Ide Literasi Dauzan Farook

 Ide Literasi Dauzan Farook

Pasca krisis ekonomi di Tepi Pasifik tahun 1990-an hanya sedikit contoh Negara-negara di Asia yang berhasil memperbaiki pertumbuhan ekonomi, sehingga menjadi fondasi penting bagi produksi buku dan konsumsi buku. India dan Cina (sekarang disebut Republik Rakyat Tiongkok) termasuk yang mampu keluar dari krisis tersebut, memungkinkan tingkat konsumsi buku tetap tinggi. Sementara Negara semacam Indonesia semakin miskin dan sangat bergantung pada modal asing, juga menjadi dasar mengapa dibutuhkan waktu yang cukup panjang setelah pemulihan ekonomi, pemerataan aktivitas industri perbukuan. Maka tidak aneh juga jika diskursus dunia pengetahuan Indonesia pasca-Soeharto pada awal tahun 2000-an secara umum merespon isu industri perbukuan sebagai bagian dari agenda pembangunan, serta kemungkinan revolusi media yang bersiap menjadi ancaman bagi industri buku cetak. Di tengah hiruk pikuk tersebut istilah “literasi” jarang digunakan untuk menghubungkan semua proses dunia perbukuan dan kepentingan pengetahuan masyarakat. Istilah literasi pada umumnya digunakan sebagai bagian terpisah dari aktivitas perbukuan, penerbit, dan pengarang. Misalnya di pameran-pameran buku internasional pada tahun 1990-an dikenal pembagian pengunjung/partisipan; penerbit, pengarang, agen literasi (literary agent), dan pengunjung umum. Agen literasi di sini bermakna seseorang yang terlibat dengan minat-minat mengenai perkembangan industri perbukuan.

Tanpa bermaksud membesar-besarkan, diksi literasi kini begitu populer digunakan di media massa, penggorganisasian aktivitas, dan opini kritik sosial-pendidikan. Sebuah diksi yang digunakan secara massal menjadi penanda atas perubahan-perubahan kecil yang tak disadari di dalam masyarakat. Penggunaan diksi literasi menunjukkan apa yang tengah terjadi di dalam gagasan masyarakat mengenai betapa sentralnya pengetahuan. Pengertian resmi literasi sebagai “melek” seringkali gagal dan justru memberikan nuansa ambigu jika dilibatkan dengan praktik-praktik aktivitas literasi. Istilah “melek” tampaknya tidak mampu menopang kompleksitas penggunaan diksi literasi yang terlanjur meluas dan lentur. Seorang penulis esai, pecinta buku, penjual buku, atau penggerak perpustakaan desa, akan mengklaim bahwa aktivitas yang mereka lakukan merupakan bagian dari literasi. Bagaimana “melek” sebagai pengertian resmi literasi mengatasi hal semacam ini? Pokok utamanya ternyata terletak pada sifat diksi literasi sebagai sebuah gagasan daripada sekedar istilah. Diksi literasi diperlakukan sebagai gagasan yang merangkum banyak hal berkaitan dengan proses mengapresiasi pengetahuan atau semacam etos memuliakan pengetahuan. Sebagai sebuah gagasan, sangat wajar jika diksi literasi dapat digunakan selama itu berkaitan dengan apresiasi pengetahuan. Gagasan bahwa literasi merupakan proses apresiasi pengetahuan mengakar melalui perspektif baru bahwa aksesibilitasi atas pengetahuan berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan. Dalam masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang rentan, hal tersebut berarti proses refleksi antara pemenuhan kebutuhan ekomoni dasar dan perjuangan mengakses pengetahuan. 

Literasi sebagai aktivitas atau minat untuk mengapresiasi pengetahuan menunjukkan bahwa menguatnya makna suatu gagasan (baik keluasan dan kelenturannya) memiliki landasan kebudayaan material yang terlihat jelas. Gerakan literasi dengan berbagai bentuknya; perpustakaan komunitas atau umum, kampanye melek informasi, kolektif-kolektif yang memanfaatkan ruang publik, serta pegiat dunia perbukuan (penulis, penerjemah, penerbit, dan kritikus), adalah tubuh dari diksi literasi yang sebenarnya. Inti pokok lahirnya makna apresiasi pengetahuan tumbuh dari kerja panjang literasi sebagai platform gerakan. Aktivitas membuka akses terhadap berbagai media pengetahuan, menciptakan nuansa dan perspektif yang berbeda mengenai posisi pengetahuan bagi masyarakat non-kampus. Pengetahuan tidak lagi dimaknai sebagai pembeda sosial tetapi sebagai bagian dari hak menerima pendidikan. Inisiasi-inisiasi perpustakaan komunitas atau Taman Baca Masyarakat (TBM) yang fokus menyediakan akses serta mendorong tumbuhnya apresiasi pengetahuan merupakan peralihan penting diksi literasi sebagai gagasan menjadi gerakan.  

