Ulasan Buku “Bumi Yang Tak Dapat Dihuni”

 Ulasan Buku “Bumi Yang Tak Dapat Dihuni”

Ini buku tentang kesempatan umat manusia. Belum terlambat. Masih ada jalan. Harapan memperbaiki keadaan. Meski bersifat taruhan. Masa depan bumi bisa membaik atau memburuk. Tak ada yang tahu. Bencana akibat krisis lingkungan bisa mengerikan sejak awal. Atau tertunda karena kita semua bergerak mengeremnya.

David Wallace-Wells sebagai penulis berupaya jujur, jernih dan gigih. Bahwa ketidakpastian akan berakhir seperti apa bumi yang kita tinggali bukan tantangan utama.

Tapi justru ketidakpastian dan ketidakjelasan tindakan manusia. Apa yang akan dilakukan. Seberapa besar kemauan. Di situlah tantangan sebenarnya.

Maka Wells beda dengan penulis lain. Dia menganggap cara pandang antropik bisa berguna. Jika digunakan dengan benar. Misalnya karena manusia menganggap dirinya maha penting, maka manusia berpotensi makin sadar betapa krusial tindakannya.

Jadi anggapan bahwa manusia itu istimewa bisa diubah menjadi narsistik atau heroistik. Beda tipis. Tapi berdampak berbeda. Yang pertama merasa diri pusat perhatian dan oleh karenanya merasa istimewa. Yang kedua menganggap dirinya istimewa karena berada di pusat perhatian.

Ketika buku ini saya beli. Tawaran kaidah antropik Wells agak membingungkan. Mungkin mengkhawatirkan. Karena selama ini saya belum pernah tahu ada gugatan halus dan jernih pada kaidah ekosentrisme.

Bagi banyak pegiat lingkungan, kaidah antropik sudah berakhir. Karena dianggap jadi filosofi hidup manusia modern yang angkuh dan tak tahu diri.

Wells tentu saja tak begitu yakin pada kaidah antropik. Dia cuma mengajak kita menimbang realistis. Jika manusia memandang dirinya pusat alam semesta. Dan karena itu jadi landasan dirinya mengeksplotasi alam. Maka seharusnya cara pandang yang sama dapat digunakan untuk mendorong manusia melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi.

Persis itulah mengapa Wells blak-blakan pada sidang pembaca. Ia tak bermaksud menyembunyikan bau busuk ancaman kepunahan. Tapi ia menunjukkan pada pembaca bahwa inilah yang akan kita hadapi. Terima atau tidak.

Kita sebagai manusia akan hidup dalam penderitaan akibat kelakuan kita sendiri. Dimulai dari kerusakan empat elemen fundamental kehidupan bumi. Udara, air, tanah dan api. Menjelma jadi panas maut, banjir, krisis pangan dan kebakaran.

Wells tak menghardik siapa pun. Ia bermaksud optimis secara seimbang. Bahwa manusia pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Dan ia tidak ingin pembacanya berubah jadi kaum nihilis. Dia tak ingin kita pasif. Dia ingin kita melakukan sesuatu. Karena kalau kita bisa merusak. Kita pasti bisa memperbaiki.

Sepanjang buku Wells berusaha supaya pembaca tak berilusi. Bahwa bumi ini masih lestari dan masih kaya. Padahal tidak. Kenyataan yang harus dihadapi adalah bumi sudah menjadi separuh neraka dan tanpa ada sisa untuk generasi berikut.

Wells mungkin berharap kaidah antropik membuat manusia tak pusing tentang kebenaran kerusakan lingkungan. Karena masalahnya tidak di sana. Masalahnya ada pada manusia itu sendiri.

Ilmu pengetahuan bertaruh reputasi sebagai kreasi manusia berabad-abad. Banyak prediksi akan seperti apa situasi iklim kita sekarang dan nanti. Mungkin beberapa prediksi keliru. Atau prediksi justru terlampau meremehkan dampak besar. Sains begitu terbatas. Butuh waktu, kerja keras dan modal.

Betapa pun pencapaian sains. Tidak akan pernah selalu berhasil mengetuk hati semua orang. Ada yang akan tetap bersikeras bahwa kerusakan lingkungan hanya konspirasi. Ada yang tetap menganggap kiamat lingkungan itu sudah begitu adanya. Atau ada yang akan tetap menganggap bahwa melindungi lingkungan bukan urusannya.

Ketika Wells menulis buku ini, anaknya bernama Rocca baru saja lahir. Ia optimis. Punya anak saat krisis iklim sah-sah saja. Meski tak menampik gambaran terburuk suasana bumi kelak. Apa pun itu. Wells sedang bertaruh. Dan saya kira kita semua. Apakah melanjutkan memberi neraka pada generasi berikutnya. Atau membuat jejak agar tak putus harapan.

 

Bagikan yuk

Fauzan A Sandiah