Wakaf sebagai Instrumen Reforma Agraria

 Wakaf sebagai Instrumen Reforma Agraria

Apakah wakaf dapat menjadi instrumen bagi praktik reforma agraria di Indonesia? Sementara atas dalih praktik wakaf, pada tahun 1960an justru digunakan untuk menangkal agenda reforma agraria oleh elit pemilik lahan. Benturan antara tuntutan agenda reforma agraria dan praktik wakaf pada masa-masa awal penerapan UUPA dan UUPBH telah menjadi salah satu bentuk ketegangan antara elit Islam pemilik lahan (wakif) dan petani-petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Achdian, 2008). Pertanyaan berikutnya adalah apakah ide wakaf agraria mampu bertahan di tengah menguatnya privatisasi tanah yang bahkan tidak terjangkau oleh UU Pokok Agraria seperti Sultan Ground atau Pakualaman Ground yang menimbulkan masalah (Kompas2013). Sebelum menjawab itu, pada catatan diskusi ini, saya ingin merefleksikan sejumlah hal yang tersirkulasi dalam perbincangan (4/5) bersama Mas Muhammad Shohibuddin, penulis buku Wakaf Agraria; Signifikansi Wakaf bagi Agenda Reforma Agraria (diterbitkan Baitul Hikmah, 2019).  

Problem kontemporer mengenai konversi lahan pertanian menjadi landas bagi pemukiman berbiaya tinggi atau program mega-infrastruktur yang dilatari oleh nalar komodifikasi dan privatisasi telah menjadi ancaman serius bagi reforma agraria. Dalam paradigma negara neoliberal, tanah adalah urusan privat yang dapat diubah menjadi instrumen transaksi politik dan ekonomi. Konsekuensinya kelompok kelas bawah dipastikan absen dari kontestasi perjuangan atas ruang hidup. Berdasarkan data BPS tahun 2014, Jumlah petani yang menggarap lahan di bawah satu hektare terus menurun selama interval 2003 hingga 2013, mencapai 5 juta petani. Sedangkan perebutan tanah dalam skema akumulasi aset terjadi pada penguasa lahan di atas 1 hektare, jumlah pemilik lahan di atas 3 hektare bahkan meningkat hingga 22,81%. Artinya sederhana, jumlah petani gurem semakin sedikit, beralih ke sektor informal dan rentan lain. Sedangkan penguasa lahan yang besar semakin menguatkan monopoli atas kepemilikan tanah. Kepastian-kepastian atas tanah menjadi sedemikian rawan. Bahkan dalam konteks tanah-tanah super-privat yang bahkan dilegalisasi oleh negara melalui skema perundang-undangan, terus menerus memastikan bahwa monopoli tanah tak bisa dibendung.

Ide wakaf agraria harus dicatat berlaku dalam konteks komunitas yang dijamin dalam peraturan setara dan bebas dari kondisi di mana tanah super-privat berlaku sebagaimana di Yogyakarta. Tanah super-privat ini dikelola oleh swasta yang tidak terjangkau oleh instrumen nasional apa pun. Kus Sri Antoro aktivis Agraria, berkomentar “sangat berbahaya perusahaan [penguasa lahan] yang sebetulnya publik tapi berperilaku seolah-olah privat, daripada yang privat tapi seolah-olah publik”. Pernyataan Mas Kus ini bisa dilacak dan dibaca lebih lanjut di artikelnya Pada Mulanya adalah Dusta (2016). Wakaf Agraria, kendati tidak dapat menyentuh secara komprehensif persoalan ekslusi tanah, memberikan harapan dalam sisi yang berbeda dari praktik pembaruan agraria. Ide wakaf agraria ini secara spesifik ditujukan untuk praktik wakaf tanah di area pedesaan yang seringkali menghadapi ekspansi ekonomi elit perkotaan dan kegamangan merespon kebijakan nasional yang berdampak terhadap ruang penghidupan ekonomi masyarakat pedesaan.

Ada empat kasus praktik wakaf agraria yang dibahas oleh Shohibuddin. Pertama, praktik wakaf ahli (privat) di Tuban Jawa Timur di mana penerima wakaf terdiri dari anggota keluarga besar dan organisasi paguyuban keluarga besar. Wakaf ini terdiri atas hak garap lahan sawah dan hak atas hasil bersih pengelolaan dan pengembangna tanah wakaf. Hak garap lahan diberikan untuk anggota keluarga besar yang membutuhkan akses lahan. Sedangkan hasil bersih dari menggarap lahan sawah tersebut salah satunya diperuntukkan bagi anggota keluarga besar yang membutuhkan dana pendidikan.

Kedua, di Jombang Jawa Timur, jenis wakaf adalah perpaduan antara wakaf ahli (privat) dan wakaf khayri (publik). Kasus wakaf ini dimaksudkan untuk mencakup dua tujuan sekaligus, yakni untuk generasi keturunan pemberi wakaf (wakif) dan pembiayaan sarana aktivitas keagamaan publik seperti Masjid. Pembagian manfaat dari wakaf ini adalah 60% bagi penggarap lahan sementara sisanya menjadi hak masjid.

Ketiga, praktik wakaf lembaga yang diinisiasi oleh Rumah Wakaf di Cikadongdong, Pandeglang, Banten. Wakaf ini termasuk jenis wakaf khayri. Wakifnya adalah publik yang diperantarai oleh inisiatif lembaga Rumah Wakaf, dikenal dengan strategi crowd funding. Rumah Wakaf menginisiasi program Kavling Wakaf Kebun Abadi, dengan paket wakaf per kavling untuk setiap 9 m2 seharga Rp. 450.000. Posisi lembaga menjadi penerima wakaf (nazhir). Peruntukan manfaat wakaf adalah dana sosial bagi masyarakat di sekitar lokasi lahan garapan kebun.

