Pohon-Pohon Berdoa Untuk Kita

Kyai Habib memimpin pesantren al-Imdad di Bantul, Yogyakarta. Murid-muridnya dikenal sebagai santri. Baginya, lingkungan hidup adalah praktik spiritual dan material sehari-hari. Ia mendorong para santrinya untuk selalu mengikuti amanat Allah untuk melindungi bumi, dan pada saat yang sama melibatkan mereka dalam program daur ulang serta proyek biogas skala kecil. Atas kerja kerasnya, ia dianugerahi penghargaan lingkungan provinsi yang bergengsi pada tahun 2020: Kalpataru DIY. Kyai Habib adalah seorang pemimpin agama yang patut dicontoh yang telah berhasil memobilisasi sumber daya untuk menghijaukan wilayah lokal di Indonesia. Masih banyak lagi tokoh-tokoh seperti beliau di luar sana, namun tidak sering muncul di media, baik media arus utama maupun media lainnya.
Keterlibatan kelompok-kelompok agama dalam mengatasi masalah lingkungan di Indonesia merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini muncul dalam wacana lingkungan sekuler yang lebih luas tentang perubahan iklim sejak awal tahun 2000-an, khususnya setelah Konferensi Iklim di Bali pada tahun 2007. Pertemuan-pertemuan pemerintah sejak saat itu sering kali menghadirkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua RNGI terbesar ini masing-masing memiliki dewan lingkungan hidup. Muhammadiyah, yang awalnya dikenal sebagai Lembaga Lingkungan Hidup, sekarang disebut Majelis Lingkungan Hidup, MLH-Muhammadiyah. NU memiliki Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim – LPBI-NU.
Masa depan lingkungan hidup religius cukup menjanjikan. Muhammadiyah mengklaim memiliki 35 juta anggota, dan NU memiliki 90 juta anggota, yang mewakili hampir setengah populasi Indonesia. Dengan pesantren, sekolah, masjid, dan universitas, organisasi-organisasi ini memiliki kekuatan untuk mengubah Indonesia dari negara berkembang menjadi negara yang berkelanjutan. Namun, bagaimana lembaga-lembaga ini dapat memulai transformasi tersebut? Untuk memahami jawabannya, kita perlu melihat bagaimana mereka memobilisasi para pengikutnya di tingkat lokal untuk menciptakan inisiatif lingkungan yang konkret.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah telah berinvestasi pada sekolah hijau dan membangun sumber energi terbarukan. Pesantren-pesantren NU telah melakukan penanaman pohon. Program-program ini menjangkau lebih dari sekadar pengikutnya, tetapi juga melibatkan penduduk desa setempat, yang tertarik pada insentif spiritual dan material yang mereka tawarkan.
Umat Islam yang berafiliasi dengan Muhammadiyah dan NU percaya bahwa Tuhan akan memberikan kompensasi atas keterlibatan mereka baik di akhirat maupun di dunia. Secara spiritual, Tuhan akan meningkatkan iman mereka dan membalas mereka yang telah menjaga alam di akhirat dengan memberikan jannah (surga). Secara material, Tuhan akan meningkatkan sumber daya konkret mereka, seperti uang dan harta benda, di dunia dan akhirat.
Kesalehan lingkungan di Indonesia melibatkan kegiatan ekologi dan ekonomi. Keterkaitan antara keuntungan material dan spiritual bagaikan dua sisi mata uang. Mereka mengacu pada Al-Qur’an untuk menemukan dasar agama untuk melindungi alam. Beberapa ayat Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah di bumi, yang diamanatkan untuk menjaganya. Penekanannya adalah pada keseimbangan antara kebutuhan manusia dan hak-hak alam. Al-Qur’an tidak memerintahkan umat Islam untuk memprioritaskan salah satu di atas yang lain, dan banyak Muslim yang taat yang saya ajak bicara menganggap serius pesan ini.
