Proyek PLTU Cirebon: Bacaan Pegiat Lingkungan Muda

 Proyek PLTU Cirebon: Bacaan Pegiat Lingkungan Muda

Sumber: rumah baca komunitas

Oleh: Muhammad Andhika Sukma Putra dkk


Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia kerap diklaim sebagai teknologi penyedia listrik yang efisien dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Dengan biaya produksi yang relatif lebih murah dibandingkan sumber energi lainnya, PLTU berbasis batu bara telah menjadi bagian dari rezim ekstraktif yang mapan di Indonesia. Menurut laporan Mongabay.co.id, dalam Rencana Pengembangan Pembangkit Listrik 2018–2027, kapasitas PLTU diproyeksikan meningkat hingga 26.807 megawatt. Pada tahun 2025, batu bara bahkan diperkirakan masih mendominasi bauran energi nasional sebesar 54,5%, jauh di atas energi terbarukan (23%), gas (22,2%), dan bahan bakar minyak (0,4%).

Peningkatan penggunaan batu bara ini membawa konsekuensi sosial dan ekologis yang signifikan. Berbagai studi mencatat bahwa ekspansi industri batu bara sering kali menimbulkan dampak serius seperti hilangnya lahan pertanian, kerusakan ekosistem laut, pencemaran lingkungan, serta meningkatnya penyakit pernapasan akibat emisi PLTU yang berdekatan dengan permukiman warga—bahkan dalam kasus ekstrem dapat menyebabkan kematian (Ulifyanti et al., 2021). Selain itu, keberadaan PLTU juga memperburuk kondisi ekonomi masyarakat pesisir; aktivitasnya menambah kesulitan bagi para nelayan tanpa memberikan peningkatan yang berarti terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar (Syatori, 2014).

Lebih lanjut, penggunaan batu bara sebagai sumber energi menimbulkan persoalan lingkungan serius, terutama dari limbah hasil pembakaran berupa abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) atau FABA. Di Cirebon, misalnya, citra satelit penginderaan jauh menunjukkan adanya perubahan kualitas udara yang signifikan akibat aktivitas pembakaran batu bara di PLTU setempat. Meskipun menjadi sumber energi, kehadiran PLTU tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga menimbulkan dampak negatif akibat pengelolaan lingkungan yang lemah. Pembuangan limbah industri menyebabkan pencemaran udara dan air laut, merusak ekosistem pesisir, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Pembangunan PLTU Cirebon sendiri merupakan salah satu proyek jaringan listrik yang dikelola sektor swasta untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat (Prakoso et al., 2016). Dalam prosesnya kini, Ekspansi PLTU Cirebon Unit II dengan kapasitas 1 × 1.000 megawatt di bawah PT Cirebon Energi Prasarana dilakukan untuk mendukung program pemerintah dalam percepatan pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (Nurhadi et al., 2020). rencana penambahan kapasitas hingga 35.000 MW di PLTU Cirebon menimbulkan polemik baru, buntut dari perluasan area proyek merambah ke lahan pertambakan yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga. Meskipun masyarakat hanya memiliki hak guna, perlawanan sosial tidak dapat dihindarkan. Mereka menuntut ganti rugi yang adil secara sosial dan ekologis atas perampasan lahan serta pencemaran lingkungan (Salam, 2023).

Sebagai respons terhadap berbagai dampak tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut. Pemerintah misalnya telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan limbah batu bara melalui regulasi Nomor: 660/07/19.1.05.0/DPMPTSP/2017 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan Pra-operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kapasitas 1 × 1.000 MW Cirebon oleh PT Cirebon Energi Prasarana. Selain itu juga pihak PLTU Cirebon Unit II telah melakukan stimulus sosial untuk meningkatkan peluang usaha dan perubahan pendapatan masyarakat. Akan tetapi, langkah – langkah tersebut tidak sepenuhnya menjawab persoalan utama.

Bahkan dalam prakteknya hingga kini, PLTA Cirebon justru sangat jauh dalam menerapkan nilai-nilai Sustainable Development Goals (SDGs), terutama pada aspek kesejahteraan, pembangunan berkelanjutan, dan pelestarian sumber daya alam. Selain itu, dalam beberapa temuan lain, pembangunan PLTU Cirebon ini juga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah sebagaimana diatur dalam Perda, dan proses penyusunan dokumen AMDAL dinilai tidak melibatkan masyarakat secara memadai (Adharani, 2017). Tidak heran kemudian berbagai dampak sosial, ekologis, dan tata ruang muncul sekaligus menegaskan perlunya kebijakan yang tegas dan efektif dari pemerintah untuk menangani guna melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Ekologi Politik dan PLTU Cirebon

Ekologi politik merupakan pendekatan analitis yang mempelajari persoalan lingkungan dalam kaitannya dengan faktor sosial, ekonomi, dan politik. Pendekatan ini menyoroti bahwa kerusakan lingkungan bukanlah proses alami semata, melainkan hasil dari interaksi dan perebutan kepentingan antaraktor, seperti negara, korporasi, dan masyarakat lokal.

