Ulasan Buku Laskar Jihad Noorhaidi Hasan

Tak boleh buru-buru. Kita sudah dua puluh tahun berhadapan dengan fenomena radikalisme keagamaan. Selama itu pula ada banyak pilihan perspektif. Jika awal-awal geger terorisme kita banyak memakai kacamata pentagon. Sekarang ada banyak kacamata lain yang bisa digunakan. Semuanya supaya kita bisa mengambil sikap yang tepat. Supaya empati kita solutif.
Salah satunya bisa kita temukan di buku ini. Memang buku lama. Terbit dua belas tahun lalu. Tapi kaya data etnografis. Noorhaidi Hasan, si penulis, adalah guru saya di program doktor. Pernah dimentori riset selama setengah tahun. Di bawah bimbingan Prof. Noorhaidi, kami diajari bersikap hati-hati.
Inti buku ini adalah soal salafisme. Kemarin kita mendengar bahwa salafisme dan wahabisme jadi kambing hitam terorisme. Apakah sesederhana itu? Apakah karena mengamalkan doktrin salafi, potensial jadi teroris? Kedengaran klise. Tapi inilah yang terus menerus kita konsumsi dari media. Oleh karenanya kampanye antiterorisme kita bagai memukul angin. Yang kita pukul tak jelas bentuknya.
Ada satu syarat untuk mengubah suatu ideologi menjadi kekerasan yaitu mobilisasi politik. Tanpa mobilisasi, apa artinya ideologi. Misalnya salafi, hanya akan jadi tata cara menuju suatu nilai ideal moral: cara berpakaian, makan, minum atau berdagang. Tanpa mobilisasi, ideologi hanya akan tampak sebagai simbol. Misalnya bersorban, mengucap takbir atau memanggil orang lain dengan sebutan akhi ukhti.
Kalau pun ada kekerasan yang muncul dari sini, itu adalah ekspresi pandangan dunia moral yang hitam-putih. Tak unik pada satu ideologi. Tapi ada pada semua pandangan moral. Namanya diferensiasi. Suatu ideologi selalu ingin menampakkan perbedaan. Ketika menampilkan perbedaan, muncul diskriminasi.
Di dunia muslim, salafi adalah ideologi yang mengurangi kontak dengan dunia modern. Jika kita melihat pengikut salafi. Mereka pada dasarnya komunitas yang bicara terus menerus mengenai cara makan ala rasullullah atau sunnah apa saja yang perlu dilakukan. Hari-hari mereka diisi untuk merampungkan kesalehan pribadi. Mereka berulang-ulang mengkhatamkan al-Qur’an untuk menambah tabungan pahala. Yang mereka pikirkan adalah mengurangi dosa dan memperbanyak amalan baik.
Kita bisa lihat literatur keagamaan salafi. Sebagian besar tentang sunnah. Mereka adalah orang-orang yang mencari inspirasi dari para generasi terdahulu yang mereka anggap layak diteladani. Mereka tak begitu peduli dengan dunia ini. Memang ada ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Tapi itu pengertiannya begitu sempit. Sebatas menasehati pemabuk dan rentenir.
Gagasan salafi sudah ada lama di peradaban Islam. Pada awalnya ini adalah respon atas ortodoksi Islam yang terlalu dekat dengan negara dan akhirnya mengalami ketertinggalan. Maka salafi adalah gagasan pinggiran. Tak begitu dilirik karena pasif melihat dunia.
Jadi bagaimana salafi berubah jadi salafisme? Bagaimana salafi apolitis berevolusi menjadi aktivisme jihadis. Salafi yang pada mulanya pasif dan cuek dengan perkembangan dunia, tiba-tiba jadi peduli pada arah gerak dunia dan bermaksud mengubahnya.
Kunci penting evolusi ini ada pada mobilisasi politik salafi di Indonesia. Mobilisasi itu melibatkan dua aktor lain di luar aktivis salafi. Pertama adalah elit militer dan elit sipil. Kedua adalah pimpinan muslim garis keras. Aktivis salafi ada di antara dua aktor ini.
Jadi total ada tiga aktor di balik aktivisme jihadis. (1) militer dan elit sipil, (2) aktivis salafi, (3) pimpinan muslim garis keras. Masing-masing punya peran. Militer dan elit sipil bertugas mengkerangkai opini publik. Aktivis salafi memilih isu spesifik jihad (misalnya jihad di Maluku). Dan pimpinan muslim garis keras bertugas memproduksi pengetahuan tentang wacana jihad.
Rincian siapa saja yang terlibat untuk masing-masing aktor bisa dibaca sendiri di buku ini. Terlalu riskan mencantumkan di media sosial. Utamanya aktor elit militer.
Membaca buku ini ada tiga simpulan. Pertama, ekspresi radikalisme keagamaan di ruang publik selalu menguat menjelang pemilu. Kedua, bagian penting suksesi jihadisme selalu terkait dengan militer dan elit sipil. Ketiga, wacana yang mempertemukan kepentingan tiga aktor itu adalah ancaman komunisme.