Melawan Hujan

Jalan tak kunjung ditinggal hujan. Aku masih bergeming, terpaku di samping toko yang pintunya tertutup rapat. Menghindari kuyup. Kepingan uang receh di sakuku tak kuasa membawa kehangatan.
Sampah yang kupungut pun belum waktunya dijual. Walaupun aku terpaksa harus menjualnya, harganya tak seberapa. Sekadar untuk membeli makan sebungkus nasi belum cukup.
“Tapi aku lapar!” jerit batinku.
Siapa juga yang mau mendengar jeritku? Orang-orang sibuk di kota kembang ini tak mungkin menukar kesibukan dengan memikirkan nasib anak yang tidak penting. Aku belum pernah dengar mengurus nasib pemulung sebagai tugas penting. Mungkin, hanya anak sepertiku yang menganggap sampah itu penting.
Namun aku pernah berharap suatu hari bisa menimba pengetahuan agama yang penting di pesantren, meski sudah putus sekolah sejak usia kelas 4 SD. Sampai aku melihat nasibku bingkas di jalanan, dan aku berhenti berharap. Meskipun, sebuah impian masih bisa diulang.
Ah, jangankan impianku! Impian petani, atau impian nelayan; jeritan orang-orang di jalanan berhari-hari tak mempan mengusik hati orang-orang berkuasa. Kalau orang berkuasa saja tak peduli, bagaimana aku bisa terus berharap?
Lalu senyum Kakek kemarin datang membayang. Sebelum aku melangkah dari rumah, Kakek memberiku senyuman hangat dan nasihat: “Jangan lupa sholat”. Rasanya aku ingin pulang.
Tapi pulang adalah kekalahan. Aku tak pernah kembali ke rumah sebelum hari-hari perjalananku berganti bulan. Pulang pun paling hanya dua atau tiga hari. Pergulatan impianku di jalan, masuk ke gang-gang. Kadang sampai ke gorong-gorong.
Sekarang aku hanya berharap hujan lekas reda, sehingga bisa kembali bekerja. Memulung sampah yang berserakan.
“Nenek pasti sudah makan di rumah Bu Susi yang kemarin minta membantunya setelah melahirkan,” batinku. Bu Susi salah orang yang baik penuh perhatian kepada kami, seluruh penjuru negeri ini seolah berisi jejak kebaikannya.
Aku pun sumringah membayangkan Nenek makan dengan lahap, dan pulang ke rumah membawa makanan untuk Kakek.
Sejak Ayah beristeri lagi, aku mengandalkan diriku untuk bertahan hidup. Ayah hanya kuli bangunan yang tak mungkin aku bebani. Adik-adik dari Ibu tiriku pasti lebih membutuhkan segala jerih payah Ayah. Sekiranya Tuhan memberiku takdir lain, aku akan menyekolahkan adik-adikku setinggi langit.
Sekolah dalam arti yang sebenar-benarnya. Menyerap ilmu seperti padi, yang makin berisi makin kuasa memberi manfaat pada orang banyak.
“Nak, kamu punya makanan?” tegur seseorang yang datang tanpa kuduga. Berdiri di depanku. Usianya sepadan Kakek. Pakaiannya lusuh dan kotor. Wajahnya hangus.
“Maaf, Kek. Saya tidak bawa makanan.”
“Uang, Nak? Dari malam kakek belum makan!” sang kakek bersimpuh tepat di hadapanku.
Aku tercekat. Sekiranya dia tahu nestapaku, dan air liur yang hampir habis kutelan berulang-ulang, mungkin tidak akan tega memaksa minta uang. Tapi aku tidak bisa pura-pura tak peduli, nuraniku berontak untuk tidak diam. Aku tak bisa membayangkan kalau nasibnya menimpa Kakek.
Dadaku terasa sempit. Aku menghela nafas, dan berpaling ke karung sampah di sampingku. Segala rasa ibaku luruh, entah kerena sang kakek atau diriku sendiri.
“Kakek di sini, tunggu saya kembali!” pungkasku. Aku bergerak dengan cepat meninggalkan “Kek Madin”, demikian dia menyebut namanya.
Aku berlari melawan hujan. Apapun yang terjadi, aku harus kembali membawa makanan. Tepat di depan sebuah warung pinggir jalan, aku berhenti. Mengutarakan maksudku untuk menggadai cincin emas seberat 3 gram dengan nasi dan air.
Tanpa berpikir panjang, pemilik Warung Tegal Bersahabat itu mengabulkan. Memberi segala yang kuminta. Bulir-bulir hujan masih berderai deras, aku kembali melawannya. Dan, hatiku pecah melihat Kek Madin meringkuk memeluk karung sampahku.
“Kita makan, Kek!” aku membuka bungkus nasi dan memberi sebotol air agar Kek Madin minum lebih dulu. Aku tak ketinggalan, nyaris menenggak habis air dari botol minuman kecil itu.
“Makanan ini pasti enak, Nak!” ujar Kek Madin tertawa lebar. Suara tawanya menghilang direnggut tumpahan hujan, tapi gusinya yang kurang gigi tersuguh lama di mataku. Kembali aku melihat sosok Kakek.
Dengan lahap, kami menyantap makanan. Rasanya dunia hanya milik berdua. Kami baru saja mendapat hadiah besar dari Tuhan, yang memenangkan kami dari haus dan lapar.
Setelah makan besar siang itu, aku pamit pada Kek Madin untuk melanjutkan pekerjaan. Hari sudah terang. Jalan kembali ramai.
Ternyata hatiku belum sepenuhnya gembira. Sambil melangkah gontai, aku usap mataku berkali-kali. Aku tak mengira airmata akan datang sederas ini. Seluruh jiwa ragaku sekonyong-konyong merindukan Ibu. Cincin yang kugadai di warung makan adalah pemberian Ibu lewat Nenek, sewaktu kami berpisah.
Aku tak sempat melihat senyum kepergian Ibu, karena umurku baru 8 bulan. Tapi cincin itu tak pernah lepas dariku selama 16 tahun. Bertahun-tahun aku mencari tahu keberadaan Ibu sepanjang perjalananku, yang tak kunjung usai.
Kata Nenek, Ibu pamit bekerja ke luar negeri. Namun aku tak yakin. Ibu pasti bekerja di sini. Maka aku tak henti berjalan mengikuti kata hati. Selain tak cukup biaya, mencari Ibu adalah alasanku putus sekolah. Bekalku hanya selembar poto Ibu yang selalu kutunjukkan kepada orang-orang.
Mengingat semua itu, aku seakan tak sanggup melangkah. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah berharap Ibu akan kembali. “Tidak! Aku tidak boleh lelah mencari Ibu dan berharap!” entak batinku. “Putus asa adalah sebuah dosa!”
Dan seketika aku ingin berhenti sejenak. Merogoh Quran kecil dari dalam tas dan melantunkan bacaannya. Dalam perihku, aku tak pernah lupa pesan Kakek: “Akbar, bacalah Quran saat hatimu gundah!”