Ekopsikologi Islam: Sebuah Pengantar

 Ekopsikologi Islam: Sebuah Pengantar

Sumber: en.qantara.de

Tulisan ini adalah refleksi penulis terhadap ceramah yang disampaikan oleh Ibrahim, Ozdemir, salah satu environmentalis Muslim terkemuka Turki, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Uskudar University dengan tema “Ecopsychology: Reinventing the Human-Nature relationship and its meaning for Our Wellbeing” pada 4 Desember 2020 lalu. Ceramah tersebut menarik karena ia memaparkan tentang munculnya satu kajian baru yang sifatnya interdisipliner yang coba menghubungkan antara disiplin psikologi dengan kajian environmentalisme. Perkembangan keilmuan ini sangat menarik tentunya jika dikaitkan dengan geliat wacana “interdisiplin,” “transdisiplin,” dan “integrasi ilmu” di tanah air (Indonesia).

Wacana ekopsikologi misalnya menunjukkan bahwa gagasan “integrasi ilmu” bukan suatu yang “utopis” namun sudah terealisasi secara nyata. Lebih jauh bagi kalangan yang aktif dalam diskusi mengenai environmentalisme, perkembangan tersebut tentunya menjadi satu penanda positif bahwa upaya “penghijauan” (greening) paradigma keilmuan berhasil “menembus” bidang yang sebelumnya lebih banyak berbicara soal hal-hal yang sifatnya kuantitatif. Perkembangan tersebut menunjukkan telah terjadi pergeseran paradigma radikal dalam studi psikologi dari sebelumnya sangat kuantitatif ke kualitatif -bahkan mungkin lebih tepat disebut sebagai deep kualitatif, karena kualitatif selama ini juga membatasi pembicaraan soal culture dan bukan nature-.

Ozdemir sendiri tidak sekedar memaparkan tentang definisi dan perkembangan ekopsikologi secra deskriptif. Ia sendiri berupaya terlibat dalam produksi wacana tersebut dengan mengusulkan satu bentuk ekopsikologi yang khas berbasis pada tradisi intelektual Islam, salah satunya berbasis pada karya-karya Jalauddin Rumi. Ozdemir menyebut tawarannya sebagai ekopsikologi Islam. Sebagai catatan, meskipun Ozdemir menggunakan istilah ekopsikologi Islam bukan maknanya bahwa ekopsikologi Islam adalah bentuk ekopsikologi “distingtif” yang hanya relevan untuk orang Islam saja. Bagi Ozdemir kata Islam untuk menegaskan relavansi tradisi intelektual Islam seperti karya-karya Rumi relevan sebagai basis bagi pengembangan ekopsikologi secara lebih jauh.

Dengan kata lain ekopsikologi Islam -di mata Oazdemir- tidak hanya berguna bagi orang Islam saja tetapi bagi seluruh umat manusia. Bahkan menariknya Ozdemir sendiri secara terbuka menyatakan bahwa dirinya justru banyak belajar dari perjumpaannya dengan sejumlah intelektual bahkan publik Barat yang secara terbuka mengapresasi karya-karya intelektual Islam. Satu posisi yang tadinya tidak terpikirkan olehnya sebagai seorang Muslim dan juga orang Turki yang “mestinya” lebih mengenal sosok semacam Rumi misalnya. Berangkat dari pengalaman intelektual personalnya itulah yang membuat Ozdemir tidak ragu untuk mengangkat karya-karya para intelektual Muslim dalam forum-forum ilmiah baik di Turki maupun di dunia internasional, termasuk dalam hal ini menyatakan relevansi tradisi intelektual Islam tersebut bagi pengembangan wacana ekopsikologi secara global.

Ozdemir memulai pembahasannya (ceramahnya) dengan memaparkan sebab munculnya tradisi baru dalam bidang psikologi tersebut. Bagi Ozdemir ekopsikologi adalah satu bentuk resistensi terhadap perkembangan keilmuan di abad 18 hingga 19 masehi yang dipengaruhi kuat oleh logika antroposentrisme yang memisahkan antara manusia dan alam. Manusia adalah pusat dan selainnya (alam raya) kemudian dipandang dalam menggunakan ukuran-ukuran humanisme. Sebagai informasi, antroposentrisme menguat berbarengan dengan proses sekularisasi alam dimana alam kehilangan nilai sakralnya secara intrinsik. Dengan kata lain alam menjadi satu realitas yang tak punya makna, dan oleh karena itu manusia itulah yang mesti memakna alam dengan ukuran humanismenya. Karena alam telah mengalami sekularisasi (desakralisasi) maka kemudian yang timbul adalah pemaknaan alam dalam kerangka ekonomi belaka, yang mencapai puncaknya dengan industrialisasi dimana alam direduksi sekedar sebagai bahan mentah untuk proses produksi.

