hidup hingga karya-karya yang dimiliki oleh Arne Naess sebagai seorang pegiat lingkungan hidup. Kisah hidup yang dialami Naess dengan salah satunya melihat kerusakan alam yang terjadi karena kondisi perkembangan industri serta bagaimana kecintaan beliau terhadap alam memiliki andil besar terhadap keaktifan dan keterlibatan beliau dalam gerakan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup. Pengaruh-pengaruh dari pemikiran Spinoza, Gandhi, Hinduisme, dan Buddhisme juga menjadi acuan Naess dalam memperkuat dan meneguhkan langkahnya dalam gerakan ekologi, bahkan memberikan kemampuan kepadanya untuk merumuskan dan membuat paham ekologi-dalam yang kemudian membuat Naess menjadi filsuf lingkungan hidup terbesar dewasa ini. Melalui dua pengertiannya sebagai gerakan sosial dan ekosofi, manusia dijelaskan oleh Naess memiliki kewajiban untuk memelihara serta melindungi alam karena alam itu hidup dan sempurna serta memiliki nilai. Hal logis lainnya diungkapkan Naess jika manusia sendiri merupakan bagian dari alam yang bahkan diberikan kelebihan berupa fisik dan kemampuan berpikir serta bertindak yang istimewa dibandingkan makhluk lainnya, hal tersebut dianggap Naess merupakan sesuatu yang unik. Penulis memberikan penjelasan jika ungkapan unik yang disebutkan oleh Naess bukan menjadi alasan bagi manusia untuk mengeksploitasi dan menguasai alam secara berlebihan, justru keunikan tersebut secara konsekuensi menjadi tugas dan tanggung jawab manusia untuk dapat memelihara dan melindungi alam.
Sebagai perbandingan atas pemikiran ekologis yang dimiliki oleh Naess, seperti yang sudah disampaikan dalam pendahuluan, penulis menjelaskan jika pandangan Naess meskipun secara muatan materi dianggap sudah lengkap namun tetap tidak terlepas dari adanya kritik, salah satunya datang dari Al Gore. Penulis mengkaji bagaimana pendapat dari Gore tentang pandangan ekologis yang dimiliki Naess serta memperlihatkan juga bagaimana sebenarnya paham ekologis yang dijalankan oleh Gore sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah upaya untuk menjawab pertanyaan utama terkait peran dan posisi manusia di alam.
Dalam kajiannya penulis menjelaskan jika Gore memiliki pandangan ekologis yang bersumber dari keyakinan ajaran agama yang dia anut, yaitu melalui ajaran Kristen dari Gereja Baptis Amerika. Dalam ajaran tersebut dijelaskan bahwa Tuhan merupakan pencipta alam serta seluruh isinya yang kemudian memberikan mandat kepada manusia sebagai “pengurus” yang bermakna tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara alam dan seluruh ciptaan-Nya. Namun pada kondisi yang berkembang sampai saat ini alam sedang berada dalam kondisi kritis karena salah satunya diakibatkan oleh campur tangan manusia yang berlebihan dalam pemanfaatan alam, dan meskipun secara perkembangannya kehidupan manusia mengalami perubahan ke arah yang lebih modern namun di satu kondisi yang sama hal tersebut membuat bumi mengalami krisis. Kajian yang dilakukan penulis terhadap pemikiran Gore juga dinilai cukup lengkap karena mengungkap bagaimana sebab lahirnya pemikiran hingga solusi kongkrit yang diberikan oleh Gore. Terutama dalam hal penyelesaian krisis ekologi, Gore mengajak kepada semua pihak untuk saling menyadari bahwa adanya krisis terhadap bumi itu nyata, sehingga kemudian diperlukan adanya kesepakatan bersama untuk bergerak menghadapi krisis tersebut, adapun kesepakatan yang ditawarkan oleh Gore adalah Rencana Marshall Global (Global Marshall Plan) yang melibatkan banyak Negara dimana inti dari pelaksaan program tersebut merupakan upaya-upaya untuk menjalankan kebijakan di berbagai sektor kehidupan dengan lebih ramah lingkungan.