Dalam kerangka teoretisnya, Robbins (dalam Syatori, 2018) mengidentifikasi empat tema utama dalam ekologi politik: (1) degradasi dan marginalisasi, yakni kerusakan lingkungan yang disertai keterpinggiran masyarakat; (2) konflik lingkungan, akibat perebutan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam; (3) konservasi dan kontrol, yang menyoroti lemahnya partisipasi masyarakat dalam kebijakan konservasi; serta (4) identitas lingkungan dan gerakan sosial, yang berfokus pada perjuangan politik masyarakat dalam mempertahankan ruang hidup.

Afiff (2022) menambahkan bahwa eksploitasi sumber daya alam dalam konteks kapitalisme global menjadikan alam sebagai objek komodifikasi. Negara dan korporasi berkolaborasi melalui kebijakan dan regulasi yang memberi mereka akses terhadap sumber daya, sementara masyarakat lokal sering kali termarginalisasi. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga merupakan arena politik yang sarat ketimpangan kekuasaan.

Kasus PLTU Cirebon dapat dibaca melalui lensa ekologi politik ini. Pembangunan PLTU memang diharapkan membawa manfaat ekonomi seperti lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah, tetapi justru melahirkan kerusakan ekologis, gangguan kesehatan, dan ketimpangan sosial yang lebih dalam. Dengan demikian, masalah PLTU tidak dapat dipahami semata sebagai isu lingkungan, melainkan sebagai hasil dari relasi kuasa yang timpang antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal.

PLTU dan Peracunan Warga

Sebelum berdirinya PLTU Cirebon, masyarakat setempat menggantungkan hidup dari lahan pertambakan yang digunakan untuk memproduksi garam, ikan, dan udang. Namun, sejak PLTU beroperasi, limbah FABA mencemari perairan laut, menyebabkan ladang garam menghitam dan hasil tambak menurun drastis.

Film dokumenter Sexy Killers karya Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta mencatat bahwa lebih dari seratus petani tambak tergusur akibat proyek ini. Proses pelepasan lahan berlangsung di bawah tekanan dan intimidasi—akses air dan jalan ditutup, bahkan melibatkan preman sebagai alat pemaksa. Akibatnya, masyarakat kehilangan sumber penghidupan dan menghadapi risiko penyakit pernapasan akibat limbah udara. Hingga Juni 2021, tercatat 2.241 warga mengidap gangguan pernapasan, di luar 1.119 kasus serupa sebelumnya (Bhawono, 2021).

Selain itu, nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan ikan akibat pencemaran laut dan bocoran cairan batu bara dari tongkang pengangkut. Kondisi udara yang panas dan pertumbuhan anak-anak yang terhambat menjadi dampak tambahan yang dirasakan warga (Nugraha, 2016). Padahal, lokasi pembangunan jetty PLTU merupakan area tangkap tradisional yang berjarak sangat dekat dengan permukiman.

Secara regulatif, Permen LH No. 4 Tahun 2012 menetapkan jarak minimal antara lokasi tambang batu bara terbuka dan permukiman sejauh 500 meter (Wahyu Sabubu, 2020). Namun, menurut Greenpeace Asia Tenggara, jarak antara PLTU Cirebon dan permukiman bahkan tidak mencapai batas tersebut (Ivansyah, 2010). Situasi ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum lingkungan dan ketiadaan perlindungan efektif bagi warga.

Minimalisme Peran Pemerintah

Pembangunan PLTU Cirebon menimbulkan beragam respons masyarakat—antara dukungan terhadap pembangunan ekonomi dan penolakan atas kerusakan lingkungan. Pemerintah, yang seharusnya menjadi aktor utama dalam pengawasan dan penataan ruang, justru sering tampil minimalis: lebih berperan sebagai fasilitator investasi ketimbang pelindung kepentingan publik (Adharani, 2017).

Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menekankan pentingnya partisipasi masyarakat, implementasinya masih bersifat formalitas. Partisipasi publik kerap bersifat simbolik dan tidak berdampak nyata pada keputusan pembangunan. Padahal, keterlibatan masyarakat secara substantif merupakan syarat utama bagi pengelolaan lingkungan hidup yang adil, berkelanjutan, dan demokratis (Novindri et al., 2020).

Kasus PLTA Cirebon menunjukkan minimnya peran negara atau pemerintah melalui sikap permisif atas berbagai bentuk pelanggaran Undang-undang yang tidak dipenuhi. Selain itu dalam keadaan ini mempertegas posisi negara yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi melalui narasi pembangunannya, daripada dampak yang diderita oleh masyarakat dan kerusakan ekosistem yang lebih besar. Masalah ini menambah catatan buruk dari pemerintahan sebagai institusi yang tidak pernah konsisten membela dan setia pada nilai – nilai ekologis dan keberlangsungan lingkungan.