Dalam kaitannya dengan studi psikologi, antroposentrisme telah memutus ikatan batin/ psikologis antara manusia dan alam sehingga kemudian manusia dipandang tidak memiliki relasi apapun dengannya. Maka tidak mengherankan dalam studi psikologi sebelum kemunculan ekopsikologi, sama sekali tidak ada pembahasan mengenai alam dan kaitannya dengan jiwa manusia. Kalaupun ada bisa dikatakan bahwa alam hanya muncul dalam tes-tes psikologi yang digunakan untuk mengukur kepribadian seseorang lewat gambar pohon yang dihasilkannya.

Bahkan menurut Ozdemir dalam tradisi psikologi yang dipengaruhi aliran eksistensialis, relasi antara manusia dan alam bukan saja tidak eksis tetapi diandaikan hadir dalam kerangka antagonistik. Refleksi Ozdemir dapat dikatakan memiliki kebenarannya sendiri, sebab jika kita melihat skema Sartre tentang cara berada (bereksistensi) manusia maka ia akan mengkontraskannya dengan cara berada (bereksistensi) alam (selain manusia) yang menurutnya tidak memiliki dimensi penidakan (berbeda dengan manusia yang bisa “menyangkal” dirinya sendiri sehingga bahkan dalam waktu singkat seorang individu dapat mengubah pendiriannya misalnya secara radikal).

Cara pandang eksistensialisme macam Sartre yang menempatkan manusia vis a vis dengan alam inilah mempengaruhi tradisi existensial therapy yang memposisikan alam sebagai “musuh” bagi eksistensi manusia. Lebih jauh Ozdemir juga melihat gejala yang sama juga terjadi dalam tradisi psikoanalisis yang dikembangkan Freud. Dengan kata lain diam-diam psikologi mengukuhkan dirinya sebagai salah satu disiplin yang berkontribusi kepada penciptaan kesadaran manusia yang cenderung memandang alam secara negatif.

Telaah Ozdemir tersebut menarik untuk dikontekstualisasikan dalam membaca disiplin-disiplin lain untuk melihat sejauh mana “dosa-dosa” mereka dalam memberikan justifikasi atau memungkinkan terjadinya kerusakan ekologis yang meluas dan sampai pada taraf memprihatinkan dewasa ini sebagaimana dapat disaksikan bersama lewat munculnya fenomena Covid-19 dan juga perubahan iklim yang mengancam eksistensi manusia sebagai spesies. Satu komparasi yang mungkin relevan untuk diparalelkan dengan kritik Ozdemir ialah perkembangan dalam studi ilmu politik.

Salah satu konsep kunci yang muncul dalam studi ilmu politik modern ialah demokrasi. Namun sayangnya bagi para ilmuwan politik -termasuk ilmuwan politik di Indonesia- demokrasi diposisikan vis a vis dengan lingkungan hidup. Alasannya karena demokrasi terkait dengan rakyat dan kepentingannya sementara lingkungan hidup bicara tentang “entitas lain” yang tidak berkaitan dengan rakyat. Sehingga bagi sebagian kalangan ilmuwan politik tersebut yang harus diurai adalah bagaimana kepentingan rakyat tersebut dapat didialogkan dengan masalah kelestarian lingkungan yang diasumsikan brtolak belakang. Kita bisa katakan sebagaimana psikologi eksistensial dan psikoanalisis, kajian ilmu politik -termasuk kajian demokrasi- tak kalah “berlumuran dosa” ekologis karena sadar atau tidak studi ini menempatkan demos (rakyat) vis a vis dengan lingkungan. Dengan kata lain jika sebuah masyarakat atau negara memilih jalan demokrasi maka sama artinya dia memilih untuk merusak alam.

Barulah ketika Vandana Shiva -ini sebagai contoh- menjelaskan tentang konsep demokrasi bumi, para ilmuwan politik tersadarkan bahwa demokrasi bukan hanya kompatibel dengan ekologi, bahkan bisa dikatakan bahwa tanpa fondasi ekologis maka demokrasi akan layu dan mati digantikan oleh tirani baik negara maupun pasar sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Maka tidak mengherankan Shiva justru “lebih hirau” terhadap bagaimana melawan benih “terminator” yang diproduksi lewat rekayasa genetika misalnya dibandingkan berbicara tentang politik praktis yang menjadi obyek kajian primer oleh para ilmuwan politik khususnya yang mendalami kajian-kajian demokrasi. Bagi Shiva merdeka dari benih “terminator” adalah perwujudan demokrasi itu sendiri, sementara terselenggaranya pemilu misalnya bukan menjadi toak ukur sebuah negara itu demokratis atau tidak. Perlu diinformasikan bahwa Shiva tidak menganggap kajian tentang pemilu, diskusi soal politik praktis, dan semisal dengan itu menjadi tidak penting, namun ia ingin memberi penekanan bahwa tanpa perjuangan ekologis maka upaya penegakan demokrasi akan sulit direalisaikan bahkan bisa jadi mustahil.