Pembahasan selanjutnya yang diberikan penulis berupa penjelasan bagaimana sebenarnya kritik yang diberikan oleh Gore terhadap ekologi-dalam Naess. Melalui kajian mendalam penulis memberikan kesimpulan jika kritikan yang diberikan oleh Gore tidak semuanya tepat dan tidak kuat. Pertama, terhadap pandangan jika Ekologi-dalam sama dengan gerakan Earth First!. Adapun Earth First! sendiri merupakan gerakan spontan dan praksis yang dibuat dan digagas untuk tujuan melawan perusakan lingkungan, terkhusus terhadap aksi penebangan liar yang terjadi di Amerika. Anggapan kesamaan yang disampaikan oleh Gore adalah kesamaan dalam paham gerakan yang dipegang, yaitu ekosentrisme. Gore melihat kedua gerakan tersebut memiliki pemahaman yang sama karena menganggap manusia seolah-olah merupakan virus yang membawa penyakit dan kerusakan terhadap bumi, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan bumi adalah dengan melenyapkan manusia. Namun, pandangan yang diberikan Gore ini hanya berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Christopher Manes seorang mantan aktivis Earth First! serta anggota editor Earth First!, dan sekarang menjadi Pembela Hak dan Kesejahteraan Binatang dari Perspektif Religius yang melakukan kajian terhadap gerakan lingkungan hidup radikal melalui bukunya yang berjudul “Green Rage: Radical Environmentalism and the Unmaking Civilization” sehingga dapat disimpulkan kritik yang diberikan Gore didasarkan terhadap sumber sekunder yang membahas teori milik Naess, tidak mendasarkan kritiknya atas Naess dan pendukung gerakan ekologi-dalam sebagai sumber pertama. Lebih lanjut dalam kajian ini penulis memberikan kesimpulan jika ekologi-dalam dan Earth First! yang dianggap identik oleh Gore adalah keliru. Secara jelas Manes menjelaskan meskipun kedua gerakan ini dianggap sebagai gerakan lingkungan hidup radikal, namun pandangan Gore terkait kesamaan tersebut tidaklah tepat. Ekologi-dalam sendiri digolongkan sebagai sebuah gerakan yang lebih bersifat akademis, sedangkan Earth First! merupakan gerakan secara langsung yang bercorak praktis dan pragmatis. Adapun secara aksi, ekologi-dalam menggunakan jalan damai dan tanpa kekerasan, sedangkan Earth First! menggunakan cara yang lebih ekstream melalui aksi langsung berupa ketidakpatuhan sipil dan sabotase ekologis. Kedua, meskipun Earth First! menggunakan cara dalam aksinya yang terbilang ekstream untuk memerangi kebijakan perusakan terhadap alam, tidak berarti pandangan mereka terhadap manusia adalah negatif. Mereka tetap memberikan penghormatan dan penilaian positif terhadap manusia. Hanya saja pandangan mereka tidak hanya memperhatikan manusia, melainkan seluruh komunitas ekosfer. Sehingga konsekuensi yang lahir berupa penghargaan dan penghormatan bukan hanya dimiliki oleh manusia, melainkan kepada seluruh komunitas biotis karena masing-masing dari mereka memiliki nilai. Earth First! sendiri memiliki fokus perjuangan terhadap perlindungan alam liar. Selanjutnya penulis menegaskan bahwa ekologi-dalam Naess justru memiliki pandangan positif dan baik kepada manusia, tidak ada penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang negatif. Naess menjelaskan jika manusia itu baik dan juga merupakan bagian dari keluarga dengan makhluk lainnya dalam alam ini, hanya saja manusia diidentifikasikan dengan makhluk yang unik, keunikan tersebut dilihat dari ciri khas manusia yaitu kemampuan fisik serta otaknya yang mampu untuk berpikir, bertindak dan berkomunikasi lebih baik dari makhluk lain, sehingga konsekuensi keunikan tersebut adalah tanggung jawab lebih untuk menjaga dan melindungi alam. Upaya yang dilakukan dalam pandangan ekologi-dalam berupa perubahan cara pandang dalam mengelola alam dari antroposentrisme ke ekosentrisme, serta juga mengubah gaya hidup menuju gerakan ekologis yang dijadikan sebagai gerakan bersama.
