Nalar Hijau Keislaman

Dalam kacamata universal implementasi ke-berislam-an sangatlah heterogen, baik yang terkait dengan pemikiran maupun sikap. Ada yang sifatnya substansial dan urgen (wajib) ada juga yang sifatnya umum dan bisa ditolerir (sunnah) . Salah satu contohnya adalah larangan dalam Al-Quran yang menyatakan agar manusia mengindari kerusakan (wala tufsidu fil ardhi ba’da islahiha). Sebagaimana konsep hukum yang ada, maka setelah adanya larangan biasanya hal tersebut tidak patut dilakukan. Dalam konteks ini berarti dilarang melakukan kerusakan dan sebaliknya harus melakukan perbaikan. Siapa yang melanggarnya ia akan dikenai sanksi (dosa) dan pertanggung jawban.
Adapun larangan diatas, sebenarnya bermaksud agar manusia menjaga ekosistem alam dan habitatnya, karena memang dampaknya yang sangat luar biasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dampak individu maupun dampak kolektif. Itulah mengapa dalam kaidah fiqih dinyatakan menghindari mafsadat lebih didahulukan daripada mendatangkan manfaat (dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih). Nalar hijau keislaman berupaya mentransmisikan relasi ajaran (Quran dan Sunnah) dengan berkehidupan (perilaku sosial dalam hidup), baik insani maupun hayati. Karena itulah menurut saya esensi keislaman, adalah yakni merawat, menjaga dan menyelamatkan, sesuai dengan turunan makna Islam itu sendiri yakni aslama, yuslimu, islaman.
Kontemplasi hukum agama yang sejauh ini berkutat hanya pada ranah eksistensial harus diarahkan pada prinsip dan hal-hal yang sifatnya esensial. Jangan terpaku pada hal-hal yang sifatnya individualistis, mari beranjak pada hal-hal yang sifatnya demi kepentingan dan kemaslahatan umum. Karena agama tidak bisa tegak dengan hanya satu sisi ibadah ritual, tetapi juga harus di kombinasikan dengan ibadah sosial dan perhatiannya pada lingkungan. Begitulah ajaran tauhid menyeimbangkan antara sisi ketuhanan, sisi kemanusiaan dan alam. Dan sebagai pelaku (khalifah fil ardhi) manusia harus menjaga kelestarian alam demi menjaga apa yang diciptakan Tuhan, menjaga hak hidup banyak orang dan menjaga keturunan. Karena kondisi lingkungan yang buruk tentu akan berdampak pada anak cucu yang besok akan menggantikan orang-orang sesudahnya.
Selain demi kepentingan hal-hal diatas, tentu Allah telah mengamanahkan bumi ini pada manusia untuk dimanfaatkan sesuai dengan kadar kebutuhannya dan dilarang merusak serta mengeksploitasi demi kepentingan satu golongan apalagi merampas keadilan dan berlebih-lebihan.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi membahas tentang isu penting lingkungan dan mengaitkannya dengan hukum fiqih yang tertuang dalam bukunya Islam Agama Ramah Lingkungan. Perspektif fiqih yang selama ini kita kira hanya sebatas amaliyah, seperti ritual sembahyang, puasa, haji dan lain sebagainya ternyata memiliki nilai-nilai yang menghidupkan dan melestarikan alam. Dan bahkan hukum inilah yang teraplikasikan oleh kehidupan banyak orang. Bagaimana hukum merusak lingkungan, hukum merusak hak-hak milik orang lain, hukum merusak tempat tinggal dan lain sebagainya kesemuanya berafiliasi dengan kajian hukum itu sendiri.
Kajian tentang pandangan ajaran ritual dengan alam juga dibahas oleh Ahmad Sahidah dalam bukunya god, man and nature atas komentar dari Toshihiko Izutsu seorang filsuf asal Jepang. Dari kedua buku ini saya mencoba untuk mencari, betapa titik temu Islam dan lingkungan sangatlah bersinggungan erat. Tentu juga apa yang sudah tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjadi sumber pokok setiap kajian hukum.
Manusia harus berlaku seimbang terhadap siapa dan dimana manusia itu tinggal. Tetapi, entah kita terlena atau mengabaikan, faktanya pada abad ini dimana teknologi informasi berkembang pesat dan cepat, serta kebutuhan manusia untuk terus bertahan hidup, dan bahkan guna memenuhi naluri hidupnya kadang mengambil hak-hak makhluk hidup lainnya. Konsumerisme dan hedonisme telah melalaikan manusia pada tempat tinggalnya, karena ia beranggapan, kesenangan dan keserakahan-lah tujuan hidupnya, tanpa peduli hal itu merusak diri dan lingkungannya.
Tuhan, manusia dan alam ketiganya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Itulah mengapa nalar hijau keislaman ingin merepresentasikan secara kolektif-sosial bagaimana mencintai alam yang berangkat dari literature keislaman, kemudian dipahami secara seksama oleh individu, kemudian ditransformasikan dalam bentuk kecintaan akan alam dan lingkungan sekitarnya sebagai bentuk bagian dari ibadah kepada Tuhan. Agama tidak melepaskan salah satunya dalam artian manusia hanya baik kepada Tuhan tanpa baik kepada alam, ini tidak dibenarkan. Karena bentuk kebaikan, wujud keimanan dan ketaqwaan adalah berupaya menjaga apa-apa yang diadakan Allah yang sudah barang tentu untuk mencukupi kebutuhan manusia itu sendiri.
Sebagai contoh, manusia membutuhkan kehangatan matahari dan kesegaran hujan, sebagai bentuk hubungan simbiotis antara keduanya. Jika sudah tidak seimbang biasanya ketakseimbangan ini akibat ulah manusia yang kurang berteman baik dengan alam.
Manusia dalam Al-Quran menempati topik bahasan yang sangat penting, sehingga tempat tinggal untuk keberlangsungan peradaban manusia juga tidak kalah penting. Al-Qur’an menyinggung banyak persoalan mengenai pentingnya mejaga kelestarian lingkungan dan kita dilarang untuk merusaknya. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa seruan Tuhan, diantaranya adalah, “Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? (Q.S. Shad : 27-28)
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi sesudah Allah Swt memperbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-A’raf : 56)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Rum : 41)
Sebagai bagian dari dimensi keberislaman, nalar hijau keislaman ingin memantapkan secara ideologi dan perannya dalam menyelamatkan dan meminimalisir kerusakan yang terjadi di bumi akibat ketidaktahuan manusia akan kepentingan menjaga ekosistem lingkungan dan menumbuhkan kesadaran bahwa berislam adalah hidup dan menghidupkan.