Kembali kepada ceramah Ozdemir, ia menyatakan bahwa titik balik dari dominasi tradisi psikologi yang anti lingkungan tersebut salah satunya tercermin dari karya Victor Frankl, salah satu psikolog humanis terkemuka yang dikenal dengan idenya logotheraphy. Dalam karya monumentalnya Man’s Search for Meaning, Ozdemir mengangkat satu kisah perjumpaan Frankl dengan seorang perempuan muda di kamp NAZI Autzwich. Sebagai informasi, Frank sendiri juga merupakan tahanan Autzwich. Ia menjadikan pengalamannya di kamp kematian NAZI tersebut sebagai basis untuk merumuskan teori psikologinya.

Menurut Ozdemir Frank menyatakan bahwa kisah perjumpaannya dengan sang perempuan muda tersebut sangat unik dan mungkin orang akan mengira dia mengarang kisah tersebut. Namun Frankl bersumpah bahwa ia benar-benar mengalami kisah tersebut yang menurutnya bagaikan puisi tersebut. Dikisahkan suatu hari sang psikolog keheranan melihat seorang perempuan muda yang walaupun ia mengetahui ajalnya sudah dekat namun ia tidak terlihat sedih sedikitpun dan justru memancarkan raut wajah seorang yang bahagia. Maka sang psikolog ingi tahu apa yang menyebabkan kondisi batin sang perempuan muda tersebut begitu kuat. Ketika ia bercakap dengan sang perempuan maka ia berkata bahwa ia bersyukur bahwa takdir telah menimpanya secara begitu keras sehingga dia justru dapat mengalami pengalaman spiritual lewat takdir tersebut.

Ia menyatakan kepada Frankl bahwa melalui satu-satunya jendela yang dapat ia akses ia menemukan “teman sejatinya” yang dapat menghiburnya ketika ia mengalami kondisi kehidupan berat di dalam kamp tersebut. Frankl terkejut ketika mendapati bahwa “teman” yang ia maksud ialah satu dahan dari pohon kacang Kastanye (chesnut). Sang perempuan menceritakan kepada Frankl bahwa memang benar bahwa dahan pohon itulah satu-satunya temannya. Sang perempuan menyatakan bahwa ia tidak hanya dapat menatap keindahan dahan pohon yang mekar tersebut tetapi juga sering berbincang-bincang kepadanya.

Frank terkejut dengan penjelasan tersebut dan sempat berfikir apakah sekiranya perempuan tersebut mengalami sakit jiwa. Namun Frankl kembali bercakap dengannya dan menanyakan apakah dahan pohon itu menjawab pesannya. Kata sang perempuan, betul bahwa dahan tersebut menjawab pesannya. Perempuan tersebut menyatakan bahwa sang phon menyatakan “I am here-I am here -I am life, eternal life” (saya disini, saya disini, saya hidup, hidup yang abadi). Ozdemir berupaya menggarisbawahi jawaban dari sang perempuan yang membuat Frankl terkesima. Bagi Frankl, makna eksistensial itulah yang membuat manusia dapat bertahan menghadapi kehidupan yang sulit. Tanpa makna eksistensial yang kuat mustahil seorang dapat bertahan hidup dalam suasana mengerikan semacam Autzwich. Dalam kasus perempuan tersebut, Frankl menemukan contoh spesial dimana koneksi sang perempuan dengan alam (yang dinyatakan oleh sang perempuan terjadi dalam arti yang harfiah yakni dapat bercakap-cakap) memberinya makna eksistensial yang begitu kuat sehingga membuat dirinya sanggup untuk bertahan bahkan di saat ia paham hidupnya tidak lama lagi (menurut Frankl ia tahu beberapa hari kemudian akan mati).