Bumi lebih besar dari kita
Kyai Thontowi misalnya, seorang pemimpin Pondok Pesantren Al-Wasilah Garut di Jawa Barat, telah terlibat dalam upaya-upaya lokal untuk menghijaukan Garut, sementara pada saat yang sama mendampingi masyarakat setempat untuk mengamankan mata pencaharian mereka. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an mengakui keberadaan makhluk non-manusia, termasuk bumi itu sendiri. Makhluk-makhluk nonmanusia ini selalu berdoa dan mengagungkan Tuhan. Bumi ini lebih besar dari kita, katanya, namun kita sombong dan tidak tahu diri dan bertindak seolah-olah kita lebih besar dari bumi. Kyai mengatakan bahwa kita harus mengurangi ego kita dengan menghormati bumi dan memposisikan diri kita sebagai yang setara dengan bumi, bukan sebagai tuannya. Kyai Thonthowi menggunakan gagasan kesetaraan ini untuk mengajarkan para santrinya untuk mempraktekkan ekologi (konservasi alam) dan ekonomi (komodifikasi alam). Menurutnya, konservasi adalah untuk bumi, dan ekonomi adalah untuk manusia.
Gagasan tentang kapasitas agenif dari non-manusia ini bukanlah hal yang asing bagi komunitas pesantren. Banyak kitab kuning yang dibaca di pesantren menyebutkan bahwa makhluk-makhluk nonmanusia di bumi dan di langit berdoa kepada Tuhan. Mereka memohonkan ampunan Tuhan untuk manusia. Teks berjudul Lubabul Hadits, bab 1, yang ditulis oleh As-Suyuti, adalah salah satu contohnya. Masyarakat yang dibesarkan dengan teks-teks ini dengan mudah mengakui peran penting non-manusia dalam menciptakan dunia sosial-lingkungan kita.
Para anggota Pesantren Al-Ittifaq, di Ciwidey dekat Bandung, berbicara tentang ‘eko-sufisme’. Sufisme adalah dimensi esoterik dari Islam; varian ‘eko’-nya melihat alam sebagai entitas suci yang harus dihormati. Mereka menggunakan wawasan ini untuk mengembangkan program agribisnis mereka, memasok sayuran, buah, dan pupuk ke Jakarta. Kombinasi eko-sufisme dan ekonomi ini telah mengangkat Al-Ittifaq menjadi salah satu pesantren ramah lingkungan yang paling terkenal di Indonesia. Pemimpinnya, Kyai Fuad Affandi, dianugerahi penghargaan lingkungan tertinggi di Indonesia, Kalpataru, pada tahun 2003.
Kyai Ghofur memimpin Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan, Jawa Timur. Beliau memenangkan Kalpataru pada tahun 2006 atas perannya dalam membimbing dan menasehati masyarakat lokal di Lamongan untuk menghijaukan wilayah mereka melalui penanaman Morinda (Morinda Citrifolia, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama mengkudu). Masyarakat Lamongan sangat antusias untuk bergabung dalam aksi ini. Mereka terinspirasi oleh ajaran Kyai Ghofur tentang pentingnya menanam pohon. Beliau mengatakan bahwa seorang Muslim harus menanam setidaknya satu pohon seumur hidupnya. Beliau percaya bahwa pohon ‘dapat mendoakan kita’.
Kyai Ghofur menghubungkan pentingnya menanam pohon secara spiritual dengan keuntungan materi dan kesehatan yang bisa didapatkan. Dia meyakinkan penduduk desa bahwa menanam mengkudu akan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan di masa depan. Selain itu, pohon juga dapat menghilangkan polutan udara, katanya, seraya menambahkan bahwa udara yang sehat merupakan kemewahan yang jarang dinikmati di Lamongan dan daerah lain di Indonesia. Mengkudu juga merupakan obat alternatif, kata Kyai Ghofur. Mengkudu dapat menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk kanker dan diabetes. Kekuatan persuasifnya menarik banyak orang di Lamongan untuk terlibat dalam penanaman mengkudu.
Lembaga-lembaga Muhammadiyah telah melatih para pengikutnya untuk menghasilkan energi terbarukan sejak tahun 2010. Pesantren Darul Ulum, misalnya, telah berkolaborasi dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk membangun digester biogas skala kecil untuk menyediakan sumber energi alternatif bagi penduduk desa Potorono. Selama kunjungan saya, penduduk desa dengan antusias memberi tahu saya bahwa digester tersebut dapat menggantikan tungku kayu bakar mereka yang sudah tua. Mereka ingin mengembangkan fasilitas biogas lebih lanjut sehingga lebih banyak rumah tangga yang dapat merasakan manfaatnya.
