Covid-19 dan Jeda untuk Iklim

 Covid-19 dan Jeda untuk Iklim

Ketidakjujuran pemerintah dari awal bikin kita marah, kita juga marah dengan ketololan buzerrp rezim yang memancing di tengah lautan keruh. Lebih lebih kita jengkel dan misuh lantaran kelas menengah kota disuruh lockdown di rumah tuk memutus penyebaran virus malah memadati jalanan menuju puncak bogor untuk wisata.

Kelas menengah super bahlul yang mau cari untung terus di tengah kepanikan. Setan alas betul. Tak ada guna isolasi mandria 14 hari di rumah jika yang gerombolan liar itu kembali bergabung dengan manusia yang patuh dengan puasa bepergian.

Saran saya untuk menyelamatkan manusia lebih banyak dan populasi manusia yang lebih baik aklaknya, tutup saja tollnya jangan boleh pulang sampai hari yang benar-benar aman. Tadinya saya bikin kalimat,”… Tutup tollnya Sampai hari kiamat.” tapi saya tidak tega pula.

Kita juga marah betul karena ada manusia yang menimbun masker dan sanitizer. Bukan hanya susah dibeli tapi juga mendadak langka barangnya. Etos bobrok begini akan menyulitkan kita keluar dari kekalutan dan bencana. Apa pun bencananya mentalitas cari untung sendiri itu buruk. Juga mentalitas cari selamat sendiri dan mengorbankan liyan adalah sangat memprihatinkan. Masih ingat film Train to Buzan? Kelakuan kondektur kereta 101 itu lebih buruk dari zombi. Syukurin pula, pada akhirnya juga hancur dimakan virus zombi.

Membela Akal sehat

Niat awal coretan ini untuk sedikit membangun optimisme di tengah tragedi global covid-19 yang bisa juga disebut the common tragedy mengikuti fatwa Gareth Hardin (1968). Jika seseorang individu individu merasa aman dengan virus ini lalu membolehkan dirinya kelayapan kemana mana maka itu akan mangancan semua manusia. Ini harus disadari bahwa solidaritas sosial yang bisa memenangkan pertempuran melawan virus yang juga “sosialis-komunis” itu (baca: maksudnya menyerang siapa saja). Temanku malah bilang, covid-19 itu penganut Marxisme sejati karena bisa menginfeksi wakil presiden atau menteri sampai orang biasa.

Memang ada kesulitan tersendiri mewaraskan pikiran di tengah ekosistem yang makin timpang. Bukan hanya ketimpangan ekonomi yang sangat menganga yang membuat kebijakan lockdown akan berujung pada krisis pangan tetapi juga ketimpangan memaknai arti kehidupan dan kematian. Bagi kelas bawah, mati itu jaraknya dekat dan sehingga mereka tak terlalu khawatir nyawanya lepas dari sarang. Sementara kelas menengah atas merasa bisa membeli nyawa dari kemampuan sumber daya materialnya. Kondisi keduanya menyulitkan mengendalikan coronavirus.

Merumuskan kebijakan adalah negosiasi antar akal sehat yang berada dalam ekosistem yang kompleks. Persoalannya siapa yang paling berani dan kuat memelihara akal sehat dan tindakan benar? Saya kira pemerintah tidak dapat diandalkan dalam perkara rumit ini.

Jeda untuk ekologi

Jika mencoba jeda untuk over produksi dan konsumsi itu artinya jeda untuk mengerem laju perubahan iklim. Jeda ini sudah mutlak diperlukan karena kerusakan ekologi sudah nyata di depan mata. Kecuali rabun pemimpin negara yang menegasikan fakta-fakta penting. Kita harus keluar dari argunentasi bahwa rusaknya ekosistem ini akibat over pupulasi. Ada sejumlah kecil populasi manusia bernama oligarki yang daya rusaknya melebihi 2/3 total penduduk bumi. Karenanya kita menuntut jeda juga untuk Oligarki di tengah wabah global covid-19.

Bumi butuh istirahat, udara butuh break sejenak dari sirkulasi udara yang buruk akibat ulah industri, transportasi udara, dari aktifitas manusia yang ratusan tahun telah membangun pusat pusat kerusakan. Covid-19 mengistirahatkan banyak proses kehancuran. Kita musti bersyukur dalam batas tertentu.

