Press Release Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah Se-Indonesia

 Press Release Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah Se-Indonesia

Sumber: Rumah Baca Komunitas

Pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah

Pertambangan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan yang bertujuan untuk memperoleh barang tambang dan keuntungan. Dalam segi kemasyarakatan dan ekologinya, aktivitas pertambangan seringkali menimbulkan masalah konflik, baik itu konflik antara masyarakat dengan pelaku usaha tambang (perusahaan) maupun masyarakat dengan pemerintah. Aktivitas pertambangan tentunya memiliki resiko terhadap rusaknya lingkungan yang akan berdampak kepada rusaknya ekosistem dan lingkungan di sekitar area pertambangan. Aktivitas pertambangan juga beresiko terhadap lingkungan sosial, karena aktivitas pertambangan ini sering menimbulkan suatu konflik. Konflik di wilayah pertambangan memiliki kaitannya dengan lahan (lahan yang dikhususkan bagi hutan atau kawasan lindung) dan adanya ketidaksetujuan dari masyarakat terkait aktivitas pertambangan. Masyarakat kurang setuju dengan keputusan atau kebijakan pemerintah terkait merubah kawasan lindung menjadi kawasan pertambangan. Selain itu, masyarakat juga merasa dirugikan atau mengalami ketidakadilan dalam segi menerima keuntungan dan tenaga kerja pada aktivitas pertambangan. Aktivitas pertambangan juga seringkali mengakibatkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dimana aktivitas pertambangan tersebut tidak memperhatikan ketentuan hukum lingkungan. Problem aktivitas dan pengelolaan pertambangan memang telah menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi dunia secara global, tidak terkecuali Indonesia. Berdasarkan kajian kami secara burhani, setidaknya ada empat masalah pokok yang disebabkan oleh problem pertambangan ini.

1. Aktivitas Pertambangan Menyebabkan Kerusakan Lingkungan Dengan Tingkat Yang Cukup Parah.

Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang berlebihan, eksploitatif dan tidak memperhatikan reklamasi baik ketika proses pertambangan dan pasca pertambangan, menyebabkan kerusakan alam yang kian hari kian bertambah. Salah satu dampak nyata dari ini adalah terjadinya deforestasi di banyak tempat. Di Indonesia, ekspansi pertambangan batu bara di berbagai daerah menyebabkan hutan alam terus rusak bahkan hilang. Sebagai contoh, ekspansi pertambangan nikel di Sulawesi telah menyebabkan deforestasi yang mencapai 723 ribu hektare sepanjang 18 tahun terakhir sejak 2010-2019. Begitu pula di Maluku Utara yang menyebabkan hilangnya kawasan hutan lebih dari 213.960 hektare. Di Pulau Rupat, Riau, ekspansi pertambangan laut ternyata menghancurkan wilayah pesisir dan laut karena mengakibatkan abrasi (pengikisan batuan oleh air, es atau angin yang mengandung dan mengangkut hancuran bahan). Selain kerusakan hutan, deforestasi juga menyebabkan keanekaragaman hayati, baik itu flora maupun fauna terancam punah. Akibat susulan lainnya adalah bencana ekologis seperti banjir dan longsor. Berdasarkan data resmi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari tahun 2000-2019, bencana ekologis telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang dan lebih dari 30 juta orang terpaksa mengungsi. Sangat dimungkinkan angka ini semakin tinggi di rentan waktu 2020-2023. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan juga mengakibatkan terjadinya krisis iklim, penurunan kualitas udara, hingga penyakit yang berujung kepada kematian. Krisis iklim ini berakibat pada tenggelamnya wilayah pesisir dan pulau kecil karena percepatan kenaikan muka air laut. Dampak ini sudah jelas terlihat, misalnya, di Jawa bagian utara, dan Sumatra bagian barat di mana daratan sepanjang satu kilometer yang menjorok ke laut telah hilang. Hal ini tentu juga menjadi ancaman untuk masyarakat yang hidup di pesisir. Penurunan kualitas udara juga terjadi akibat dari aktivitas pertambangan. Di kotakota besar, tingkat polusi udara sering sekali melebihi ambang batas yang aman. Bahkan kualitas udara di Jakarta sempat menjadi kualitas udara yang terburuk di dunia. Kualitas udara yang buruk ini menyebabkan peningkatan risiko penyakit pernapasan, kardiovaskular, dan bahkan kematian dini.