Sekolah menengah kejuruan Muhammadiyah di Bantul dekat Yogyakarta – SMKN 1 Bambanglipuro – mengembangkan proyek bioetanol skala kecil pada tahun 2012 untuk mendukung program kemandirian energi desa nasional, Desa Mandiri Energi yang dicanangkan oleh Presiden Yudhoyono. Saat saya berkunjung, sekolah ini sedang menunggu izin dari pemerintah untuk menjual bioetanol kepada masyarakat. Sejauh ini, bioetanol tersebut telah digunakan untuk tujuan pendidikan di sekolah-sekolah setempat.
Universitas Muhammadiyah Malang telah membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Sanankerto di kaki Gunung Bromo. Pembangkit listrik ini merupakan bagian dari situs agrowisata dan pendidikan. Kepala desa Sanankerto mengatakan bahwa pembangkit listrik ini akan membawa manfaat ekologi dan ekonomi baik bagi Muhammadiyah maupun masyarakat lokal di Kabupaten Malang.
Sekolah lainnya – SMP 1 Muhammadiyah Yogyakarta – dianugerahi penghargaan ‘sekolah hijau’ Adiwiyata oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2011. Sekolah ini merupakan sekolah pertama di Yogyakarta yang meraih penghargaan Adiwiyata. Seorang guru di sekolah tersebut berbagi pengalamannya dalam mendidik siswa tentang lingkungan: “Jika Anda mengajari seseorang untuk mencintai alam, mereka akan mengajari orang lain untuk mencintai alam juga,” tegasnya. Upaya-upaya untuk mendidik dan memobilisasi untuk lingkungan seperti itu mengingatkan kita pada gagasan Foucault tentang governmentality: perilaku yang bertujuan untuk menciptakan subjek lingkungan yang aktif dan progresif, yang pada gilirannya akan menciptakan subjek lain. Bentuk governmentality seperti ini hari ini beroperasi di banyak institusi Islam, baik Muhammadiyah maupun NU.
‘Pragmatisme’?
Gerakan Lingkungan hidup dalam komunitas keagamaan di Indonesia berkembang ke arah yang progresif. Namun, hal ini mungkin akan terhambat di masa depan oleh apa yang disebut sebagai ‘pragmatisme’ ekonomi. Muhammadiyah dan NU telah menunjukkan komitmen mereka untuk melindungi alam dari kerusakan lebih lanjut. Namun beberapa anggota mereka tampaknya lebih asyik dengan hasil ekonomi dari lingkungan hidup ini. Ketika mereka berbicara tentang ‘keberlanjutan’ dari proyek-proyek mereka, yang mereka maksud adalah keberlanjutan ekonomi. Apa yang direncanakan oleh para pemimpin puncak tidak selalu sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para pengikutnya di tingkat lokal.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa anggota organisasi-organisasi tersebut melakukan sesuatu yang salah atau menentang apa yang telah dimandatkan oleh para pemimpin mereka. Pragmatisme muncul dari isu-isu sosial-ekonomi yang rumit seperti kemiskinan, pendapatan dan pekerjaan yang tidak stabil, kekurangan pangan dan malnutrisi. Hal-hal ini memaksa mereka untuk mempraktikkan lingkungan hidup secara berbeda. Dalam situasi seperti ini, hampir tidak mungkin untuk mendorong penduduk desa untuk melawan masalah lingkungan dengan cara yang idealis. Format ideal dari environmentalisme religius hanya mungkin terjadi ketika masalah-masalah sosial-ekonomi telah diatasi. Kecuali jika kita mengatasi masalah-masalah ini, environmentalisme religius di Indonesia akan tetap sangat pragmatis.
Tulisan ini diterjemahkan dari
https://www.insideindonesia.org/editions/edition-148-apr-jun-2022/trees-pray-for-us