Ozdemir menegaskan bahwa dari kisah Frankl tersebut seorang dapat menyadari makna yang sangat krusial yakni koneksi dengan alam membuat jiwa manusia mampu bertahan menghadapi kerasnya kedidupan. Dalam rumusan yang lebih sederhana ada korelasi antara relasi intim manusia dengan alam dengan kualitas jiwa seseorang. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa ada kaitan penting antara environmentalisme -khususnya dalam tradisi deep ecology– yang hendak memgembalikan relasi yang tercerai-berai antara manusia dan alam dengan tradisi psikologi yang berbicara tentang kesehatan jiwa manusia. Kisah perempuan dan dahan pohon Kacang Kastanye di Autzwich itu merupakan contoh bahwa ekopsikologi adalah satu keniscayaan.

Ozdemir melanjutkan pembahasan bahwa istilah ekopsikologi secara formal diperkenalkan oleh seorang akademisi Barat bernama Theodore Roszak dalam karyanya The Voice of the Earth. Roszak menyatakan bahwa ekopsikologi berasal dari kata Ecos Psychie Logos yang mengisyaratkan kaitan antara jiwa manusia dan alam. Namun dalam definisi yang lebih presisi Roszak menyatakan bahwa ekospikologi dibangun diatas tesis bahwa bumi adalah rumah bagi jiwa manusia. Maka implikasinya psikologi mesti membicarakan bumi yang merupakan rumah jiwa tersebut.

Ekospikologi dibangun diatas tesis bahwa bumi adalah rumah bagi jiwa manusia. Maka implikasinya psikologi mesti membicarakan bumi yang merupakan rumah jiwa tersebut.

Theodore Roszak

Dalam membangun metafor bahwa bumi adalah rumah dan rumah tersebut terkoneksi secara piskologis dengan jiwa manusia, Roszak menjadikan temuan mutakhir dalam bidang fisika untuk menyokong argumennya. Dua temuan penting yang dibicarkan Roszak adalah prinsip antropik dan teori gaia. Prinsip antropik menyatakan bahwa alam semesta telah ditala dengan begitu presisi untuk memungkinkan adanay pengamat. Dengan kata lain ada rancangan cerdas yang nampak dalam berbagai hukum-hukum fisika yang sekiranya memungkinkan kehidupan -terutama kehidupan manusia- untuk eksis. Ozdemir sendiri memberikan contoh sederhana untuk membantu mengilustrasikan prinsip antropik ini. Ia menjelaskan adanya sinar matahari yang tidak terik, adanay udara, adanya air, adanya tanah, adanya hewa dan tumbuhan yang dpaat dikonsumsi manusia adalah contoh bagaimana alam memainkan perannya sebagai rumah bagi manusia.

Roszak melangkah lebih jauh seraya menyatakan rumah ini memiliki koneksi psikologis dan timbal balik dengan eksistensi manusia. Berbasis pada teori Gaia, Roszak menyatakan bahwa betul ada keseimbangan yang memungkinkan kehidupan tetap berlangsung, namun dalam skema Gaia dikatakan bahwa ada limitasi dari mekanisme alam untuk menjaga kesetimbangan tersebut. Jika batas-batas tersebut terlewati maka yang terjadi adalah ketidaksetimbangan yang mengagnggu jalannya kehidupan itu sendiri -termasuk kehidupan manusia- lewat apa yang disebut sebagai “revenge of Gaia” (balas dendam Gaia) terhadap manusia. Dengan kata lain ada relasi timbal balik antara manusia dan alam, dimana apapun tindakan yang dilakukan kepada manusia maka akan berimplikasi balik kepada dirinya sendiri. Dalam bahasa yang lebih “metaforik,” untuk mencegah “kemarahan” Gaia (alam yang dibayangkan berkesadaran) maka manusia mesti membangun koneksi psikologis dengan alam sehingga bukannya “kemarahan” tetapi intimitas yang terjadi diantara dua entitas tersebut.

Fakta bahwa adanya alam semesta (termasuk bumi) yang menyokong kehidupan manusia tersebut bagi Roszak mendorong manusia untuk bertanya siapa sebenarnya dirinya. Mengapa ada kaitan erat antara manusia dan bumi (alam). Apa makna alam sejatinya? Apa makna manusia? Apa makna kaitan keduanya? Bagi ekopsikologi, jiwa manusia adalah jiwa yang berumah, bukan jiwa yang terpisah dari rumahnya. Maka implikasinya psikologi mesti mengambil posisi untuk menguatkan kembali koneksi antara jiwa dan rumahnya yakni bumi (alam). Alasannya menurut Roszak jika keduanya memiliki relasi yang erat maka efek tersebut juga akan kembali ke manusia, karena alam (bumi) adalah rumah manusia. Begitupun sebaliknya. Dengan kata lain apapun yang dilakukan manusia terhadap rumahnya sendiri akan mempengaruhi kehidupannya -termasuk dalam hal ini jiwa manusia, yang menjadi kajian khas psikologi-.

Karena ada relasi timbal balik yang begitu kuat antara manusia (dan jiwanya) dengan alam, maka bagi Roszak psikologi tidak bisa memisahkan diri dengan kajian environmentalisme dan begitupun sebaliknya. Roszak bahkan berani untuk menyatakan bahwa ketika ilmu psikologi memilih tidak berbicara atau tidak peduli mengenai relasi (jiwa) manusia dan alam maka itu adalah satu bentuk “lubang” yang besar dalam ilmu psikologi. Ilmu psikologi -bagi Roszak- dituntut untuk terlibat dalam upaya untuk memulihkan kembali relasi yang “sehat” antara manusia dan alam untuk memastikan kualitas dari kesehatan jiwa manusia itu sendiri. Dengan kata lain relasi “sehat” antara manusia dan alam adalah kunci bagi kesehatan jiwa.

Tesis Roszak tersebut menurut Ozdemir juga diafirmasi oleh banyak akademisi lain yang mnggeluti bidang ekopsikologi tersebut semacam Andy Fisher. Fisher menyatakan secara tegas bahwa ekopsikologi memiliki visi revisionis yakni mentransformasi teori, praktik, dan self-image disiplin piskologi itu sendiri. Dikatakan mentransformasi self-image disiplin psikologi karena sebelumnya psikologi dibangun diatas image (citra) jiwa dalam perspektif antroposentrisme yang membayangkan tidak ada koneksi apapun antara jiwa tersebut dengan alam. Bertolak belakang dengan citra jiwa tersbeut, ekopsikologi berupaya membangun citra baru tentang jiwa yang dalam “terang” perspektif ekologis. Dengan kata lain akan muncul gambaran yang sama sekali baru tentang jiwa, dan karena konsep jiwa menjadi berubah secara radikal maka transformasi yang radikal dibutuhkan pula dalam kaitannya dengan rancang bangun teori dan praktik dalam disiplin psikologi. Diantara wujud transormasi disiplin ini misalnya tergambar dari munculnya tema-tema baru semacam ecotheraphy & nature connecting, Deep ecology Depth & transpersonal psychology, dan conservation psychology & human ecology.

Selain Roszak dan Fisher, akademisi lain semacam Linda Buzzell, Craig Chalquist, David W. Orr juga percaya bahwa relasi yang bersifat emosional antara manusia dan alam adalah suatu yang normal dan bukan suatu yang aneh -kita bisa nyatakan bahwa pengalaman perjumpaan seorang perempuan dan dahan pohon kacang kastanye misalnya bukan bentuk sakit jiwa-. Bagi para akademisi tersebut, perkembangan ekopsikologi juga memiliki kegunaan untuk memperkaya diskusi lingkungan yang selama ini lebih banyak didominasi oleh perspektif “ketakutan” daripada “kebahagiaan.”

Maksudnya wacana-wacana tentang penjagaan alam misalnya seringkali dikaitkan dengan narasi tentang kelangkaan air, kepunahan spesies, peningkatan volume lautan, dan berbagai aspek yang menggambarkan masa depan yang suram. Namun dengan bantuan ekopsikologi maka wacana-wacana tentang penjagaan alam dapat dikembangkan ke arah yang berbeda dimana koneksi manusia dan alam secara psikologis adalah kunci kebahagiaan hidup misalnya. Perlu ditekankan bahwa model pertama (membangun wacana kedaruratan) bukanlah keliru, namun dari perspektif psikologi mengandalkan kepada perspektif “ketakutan” semata dapat dikatakan “kurang sehat” bagi kejiwaan manusia.

Kaitan antara kebahagiaan jiwa dengan ekologi misalnya coba dibangun oleh para eksponen ekopsikologi dengan mendasarkan pada konsep-konsep yang telah dikembangkan oleh ilmuwan psikologis di luar tradisi mereka semacam Gustav Jung. Jung misalnya dalam studinya tentang ketidaksadaran (unconsciousness) menyatakan bahwa manusia merasa kesepian (isolated) secara eksistensial karena keterkaitannya dengan alam telah terputus yang ini menyebabkan dimensi emosional “unconsciousness identity” hilang daripada dirinya. Maka bagi kalangan ekopsikologis, cara untuk keluar dari perasan kesepian eksistensial ini adalah membangun kembali emosional “unconsciousness identity” -atau diistilahkan sebagai ecological unconscious– sehingga ia dapat kembali merasakan keterpenuhan eksistensialnya dan memperoleh tenaga baru kehidupan.