Catatan Penutup
Pembahasan akhir yang disampaikan oleh penulis berupa kesimpulan yang memberikan pernyataan bahwa kajian terhadap kritik yang diberikan Gore kepada gerakan ekologi-dalam Arne Naess tidaklah akurat dan lemah, hal tersebut dikarenakan kritikan yang hadir tidak didasarkan pada karya-karya langsung Arne Naess, sehingga dianggap keliru bagaimana menanggapi pemikiran dan gerakan ekologi-dalam terutama tentang posisi manusia di dalam alam. Namun, sebagai titik tengah pembahasan kajian ini penulis menjelaskan meskipun terdapat perbedaan di antara kedua tokoh tersebut dalam memahami paham etika terhadap alam, sesungguhnya paham yang dimiliki oleh Naess maupun Gore saling melengkapi dan dapat dijadikan rujukan tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan melestarikan alam.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan baik berdasarkan pengalaman pribadi kedua tokoh tersebut maupun yang datang dari analisis pemahaman mereka, penulis mencantumkan beberapa poin yaitu Pertama, pentingnya peran dari local wisdom (kearifan lokal), yang dianggap Naess sebagai dasar pijakan dan sumber yang mengatur bagaimana seharusnya hubungan manusia dan alam; Kedua, membangun kedekatan dengan alam sebagai upaya membangun diri ekologis. Manusia dipandang perlu untuk berhubungan baik dengan alam sebagai sebuah kesadaran bahwa alam dan manusia merupakan satu kesatuan dan saling bergantung.
Ketiga, pentingnya kesadaran akan keseluruhan alam. Naess dan Gore memiliki pemahaman serupa yang memberikan kesadaran jika alam itu suci dan luhur karena merupakan ciptaan Tuhan, kesadaran akan relasi manusia dan alam yang melibatkan dimensi spiritual penting untuk dilaksanakan karena hampir semua agama di dunia mengajarkan untuk menjaga dan merawat alam.
Keempat, pentingnya kesadaran terhadap adanya krisis ekologi yang terjadi. Kesadaran yang dibangun tersebut dapat dilihat dari kondisi di sekitar dari yang sudah, sementara, dan akan terjadi. Adapun tujuan yang diharapkan dari tumbuhnya kesadaran terhadap krisis tersebut berupa munculnya kepekaan dan kepedulian untuk memeliharan da merawat lingkungan hidupnya dengan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia sendiri, melainkan demi kepentingan alam itu sendiri.
Kelima, peralihan paragidma dan nilai menuju ekologi yang utuh. Peralihan yang dimaksud berupa peralihan terhadap cara pandang dalam melihat alam secara utuh dan keseluruhan, dimana perlunya merubah cara pandang bahwa manusia bukan merupakan makhluk yang paling tinggi dan menganggap makhluk lain itu rendah, sehingga perlu disadari jika manusia merupakan bagian dari alam dan merupakan satu kesatuan dengan makhluk lainnya, sehingga dari cara pandang tersebut akan memunculkan sikap untuk tidak mengeksploitasi dan merusak alam tetapi merawat dan melindungi alam. Tujuan dari adanya peralihan cara pandang tersebut juga bertujuan agar terciptanya kebijakan ekologi yang benar-benar memperjuangkan kepentingan dan kelestarian seluruh alam, bukan hanya kepentingan dari manusia saja.
Dialog dan gerakan bersama menuju gaya hidup ekologis. Hal ini merupakan sebuah program dan tindakan nyata sebagai upaya merealisasikan peralihan paradigma dengan cara berdialog, diskusi serta kerja sama yang perlu melibatkan banyak pihak (baik di tingkat pemerintahan maupun swasta). Adapun sarana untuk membentuk upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan baik secara formal maupun non formal di setiap jenjang serta melalui forum diskusi, kontribusi dalam penulisan-penulisan baik berupa artikel jurnal maupun berita-berita terkait lingkungan hidup, menjadi aktivis dan pegiat lingkungan hidup, serta melalui upaya membangun jaringan dengan berbagai pihak yang secara pandangan dan gerakan memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup.
Mempraktikan gaya hidup ekologis. Upaya peralihan paradgima tersebut perlu dilakukan melalui kegiatan sehari-hari dalam kehidupan. Adapun Naess mempraktikannya melalui : hidup secara sederhana dan dekat serta cinta terhadap alam sekitar. Sedangkan Gore mempraktikkannya melalui cara menjadi vegetarian.