Jeda untuk iklim, jeda sejenak untuk membiarkan bumi hunian manusia ini merecovery dirinya, haknya, dan rotasi takdirnya. Manusia punya fikiran jadi bisa membaca keadaan ini sebagai mekanisme ekologis mempertahankan keseimbangan.

Lockdown berbagai negara, kota kota, kampus kampus, acara acara acara akan mengurangi jatuhnya sampah sampah yang menggunung. Sebagian besar orang akan masak sendiri, mendayagunakan kekuatan lokal, pangan lokal, berhemat, bersolidaritas dengan tetangga dan komunitas, kita pasti bisa bertahan jika solidaritas sosial dan ekonomi benar-benar diberlakukan.

Saya sangat senang membaca tulisan Sinta Yudisia yang beredar di WAG. Dia menuliskan bagaimana kita harus bisa optimis dintengah kekalutan dalam artikelnya berjuduk “Hikmah Coronavirus”. Ada dua hal penting yang dituliskan terkait pagebluk ini dapat menyadarkan kesadaran ekologi menghargai alam dan juga makna tindakan adil menggunakan sumber daya alam yang ada.

Ia menuliskan:
“Kembali ke alam. Anda nggak suka jamu? Biasanya lelaki dan bapak-bapak jarang suka. Dengan kasus coronavirus, orang mulai memperhatikan kekayaan alam negeri sendiri : empon-empon. Sebagai orang Yogya (Jawa Tengah), minum jamu kunir asem, beras kencur, temulawak sudah biasa. Sebagai warga Surabaya (Jawa Timur) , sering banget menemukan anak minum sinom. Minuman ini biasa dijual di mana-mana : di kantin, rumah makan, pasar, pinggir jalan, kemasan dll. Segala tingkatan usia minum. Tapi ternyata nggak semua orang suka rasanya. Sekarang, nyaris setiap warga Indonesia mencoba mencicipi berbagai minuman yang berasal dari empon-empon. Dicampur madu juga oke. Bukankah minuman ini lebih baik daripada konsumsi minuman kemasan yang banyak mengandung zat aditif dan gula?”

Kedua tentang penghematan sumber daya. Ia mengajarkan begini :

“Berhemat sumber daya. Kita tidak tahu sampai kapan pandemic Covid-19 akan berjalan. Selama ini, kita merasa alam akan terus melayani tanpa habis. Membuang air, makanan, minuman, bahan bakar; sudah biasa kita lakukan. Sekarang, kita akan belajar untuk hidup hemat dengan apa yang ada. Makan apa yang ada, tidak perlu ikut heboh menumpuk sembako yang akan menimbulkan keriuhan. Makan masak sendiri dengan bahan-bahan yang mampu di dapat dari sekitar.”

Greta dan Pesan Tuhan

Ayat ayat kauniyah itu tak pernah habis ditulisNya. Banyak isyarat bagi manusia yang mau merenung dan memikirkannya. Mari kita lihat isyarat dari bencana, dari bumi makin panas, dari raksasa gunung es yang mencair, dari kebijakan politik omnibus di negeri ini,dari hutan, dari lautan, dan dari sampah plastik di kantin sekolah dan kampus, dan juga dapur kita yang berenergi neraka. Ada banyak kebrutalan yang tak disadari secara cepat.

Dalam agama Hindu mengenal nyepi, dalam iSlam dikenal juga puasa, dimana ibadah ini adalah cara bertahan dari kehancuran, cara spirituak memperkuat daya tahan dari overdosis produksi atau konsumsi yang dapat menghancurkan. Covid-19 selain mengajarkan pentingnya jeda untuk kesetimbangan alam semesta, juga membenarkan bahwa agama agama dapat memperbaiki hubungan manusia dengan alam semesta termasuk dalam menghadapi corona ini. Di Bali Masyarakat terlatih nyepi sebagai jeda dari kerusakan yang tak terkendali. Ummat Islam seharusnya juga terlatih untuk menahan diri (berpuasa) dari segala godaan duniawi sehinggga di masa krisis harapannya ummat islam menjadi solusi, bukan malas jadi perkara yang menyebalkan.

Lewat greta Thunberg, remaja Swedia itu beberapa bulan lalu manusia diajak jeda, berhenti memperkosa alam semesta. Ada yang dengar ada yang tidak. Saya kira itu isyarat tuhan untuk manusia sebelum akhirnya benar benar harus jeda dengan corona.

Yuk jeda untuk bumi milik bersama. Bismillah.[]

Bagikan yuk

David Efendi