Posisi teoritik para ekopsikologi ini pada gilirannya didukung secara empiris oleh studi-studi yang dilakukan oleh akademisi lain semacam Richard Louv dalam karyanya Last Child in the Woords (2005). Dalam studinya Louve menyatakan bahwa ketika anak diputus dari alam maka ternyata hal tersbeut berpengaruh kepada kesehatan fisiknya. Tercatat bahwa terjadi peningkatan fenomena ADHD, obesitas, dan catatan kesehatan yang terbilang buruk pada generasi anak-anak yang tidak pernah “berjumpa” dengan alam dan menghabiskan hidupya di kota-kota “beton.”

Begitu pula dalam karya The Nonhuman Environment: In Normal Development and in Schizophrenia yang ditulis oleh Harold F. Searles, dinyatakan bahwa sadar atau tidak alam (non human environment) memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan jiwa seseorang. Maka tidak mengherankan dalam salah satu bagian dalam buku tersbeut -sebagaimana dinyatakan Ozdemir- ada pernyataan bahwa hutan yang indah dimana mampu menyentuh hati dan membuat mana menitikkan air mata adalah satu tempat yang paut dijaga dan tidak dirusak.

Perkembangan di level teoritik dan studi-studi empiris tersebut semakin menguatkan posisi ilmiah tradisi ekopsikologi yang kini semakin menjadi “mainstream” dalam dunia akademik dimana semakin banyak buku teks dan juga program di sejumlah universitas di Barat yang menawarkan kajian baru tersebut. Satu perkembangan positif yang mestinya juga menyebar ke departemen psikologi di dunia ketiga, termasuk juga Indonesia yang bisa dikatakan masih mengadopsi paradigma “konvensional” dalam bidang studinya. Sebagi catatan, pentingnya penyebaran tradisi ekopsikologi ini bukan maknanya hegemoni keilmuan Barat tetapi justru mesti dibaca sebagai bagian dari proses dekolonisasi karena sejatinya buku ajar dan juga kurikulum psikologi di dunia ketiga selama ini juga mengacu pada model psikologi “konvensional” anti lingkungan yang dikembangkan di universitas-universitas Barat.

Setelah memaparkan tentang sejarah dan signifikansi dari ekopsikologi, maka kemudian Ozdemir membangun tesisnya sendiri mengenai ekopsikologi Islam. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, ekospikologi Islam bukan bermakna ekopsikologi khusus untuk kaum Muslim saja tetapi ekopsikologi Islam adalah ekopsikologi yang dikembangkan/ dibangun dengan mendayagunakan khazanah intelektual Islam. Ozdemir secara khusus menekankan sosok Rumi dalam pembahasan mengenai ekopsikologi Islam. Bukan maknaya hanya Rumi sajalah tokoh yang dapat diambil gagasannya bagi pengembangan ekopsikologi, namun kita bisa katakan Ozdemir memiliki dua alasan penting mengapa ia mewacanakan kaitan antara Rumi dan ekospikologi. Alasan pertama, ialah di mata Ozdemir Rumi relatif dikenal dalam tradisi pemikiran Barat bahkan diapresasi oleh tokoh besar dalam bidang psikologi Erich Fromm. Kedua, dia ingin menggugah kesadaran masyarakat Turki bahwa mereka mestinya harus lebih antusias untuk mempelajari dan mengkontekstualisasikan Rumi dalam menjawab problem-problem kemanusaiaan kontemporer dibandingkan rekan Barat mereka. Seruan ini dapat dikatakan juga beresonansi dengan umat Islam di Indonesia. Sejauh mana umat Muslim di Indonesia sudah menggali khazanah keislamannya sendiri untuk kemudian dipakai untuk berdialog dengan relitas kontemporer termasuk problem lingkungan di Indonesia? Nampaknya keadaan di Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan di Turki yang artinya semangat literasi semacam ini perlu terus digalakkan.

Terkait penerimaan Rumi di Barat, Ozdemir menyatakan bahwa sosok semacam Hegel misalnya menyebut Rumi sebagai pemikir yang excellent. Mengutip Franklin D. Lewis, salah satu pengkaji Rumi di Barat yang mengkaji Rumi sejak berusia tiga belas tahun, selain Hegel Rumi juga dikenal oleh para penyair dan pemikir besar lainnya seperti Goethe, Johnson, Emerson, Doris Lessing, Walt Whitman, Robert Grave, dan Hans Meinke. Kemudian Ozdemir beralih kepada sosok Fromm, seorang psikoanalis terkemuka, yang juga mengagumi Rumi. Menurut Ozdemir Fromm menjuluki Rumi sebagai “the great lovers of life,” dimana menurutnya tema “love of live” memenuhi karya-karyanya. Dari pengakuan Fromm, nampaknya tidak berlebihan untuk memposisikan Rumi sejajar dengan para filusuf kehidupan seperti Bergson dan Nietzche. Ia tidak seperti para pemikir Eropa yang pesimis terhadap kehidupan semacam Shopenhauer.