Catatan Penutup

Pembangunan PLTU Cirebon memperlihatkan bahwa proyek energi fosil berskala besar tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga krisis sosio-ekologis yang kompleks. Dampak negatifnya meluas—dari pencemaran udara dan air, hilangnya ruang hidup masyarakat pesisir, hingga meningkatnya penyakit pernapasan. Situasi ini menuntut perubahan paradigma pembangunan energi yang menempatkan keadilan ekologis dan partisipasi warga sebagai fondasi utama dalam setiap kebijakan pembangunan.

Daftar Pustaka

Adharani, Y. (2017). Penaatan dan Penegakan Hukum Lingkungan pada Pembangunan Infrastruktur dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus Pembangunan PLTU II di Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon). PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 4(1), 61–83. https://doi.org/10.22304/pjih.v4n1.a4

Afiff, S. (2022). Antropologi dan Persoalan Perubahan Iklim: Perspektif Kritis Ekologi Politik. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 24(1), 109. https://doi.org/10.25077/jantro.v24.n1.p109-118.2022

Anggara, F., Sutresno, V., Sujoto, H., Christ, I. W., Herman, W., Astuti, W., Sumardi, S., Satria, I., Putra, R., Putra, A. D., Tri, H., & Murti, B. (2022). Pengaruh penambahan fly ash PLTU Cirebon dan temperatur pengeringan terhadap kuat tekan material konstruksi beton high volume fly ash ( HFVA ). 16. https://doi.org/10.22146/jrekpros.77825

Bhawono, A. (2021). Segudang Masalah di Sekitar Tetangga PLTU. Betahita.

Dede, M., Widiawaty, M. A., Nurhanifah, N., Ismail, A., Artati, A. R. P., Ati, A., & Ramadhan, Y. R. (2020). Estimasi Perubahan Kualitas Udara Berbasis Citra Satelit Penginderaan Jauh Di Sekitar PLTU Cirebon. Jambura Geoscience Review, 2(2), 78–87. https://doi.org/10.34312/jgeosrev.v2i2.5951

Ivansyah. (2010). Greenpeace: PLTU Ancam Lingkungan dan Kesehatan. Tempo.

Novindri, M. R., Hidayani, S., & Lubis, E. Z. (2020). Application of Law No. 32 of 2009 in Processing of Liquid Waste in Javanese Tofu Trading Enterprises (Case Study at the Factory to Know Javanese Trading Business). Jurnal IImiah Hukum, 2(1), 60–67.

Nugraha, I. (2016). Begini Nasib Nelayan yang Bertetangga dengan Pembangkit Listrik Batubara di Cirebon. Mongabay.

Prakoso, B. A., Rostyaningsih, D., Marom, A., Publik, J. A., Diponegoro, U., Profesor, J., Soedarto, H., & Dampak, E. (2016). EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP ( PLTU ) TANJUNG JATI B di DESA TUBANAN KECAMATAN KEMBANG KABUPATEN JEPARA. Juournal of Public Policy and Management Review, 5(2), 1–14. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/10898

Putra, A. D., Putra, I. S. R., & Cahyono, R. B. (2023). Pemanfaatan Sludge Ash Pond PT. Cirebon Electrical Power (CEP) sebagai Bahan Bakar Alternatif. Eksergi, 20(2), 95. https://doi.org/10.31315/e.v20i2.9845

Salam. (2023). PLTU Cirebon di Mata Warga Terdampak: Kisah dari Tapak Ring 1. Laut Sehat.ID. https://lautsehat.id/humaniora/salam/pltu-di-mata-warga-terdampak-kisah-dari-tapak-ring-1/

Sumarwoto, O. (2022). Otto Sumarwoto, Ekologi Lingkungan dan Pembanguan, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm.41 1) 1. 1–32.

Syatori, A. (2014). Ekologi Politik Masyarakat Pesisir (Analisis Sosiologis Kehidupan Sosial-ekonomi dan Keagamaan Masyarakat Nelayan Desa Citemu Cirebon ). Jurnal Holistik, 15(2), 241.

Syatori, A. (2018). EKOLOGI POLITIK MASYARAKAT PESISIR CIREBON; Sketsa dari Desa Citemu Kecamatan Mundu. JURNAL YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama Dan Kemanusiaan, 4(1). https://doi.org/10.24235/jy.v4i1.3190

Wahyu Sabubu, T. A. (2020). Pengaturan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara Di Indonesia Prespektif Hak Atas Lingkungan Yang Baik Dan Sehat. Jurnal Lex Renaissance, 5(1), 72–90. https://doi.org/10.20885/jlr.vol5.iss1.art5

Waluyo, D. (2018). Jadikan PLTU Ramah Lingkungan, Ini Yang Dilakukan PLTU Cirebon.

Zellatifanny, C. M., & Mudjiyanto, B. (2018). Tipe Penelitian Deskripsi Dalam Ilmu Komunikasi. Diakom : Jurnal Media Dan Komunikasi, 1(2), 83–90. https://doi.org/10.17933/diakom.v1i2.20

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *