Perjamuan Rempah di Warung Kata

Doc. Pribadi
Aroma rempah sudah mulai tercium ketika kita memarkir kendaraan di depan salah satu kedai di pelataran gedung Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Sebelum masuk, tampak dari bahu jalan, kita sudah disambut selembar banner bertuliskan “Hidup Sehat dengan Jamu” yang terpampang di depan kedai.
Dengan suasana yang tampak sederhana, dihiasi rindangnya pepohonan nan sejuk di balik dinding-dinding kelas, terlihat seorang barista sibuk menyiapkan pesanan para pelanggan yang telah menunggu. Kedai yang digerakkan oleh sekelompok mahasiswa itu, mulai mengolah rasa dan menebar aroma rempah.
Adalah kedai Warung Kata Perjamuan, sebuah kedai yang menjajakan aneka minuman berbahan dasar rempah-rempah dan tumbuhan obat. Sebut saja sebagian dari menu yang ditawarkan adalah kelor latte, teh jahe, telang rosela, dan beberapa sajian minuman yang diracik dengan campuran, kayu manis, pala, dan cengkeh.
Ya, sajian minuman yang dapat menjaga tubuh tetap fit dan tentunya menyehatkan.
Berbicara tentang rempah-rempah, tentunya tidak terlepas dari potensinya yang melimpah di Indonesia. Artinya, rempah-rempah datang kepada manusia lewat pemberian alam. Adapun pada dunia, ia datang melalui tangan-tangan para pedagang dan petualang, juga penulis, serta novelis, penyair, arkeolog, akademisi, filsuf, ahli botani, ekonomi ataupun politik.
Kedatangan ini awalnya berwujud cerita, baik lisan maupun tulisan. Itulah bisa dikatakan bahwa sejarah rempah-rempah yang berumur ribuan tahun itu sesungguhnya berawal dari sesuatu yang sangat sederhana. Ya, sebuah cerita.
Dan, kedai Warung Kata Perjamuan adalah cerita baru dari anak-anak muda yang tidak tenggelam dalam romantisme masa lalu kejayaan rempah, tetapi mereka berupaya bangkit dan mengangkat kembali era keemasan itu dengan sentuhan yang inovatif.
Hisyam Zulfikar (23 tahun), seorang mahasiswa yang nyambi mengelola kedai dengan bahan dasar beranekaragam rempah-rempah Nusantara ini, mengisahkan proses awal mula ia dan teman-temannya merintis usaha tersebut.
Awal mula pembentukan kedai ini (Warung Kata Perjamuan) berkat pengalaman saya di lapangan ketika melihat begitu banyak potensi rempah dan tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat, tetapi nilai jualnya yang begitu rendah, sehingga perlunya sentuhan inovasi pada potensi tersebut agar ia memiliki nilai lebih.
Hisyam Zulfikar
“Awal mula pembentukan kedai ini (Warung Kata Perjamuan) berkat pengalaman saya di lapangan ketika melihat begitu banyak potensi rempah dan tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat, tetapi nilai jualnya yang begitu rendah, sehingga perlunya inovasi pada potensi tersebut agar ia memiliki nilai lebih”, tutur pria yang akrab disapa Hisyam tersebut.
Lebih lanjut, pria yang tengah menempuh pendidikan magister di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB tersebut menambahkan bahwa hadirnya kedai ini tidak hanya menjajakan aneka makanan dan minuman, tetapi juga bisa menjadi ruang interaksi bagi mahasiswa untuk saling bertukar ide dan gagasan.
“Selain menjadikan tempat ini sebagai kedai yang menjajakan aneka minuman berbahan dasar rempah-rempah, kita juga menjadikan tempat ini sebagai wadah teman-teman untuk saling diskusi dan menuangkan kreativitasnya,” ucap Hisyam.
Membangkitkan Kembali Pamor Rempah
Pembicaraan tentang rempah-rempah adalah berbicara soal peristiwa masa lalu yang menyimpan banyak kisah suka dan duka. Ya, karena rempah-rempah, bangsa ini dikenal dunia dan menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa, juga karena rempah-rempah, para leluhur kita dijajah.
Ada juga hal menarik dari rempah-rempah yang jarang kita ketahui. Bahwasanya rempah-rempah adalah barang yang sangat berharga. Saking berharganya, Manhattan, salah satu kota kecil di Amerika Serikat pernah ditukarkan dengan satu pulau kecil di Kepulauan Maluku. Adalah pulau Run, sebuah pulau yang ditumbuhi tanaman pala (Myristica fragrans). Walau demikian, pamor rempah yang pernah menjadi barang paling berharga itu, saat ini seakan tenggelam ditelan samudera.
Kehadiran kedai Warung Kata Perjamuan yang diinisiasi oleh teman-teman muda yang menawarkan aroma khas rempah-rempah ini merupakan manifestasi dari era kejayaan rempah-rempah di masa silam. Mereka tidak sekadar bangga dengan kenangan masa silam tentang kekayaan bangsa ini akan rempah-rempah, tetapi mereka berupaya mengangkat kembali pamor rempah yang hilang kian temaram.

Prof. Sudarsono Soedomo, salah satu tenaga pengajar Institut Pertanian Bogor dalam acara pembukaan kedai Warung Kata Perjamuan mengutarakan bahwa perdagangan dunia itu pernah diwarnai dengan perdagangan rempah-rempah. Nah, dari rempah-rempah itulah Nusantara ini pernah mengalami masa kejayaan, dan dari rempah-rempah itu juga Nusantara ini tenggelam (dijajah).
Sosok yang juga ahli manajemen hutan tersebut mengajak generasi-generasi muda untuk terus menggali dan mengembangkan kembali potensi rempah-rempah karena itu adalah bagian dari budaya Nusantara.
“Anak-anak muda harus ingat kembali budaya kita dan kembangkanlah budaya itu, karena kesempatan itu begitu besar. Dengan kesempatan yang besar itu kita syukuri dengan cara bekerja keras,” pungkasnya.
Sama halnya dengan Prof. Sudarsono, jika kita membuka kembali catatan-catatan sejarah, Tome Pires, seorang penjelajah asal Portugis dan juga penulis buku monumental “Suma Oriental”, ia pernah mengatakan bahwa “Tuhan telah menciptakan Timor sebagai surga cendana, Banda sebagai surga pala, serta Maluku sebagai surga cengkeh”, dan barang-barang ini tidak ditemukan di tempat lain.
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada bangsa lain di dunia ini yang memiliki kekayaan biodiversitas seperti Indonesia. Oleh sebab itu, keanekaragaman hayati Indonesia merupakan aset jangka panjang yang perlu dikaji, diteliti, dan dimanfaatkan secara efektif sesuai perkembangan zaman untuk kesejahteraan bangsa dan memperkuat karakter serta ketahanan budaya nasional.
“Jamu” Beraroma Rempah
Tidak hanya kisah epik rempah-rempah yang menemani perjalanan panjang bangsa ini selam ribuan tahun. Jika kita menengok kehidupan masyarakat lokal dari berbagai suku di bumi Nusantara. Kita akan menemukan beragam cerita dari pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan kekayaan keanekaragaman hayati.
Jamu adalah salah satunya, ramuan tradisional dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan untuk media pengobatan ini tak boleh dilupakan. Karena khasanah pengetahuan lokal yang lahir dari para leluhur ini telah membersamai kehidupan kita hingga saat ini. Itulah mengapa jamu merupakan local genius dan local wisdom Indonesia.
Tentunya, adanya jamu tidak terlepas dari potensi keanekaragaman hayati yang melimpah di Indonesia, serta ditopang dengan kekayaan suku dan budaya.
Hal inilah yang coba dihadirkan oleh Warung Kata Perjamuan dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Proses pun berlanjut, dibalik tangan dingin “si tukang racik”, juga berbekal pengetahuan di ruang kelas, serta pengalaman melakukan penelitian di lapangan. Alhasil, tersaji jamuan beraroma rempah, minuman yang tak hanya menghilangkan dahaga, tetapi juga berkhasiat obat.
Terkait tumbuhan atau yang telah diolah menjadi ramuan obat, menurut Fadly Rahman di lansir National Geographic Indonesia (04/2020), bahwasanya pada abad ke-17 seorang ilmuwan bernama Jacobus Bontius memanfaatkan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, yang sedang sakit. Alasan Bontius menggunakan jamu sebagai pengobatan karena sebelumnya sudah menaruh rasa penasaran saat melihat aktivitas pribumi mengobati orang sakit dengan jamu.
Bahkan, seabad kemudian, George Everhardus Rumphius, seorang naturalis berkebangsaan Jerman berhasil melahirkan mahakaryanya Herbarium Amboinense (1775), berkat penelusurannya dalam mengidentifikasi kekayaan hayati yang tersimpan di belantara hutan Ambon.
Akhirnya, rempah, juga jamu di dalamnya adalah kisah yang ikut mewarnai perjalanan bangsa ini. Sejarah mencatat, rempah bukan sekadar komoditi, namun membawa nilai dan gaya hidup untuk peradaban global. Begitu pentingnya rempah dalam kehidupan manusia sehingga ia menjadi bagian perkembangan ekonomi, sosial-budaya, dan politik dalam skala lokal maupun global.
Sudah saatnya narasi rempah harus diwujudkan secara kolektif. Karena, narasi rempah bisa memberikan perspektif yang unik sebagai pintu masuk untuk berkontribusi dalam upaya menjawab tantangan kontemporer, seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, dan berbagai tantangan lainnya.
Sebagai kalimat penutup, “rempah bukan semata warisan, tetapi rempah adalah masa depan kita”. Dan, hadirnya Warung Kata Perjamuan adalah langkah awal menuju masa depan itu.