Diksi literasi tumbuh koheren dengan kemunculan perpustakaan-perpustakaan umum. Apalagi dengan kemunculan perpustakaan komunitas yang menjadi ekspresi kebutuhan ruang publik baru, di mana kebebasan berpendapat dan anti-sensor pengetahuan memperoleh bentuknya. Perpustakaan umum ataupun perpustakaan komunitas sebagaimana mereka memproduksi makna literasi, telah mengubah arti subjek pengetahuan, dan memperluas arti penting pengetahuan bagi perubahan sosial. Perpustakaan umum/komunitas merepresentasikan suatu usaha untuk memperkenalkan bentuk keruangan tanpa hirarki dan pembatasan. Bagaimana hal semacam ini dapat terjadi dalam pengertian literasi yang tidak lagi sekedar “melek” melainkan usaha-usaha menciptakan ruang baru bagi keadilan akses terhadap pengetahuan. Orang-orang yang terlibat dengan penciptaan perpustakaan umum dan komunitas inilah yang menuntun cara tumbuh baru bagi diksi literasi.  

Potret, Makna, dan Ide Literasi

Barangkali hanya ada sedikit penjelasan yang memuaskan tentang mengapa Dauzan Farook (1925-2007), seorang veteran perang, pada tahun 1993 membangun perpustakaan umum di rumahnya, di Kauman, Yogyakarta, berkeliling kampung menawarkan peminjaman buku selain bahwa itu adalah suatu ekspresi bahwa literasi menghubungkan makna keintiman antara kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Farook adalah veteran perang yang senang jika bukunya dibaca orang lain. Farook tumbuh besar sebagai seorang pecinta buku, dibesarkan oleh seorang ayah yang juga pengurus Taman Poestaka Moehammadijah. Ayah Farook memiliki perpustakaan pribadi, tempat Farook muda menikmati membaca buku. Farook mendirikan perpustakaan umum yang diberi nama Mabulir (sebuah akronim unik yang merujuk pada “Majalah dan Buku Keliling Bergiliri”). Farook sangat tertarik dengan ide “terobosan perpustakaan” yang berarti “pro-aktif, gratis, dan tanpa birokrasi”. Ide Farook saat ini terasa begitu lazim, tapi berbeda dengan konteks saat gagasan soal “terobosan perpustakaan” itu hadir sebagai respon atas lambannya perpustakaan menghadapi perubahan sosiologis dan teknologi. Farook menghabiskan uang pensiunnya, waktu luang, dan sumber daya (buku dan majalah cetak). 

Kekuatan Farook dan gagasannya soal “terobosan perpustakaan” itu menguat bersamaan dengan kemunculan berbagai gagasan lain tentang strategi populisme di berbagai bidang pelayanan publik. Tentu saja, Farook berangkat dari pengalaman yang sangat personal bagaimana membaca telah menjadi landasan ambisi hidupnya. Sedangkan gagasan populisme yang muncul dengan (salah-satunya didorong oleh) kehadiran media sosial, serta apa yang seringkali dikenal dengan perubahan demografi, memaksa perubahan fundamental untuk merespon transformasi sosial. Tidak semua pegiat literasi yang terlibat dalam komunitas literasi pernah bertemu atau berbicara dengan Farook, mengingat Farook meninggal jauh sebelum beberapa situasi semacam menguatnya kembali komunitas penerbitan indie, siasat-siasat baru memperoleh buku murah berkualitas, dan kegelisahan kelas menengah soal data (yang sebenarnya simpang-siur dan kontroversial) rendahnya minat baca yang memaksa mereka ikut membahas literasi secara serius. Kendati demikian, Farook selalu diingat sebagai panutan jika membahas gerakan literasi. Farook seolah-olah menjadi penanda suatu era di mana perpustakaan umum dan perpustakaan komunitas merupakan bentuk terobosan. Meskipun gagasan tentang gerakan literasi jika dilacak melalui agenda kampanye membaca mempunyai akar sejarah panjang sejak masa demokrasi terpimpin.

Apa yang membedakan gagasan Farook tentang terobosan perpustakaan dengan kebanyakan gagasan yang sama di masa sekarang? Letaknya begitu kentara, yakni dalam imajinasi Farook bahwa perpustakaan harus menemukan pembaca, dan sebagaimana ujaran populernya, “siapa saja bisa menjadi pegiat literasi”. Sedangkan makna terobosan perpustakaan yang hari ini dapat dijumpai dalam berbagai opini populer (demikian populernya sampai diulang-ulang tanpa sadar) secara ontologis berawal dari data tentang rendahnya minat baca dan kapasitas sains siswa di Indonesia. Maka wajar jika problem ontologis Farook mengarah pada fasilitasi pengetahuan yang dapat diakses tanpa keribetan yang tidak diperlukan. Gagasan cemerlang Farook menyadarkan bahwa perpustakaan yang penuh tumpukan buku saja tidak cukup, orang-orang harus datang dan membaca buku. Tanpa ada penikmat buku, perpustakaan menjadi gudang pengetahuan yang lengkap dengan konfigurasi sebagai kuncinya. Keputusan Farook untuk menghabiskan waktu tuanya sebagai pegiat literasi sangat berkesan bagi rekan-rekan, dan secara khusus bagi penggemarnya di masa yang Farook sendiri mungkin tidak pernah membayangkannya sama sekali. Apalagi jika Farook menyaksikan sendiri bagaimana pegiat perbukuan dan komunitas literasi telah menjadikannya semacam simbol penting anti-hirarkisme dalam mengakses pengetahuan. 

Di pusat pengetahuan dan perbukuan semacam Yogyakarta, arti penting Farook tidak saja seorang veteran perang, pegiat literasi, dan pecinta peradaban, tetapi secara khusus minat dan idenya itu sendiri. Bila seseorang memandang Yogyakarta dari cara pandang berbeda kota ini dibesarkan melalui ide-ide, maka nama Farook mungkin muncul sebagai potret memukau. Lalu bagaimana memahami potret itu sebagai tesa lampau yang penting bagi gerakan literasi hari ini? Ujaran Farook bahwa “siapa saja bisa menjadi pegiat literasi” benar-benar terjadi. Orang-orang muda yang melibatkan diri dengan komunitas atau kolektif, sekalipun ikut mengurus buku, tidak semuanya memahami aktivitas literasi sebagai intensitas tinggi membaca buku atau menulis. Sebagiannya memakai kelenturan diksi literasi juga untuk bermusik atau melakukan kerja seni rupa. Apa yang menghubungkan semua kelenturan diksi literasi ini? Tak dapat dipungkiri sebagaimana kata Farook, yakni “senang melihat orang lain membaca buku..”, ini semacam keterlibatan moral dan intelektual tentang mengapa literasi bukan sekedar melek yang sangat personal maknanya, tetapi kejadian-kejadian refleksi emosi yang bersifat sosial juga termanifestasi dalam diksi literasi. 

Ide Farook tampaknya membawa pemahaman baru bahwa dorongan sosial sangat sentral dalam kegiatan literasi. “Perpustakaan” dalam ide semacam ini memiliki makna lain yakni proses penciptaan pengalaman dan peristiwa sosial di mana buku dan manusia-manusia terlibat di dalamnya. Harus ada peristiwa sosial di setiap perpustakaan, buku, dan aktivitas literasi secara keseluruhan. Tampaknya apa yang mendorong Farook menggunakan semua waktu lowong membawa buku dengan sepeda hampir terasa terjawab. Dari sebuah wawancara yang dilakukan terhadap dirinya, pendengar akan menangkap kesan bahwa Farook memperoleh ketercapaian ambisi pribadinya jika seseorang berbahagia membaca buku koleksinya. Farook cukup puas dengan pembaca setia buku-buku dan majalah koleksi Mabulir, mungkin membuatnya merasa bahwa tugas literasi begitu menyenangkan sehingga siapa saja bisa mengambil posisi untuk peran ini.   

Bagikan yuk

Fauzan A Sandiah