2. Regulasi Yang Tidak Berasaskan Keadilan Dan Kemaslahatan.

Didapatinya beberapa regulasi terkait tambang yang justru bertentangan dengan asas keadilan dan kemaslahatan. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi hakikatnya menetapkan bahwa pengelolaan energi harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanfaatan, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional dan keterpaduan. Meskipun telah ada aturan tertulis seperti ini, pada praktiknya terjadi kesenjangan antara aktivitas pengelolaan pertambangan dengan prinsip-prinsip sebelumnya. Sayangnya, ditemukan beberapa aturan lain yang punya potensi untuk melegalkan tata kelola pertambangan yang negatif itu, misalnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. UU ini telah menghapus kewenangan Kabupaten/Kota untuk bisa mengelola pertambangan. Akibatnya kendali terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi akibat pertambangan tidak lagi bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah sebagai lokasi krisis itu terjadi. UU yang baru juga memberikan kemudahan atas kegiatan pertambangan dengan mengabaikan pemulihan kerusakan dalam kegiatan pertambangan. Hal ini karena pada Pasal 96 kewajiban reklamasi dan pasca tambang hanya menjadi kegiatan pilihan untuk dilakukan. Dengan demikian, kerusakan lingkungan pada nantinya tidak bisa dipidanakan. Akibat buruk ini sudah terjadi pada kasus tenggelamnya anak-anak di Samarinda yang telah disebut sebelumnya. Dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 162 juga disebutkan bahwa masyarakat yang mengganggu aktivitas perimbangan dalam bentuk apa pun bisa dilaporkan oleh perusahaan dan dapat dipidana serta denda 100 juta. Pasal ini juga memperlihatkan ketidakadilan karena membuka peluang kriminalisasi pihak-pihak yang memperjuangkan lingkungan. Padahal hal ini bertentangan dengan UUD Pasal 28H yang secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Bertentangan juga dengan UU Lingkungan Hidup Pasal 66 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa setiap pejuang lingkungan hidup atau masyarakat yang memperjuangkan kelestarian lingkungan tidak boleh dikriminalisasi baik pidana maupun perdata. Regulasi yang tumpang tindih dan tidak berkeadilan ini akhirnya berakibat pada sebagian besar kasus pelanggaran lingkungan yang dilaporkan tidak mendapat penyelesaian hukum yang memadai. Salah satu kasusnya adalah pelaporan pencemaran lingkungan yang terjadi di PLTU Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng Bali. Pada tahun 2022, warga setempat melaporkan kekhawatiran mereka kepada Gubernur dan Dinas Lingkungan Hidup terkait tumpahan batu bara muatan kapal. Berbagai bukti berupa dugaan pencemaran air laut hingga video telah diserahkan. Namun demikian, laporan tersebut tidak terselesaikan bahkan tidak tersampaikan sebagaimana mestinya.

3. Aktivitas Pertambangan Yang Tidak Memperhatikan Hak-Hak Masyarakat.

Aktivitas pertambangan yang ternyata merugikan warga masyarakat. Kegiatan pertambangan yang sejatinya diharapkan memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat, justru malah mendatangkan kerugian bahkan sampai menghilangkan mata pencaharian masyarakat. Di antara kasus-kasus yang sempat terekam di media massa, adalah penolakan atas kegiatan pembangunan PLTU yang ada di Banten di mana lebih dari 12.000 orang menandatangani petisi protes karena dikhawatirkan memperparah polusi dan kondisi kesehatan masyarakat serta menghilangkan potensi ekonomi daerah setempat. Ekspansi tambang batu bara di Kalimantan juga memicu isu pelanggaran HAM karena menggusur masyarakat adat yang tinggal di daerah setempat. Masyarakat yang melakukan tindak protes justru ditangkap dan diamankan aparat karena dianggap menghalangi kegiatan usaha pertambangan. Di beberapa desa kelurahan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat pembangunan batu bara yang mengganggu mata pencaharian masyarakat lokal sehingga menimbulkan konflik. Kegiatan tersebut mencemari kualitas air Sungai Pelay yang menjadi satu-satunya sumber pengairan pertanian warga setempat. Akibatnya, air tidak bisa lagi digunakan untuk mengairi tanaman, sehingga menyebabkan tanaman rusak dan gagal panen. Padahal 90 persen masyarakat setempat bermata pencaharian petani.

4. Tambang Yang Dijadikan Sebagai Alat Politik.

Praktik usaha pertambangan sebagai alat politik. Bukti real di lapangan mengenai hal ini bisa dilihat pada aktivitas pemilihan di berbagai tingkat. Sebagai contoh, secara kondisional, pemilihan kepala daerah memerlukan dana yang tidak sedikit. Hal itu menjadi cela para pemodal dan pebisnis tambang untuk ikut masuk mengintervensi. Dengan memberikan bantuan kepada pemilihan daerah, para pebisnis dan pemodal mengharapkan ada timbal balik, salah satunya dengan kelancaran izin-izin pertambangan. Korupsi politik pada kasus pertambangan juga terjadi tatkala otoritas kekuasaan politik memanfaatkan kewenangannya untuk memperbesar kekayaan dan mempertahankan kekuasaan dan status mereka. Dalam rangka itu, seringkali merancang regulasi dan kebijakan sesuai dengan kepentingan parsial. Pada akhirnya menyalahgunakan dan atau bahkan mengabaikan Undang-Undang dan regulasi lainnya. Termasuk di antaranya tindakan memanipulasi institusi politik dan prosedur sehingga memengaruhi pemerintahan dan sistem politik. Di antara aturan yang dikhawatirkan menjadi skenario politik tersebut adalah terbitnya UU Cipta Kerja, UU Nomor 3 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataaan Investasi yang dalam Pasal 3 butir e menyebutkan tentang pemberian fasilitas dan kemudahan perizinan berusaha bagi badan usaha milik desa/daerah, organisasi/kelompok masyarakat, usaha kecil menengah daerah, serta koperasi untuk mendapatkan peruntukan lahan. Melalui UU ini dikhawatirkan ada upaya menjadikan pertambangan sebagai “mahar politik” dan “proyek terima kasih” kepada beberapa pihak yang berpengaruh, termasuk di antaranya adalah ormas keagamaan. Padahal, pihak-pihak yang diberikan itu, belum tentu memenuhi syarat kompetensi untuk mengelola pertambangan dengan baik dan ramah lingkungan.

Hormat Kami,

Badan Eksekutif Mahasiswa

Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah Se-Indonesia

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.