Keempat, adalah praktik “hutan wakaf” yang diinisiasi oleh komunitas pencinta alam untuk menyelamatkan lahan kritis di Jantho, Aceh Besar. Praktik wakaf ini berujuan untuk mengkonservasi hutan. Pada mulanya, wakif dalam hutan wakaf ini adalah jejaring komunitas, kemudian merambah ke dalam bentuk penggalangan dana publik. Hal penting yang perlu dicatat dari hutan wakaf ini adalah pemaknaan kembali “manfaat” dalam kosakata wakaf. Manfaat di sini berkonotasi ekologis, yakni “berfungsi secara ekologis, baik sebagai sumber mata air, maupun sebagai penyerap karbon, tempat bersarangnya burung-burung, lebah madu, primata dan species lainnya” (lihat di hutan-tersisa.org). Manfaat lain adalah tersedianya sumber daya non-kayu yang dapat digunakan kembali oleh masyarakat sekitar. Selain itu, terbukanya kesempatan untuk bekerja musiman.

Berdasarkan keempat praktik wakaf tersebut, Shohibuddin menyatakan terdapat tujuh signifikansi wakaf dalam kontribusi lahan agraria dan menyumbang solusi atas krisis lahan di pedesaan. Pertama, jaminan akses tanah bagi penerima manfaat tanah wakaf (kasus Tuban). Jaminan akses ini berupa hak garap lahan yang bersesuaian dengan ketentuan dalam ikrar wakaf. Pengertian jaminan akses ini dapat diperluas maknanya menjadi teraksesnya kembali sumber-sumber penghidupan yang penting bagi komunitas masyarakat sekitar. Kedua, tersedianya manfaat lain mencakup kesempatan memperoleh bentuk-bentuk ketahanan hidup seperti pekerjaan, bagi hasil, penggunaan hasil lahan atau hutan non-kayu, dan lain sebagainya (kasus Tuban, Pandeglang, dan Aceh Besar). Ketiga, jaminan modal produksi bagi penerima wakaf (kecuali di Jombang). Keempat, meskipun tidak semuanya, tapi bantuan sosial juga mencakup signifikansi dalam wakaf jika tertuang dalam ikrar wakaf sebagaimana di Tubang dan Pandeglang. Kelima, pencegahan pelepasan dan penguasaan lahan (untuk semua kasus). Keenam, pencegahan alih fungsi lahan (untuk semua kasus). Dan terakhir, menyediakan jasa lingkungan sebagaimana dalam kasus di Aceh Besar.

Dalam kasus dan signifikansi wakaf agraria, kita melihat bahwa praktik ini sangat bergantung dari visi agroekologis yang dimiliki oleh wakif. Peruntukan wakaf tanah sangat bergantung dari ikrar wakaf, karena semua kesepakatan dan unsur-unsur signifikansi wakaf bagi agenda reforma agraria akan sangat bergantung dalam ikrar. Sebagaimana dapat diperhatikan, hanya untuk kasus Tuban, wakaf agraria mencapai enam dan tujuh indikator signifikan. Kasus pandeglang mencapai lima dari tujuh indikator. Jombany hanya dua dari tujuh indikator. Pengecualian untuk kasus di Aceh besar yang memang ditujukan untuk model wakaf ekologis, di mana asas manfaat ekonomi bukan merupakan orientasi utama. Wakaf hutan di Aceh justru memberi peluang untuk mendefinisikan ulang aspek manfaat ekonomi yang pada umumnya menjadi indikator penting dalam skema-skema program wakaf produkfif. Memang perlu dibahas apakah wakaf produktif (yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia) dapat dianggap setara dengan wakaf ekologis yang bertujuan untuk mengembalikan faktor-faktor penunjang kehidupan seperti udara bersih, sumber air, dan ketahanan plasma nutfah.

Wakaf agraria memang tidak menjangkau problem pelik pertanahan yang digerus oleh kehendak eksploitasi dan monopoli. Wakaf agraria memberikan pilihan lain cara mendistribusikan lahan dengan maksud mencegah fragmentasi dan alih fungsi lahan. Tawaran penting Shohibuddin dalam buku ini mencakup tujuh tawaran model wakaf dalam rangka reforma agraria; (1). Model Kontra-fragmentasi; (2). Model Konsolidasi; (3). Model donor utama; (4). Model crowd funding; (5). Model integrasi dengan land reform by leverage; (6). Model tanah wakaf desa; (7). Model integrasi dengan land reform pemerintah. Ketujuh model ini berupaya untuk memperjelas penerima manfaat lahan wakaf. Terutama para petani miskin atau warga desa yang sangat terbatas akses aktivitas ekonomi produktif. Wakaf agraria dalam konteks pedesaan ini berupaya untuk memastikan bahwa aset tanah desa tetap dapat dijangkau oleh warga desa dan tetap berfungsi sebagai sumber penghidupan ekonomi. Ketujuh model ini berupaya membentengi tanah-tanah desa dari alih fungsi lahan oleh aktor perkotaan yang sama sekali tidak terhubung dengan ekosistem desa atau hajat kehidupan ekonomi warga desa.

Bagikan yuk

Fauzan A Sandiah