Tidak hanya “the great lovers of life,” Rumi juga memiliki kontribusi besar dalam memahami hakikat manusia (nature of man). Alasannya menurut Fromm Rumi membicarakan insting, konsep diri, kesadaran, ketidaksadaran, kesadaran kosmik, hingga masalah kebebasan manusia. Maka menurut Fromm, Rumi patut menjadi sumber inspirasi bagi para psikolog dan siapapun yang bergulat dengan kajian mengenai hakikat manusia dan kemanusiaan termasuk bagaimana membangun sikap positif dalam berhadapan dengan kehidupan. Ozdemir kemudian melanjutkan bahwa salah satu poin dari hakikat manusia adalah dimensi (kesehatan) spiritualnya yang dapat ditumbuhkan dengan membangun relasinya dengan alam secara intim. Poin inilah yang menurut Ozdemir salah satunya disuarakan dengan lantang oleh Mary Oliver, salah satu penyair Amerika kontemporer dalam karyanya A Thousand Mornings (2012). Oliver menyatakan bahwa Rumi mengajarkan kepada kita bahwa “there are hundreds of ways to kneel and kiss the ground” (ada ratusan cara untuk belutut dan mencium tanah). Maknanya bahwa melalui koneksi intim dengan alam dimensi spiritual akan terbentuk dalam diri manusia dan dalam arti yang positif karena dimensi spiritual itu akan membentuk identitas kosmiknya dan menjadi “lovers of life.” Tidak mengherankan Oliver mengaitkan puisi Rumi tersebut dengan dimensi teologi, meskipun ia mengaku bukanlah seorang teolog.

Ozdemir sepakat dengan posisi Oliver dan juga Fromm, dengan menyatakan bahwa Rumi memungkinkan manusia untuk mengalami kelahiran kembali dirinya secara spritual dengan cara membangun kembali koneksinya secara intim dengan alam. Alasannya menurut Ozdemir, di mata Rumi alam hakikatnya adalah ciptaan Tuhan sehingga ia adalah tanda/alamat yang memungkinkannya terhubung kepada Tuhan. Menurut Rumi, alam adalah manifestasi dari Kemahakuasaan, Hikmah, dan Pengetahuan Tuhan. Ozdemir juga menyatakan setiap daun yang ada di satu bohon dan setiap burung yang berkicau memanjatkan tasbihnya kepada Allah. Dengan kata lain makhluk di sekeliling kita adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang memiliki arti yang mendalam dibanding dengan makna “ekonomisnya” atau dalam bahasa Ozdemir setiap daun dan burung yang berkicau tersebut adalah penyampai pesan Tuhan kepada manusia. Pesan yang dimaksud ialah Kebesaran dan keagungan Tuhan yang termanifestasi dalam taman kosmik yang mengagumkan (majestic gaden).

Ozdemir juga menegaskan bahwa Rumi menyampaikan pesan pada kita bahwa alam pada hakikatnya hidup (dalam bahasa Rumi mampu mencinta dan dicintai). Dalam kaitannya dengan manusia maka alam juga mencintai manusia dan ia ingin dicintai manusia -dengan cara yang ditentukan Tuhan maksudnya, termasuk dalam hal ini larangan untuk berbuat kerusakan di muka bumi-. Dalam visi spiritual tentang dunia ini menurut Ozdemir, seorang akan melihat dunia sebagai suatu yang berwarna-warni, penuh makna, dan penuh dengan kehidupan, sebagaimana tergambar dalam puisi-puisi Rumi. Dunia semacam inilah yang menurut Ozdemir mampu disaksikan oleh seorang perempuan di kamp Nazi dan secara drastis mempengaruhi jiwanya, dimana ia menjadi seorang yang mengafirmasi kehidupan dan mampu untuk menghadapi masa-masa sulit sekalipun. Hal ini dalam konsepsi Victor Frankl adalah tanda bahwa ia memiliki jiwa yang kuat akibat sistem memakna yang kokoh pula.

Dalam kaitannya dengan ekopsikologi Islam, kita bisa simpulkan bahwa orang-orang semacam Oliver yang membaca Rumi mampu menyadari dunia penuh warna, menyadari bahwa dirinya dapat dan perlu untuk terkoneksi dengan alam, dan juga melihat pesan Ilahi di balik alam ini sehingga menjadikannya secara natural untuk mengafirmasi dimensi spiritual-kosmik dalam dirinya (sebagaimana termainifeastikan dalam puisi Rumi soal “mencium tanah”). Kasus semacam inilah yang bagi Ozdemir menjadi tanda bahwa tradisi intelektual Islam semacam karya-karya Rumi dapa menjadi basis bagi pengembangan ekopsikologi yang juga memiliki misi untuk menyambungkan kembali koneksi psikologis manusia dengan alam yang pada akhirnya berujung pada kebahagiaan manusia.

Sebagai penutup, kiranya penting untuk mengetengahkan jawaban dari Ozdemir terkait dengan pertanyaan dari seorang partisipan yang menyimak pemaparannya tentang ekopsikologi Islam tersebut. Jawaban tersebut dirasa penting karena secara implisit Ozdemir memberikan satu koneksi baru antara disiplin psikologi (ekopsikologi) dengan ilmu politik. Sang penanya bertanya bahwa problem ekologis lebih terkait dengan permasalahan struktural dimana negara dan pasar itulah yang menyebabkan kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia. Sedangkan nampaknya pendekatan psikologi lebih menyasar pada individu -dan individu dibayangkan tidak punya kekuatan besar- sehingga dirasa kurang “radikal” dalam rangka penyelamatan lingkungan.

Ozdemir menjawab pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa kini demokrasi telah menjadi satu rule of the game dalam politik global. Bagi Ozdemir demokrasi berpijak pada ide kedaulatan rakyat, dan rakyat itu terdiri dari individu-individu. Sehingga bagi Ozdemir semakin banyak individu-individu yang kembali menyadari pentingnya koneksi antara manusia dan alam (yang artinya mereka tidak akan terima dengan pengrusakan alam) akan mempengaruhi kualitas rakyat (demos) secara umum. Ozdemir melanjutkan bahwa ada dua konsep penting terkait dengan rakyat ini dalam kaitannya dengan negara dalam kerangka demokrasi yakni konsep smart citizen. Ketika rakyat mampu ditingkatkan kesadarannya tentang pentingnya relasi intim manusia dan alam bagi kebahagiaan jiwa maka ia akan menjadi smart citizen yang tidak dengan mudah “dimanipulasi” kehendaknya oleh para politisi yang berkuasa.

Ozdemir mengambil contoh Trump di AS yang pada akhirnya kalah dalam pemilu. Ketika Trump berupaya membangun wacana bahwa lingkungan tidak penting misalnya, namun warga AS makin banyak yang sadar akan pentingnya isu lingkungan maka mereka tidak akan “membeli” argumen Trump. Dengan kata lain ketika politisi berhadapan dengan smart citizen dan juga informed citizen -yang paham akan isu-isu kontemporer di sekeliling mereka- maka peluang untuk “memanipulasi” suara atau kehendak mereka akan semakin sulit. Ozdemir menekankan bahwa smart & informed citizen ini dapat ditumbuhkan secara maksimum ketika terjadi perubahan pada sistem edukasi yang semakin beorientasi pada paradigma hijau. Maka dalam konteks inilah perkembangan tradisi ekospikologi adalah salah satu perkembangan positif karena dengannya maka para pelajar psikologi yang nantinya juga menjadi praktisi dapat menjadi agent of change untuk mengembangkan kesadaran baru ini secara lebih luas di masa mendatang.

Menarik ketika Ozdemir juga menegaskan bahwa anggaplah hanya ada satu individu yang tersadarkan akan pentingnya koneksi manusia dan alam ini. Menurut Ozdemir jangan meremehkan kekuatan individu. Ozdemir mencontohkan bahwa Greta Turnberg pada awalnya seorang diri dalam memulai kampanye pro-lingkungannya. Saat itu banyak orang yang menertawakannya. Namun menurut Ozdemir ia terkejut ketika berkunjung ke Nairobi, Kenya. Ia mendapati siswa di Nairobi kenal dan mendukung aksi Greta. Ozdemir menanyakan mengapa kalian simpati kepada Greta? Mereka menjawab bahwa pesan Greta adalah pesan yang universal, satu pesan yang tidak hanya relevan untuk perempuan atau warga kulit putih saja tetapi bagi semua warga dunia. Dengan kata lain hanya satu orang saja dengan sikap positifnya mampu mengubah dunia. Pada titik ini pikiran Ozdemir paralel dengan Shiva yang menyatakan bahwa jangan menyepelekan aksi-aksi kecil di berbagai belahan dunia karena melalui aksi tersebut orang di belahan dunia lain juga dapat terinspirasi dengannya.

Bagikan yuk

Nuruddin Al Akbar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.