Aktivisme Siber dalam Gejayan Memanggil, Ulasan Buku

 Aktivisme Siber dalam Gejayan Memanggil, Ulasan Buku

Judul : Cyber-Activism dalam Gerakan Sosial Baru; Sebuah Riset tentang Gerakan Gejayan Memanggil Yogyakarta (2021)
Penulis : Sanny Nofrima
Dimensi: 12×18 cm, xiv+118 halaman
Penerbit: Rua Aksara, Bantul

Saya akan mengulas buku Cyber-Activism dalam Gerakan Sosial Baru. Ada dua hal yang ingin saya bicarakan. Pertama, keberhasilan buku ini menganalisis sebagian aspek dari gerakan solidaritas kaum muda bernama Gejayan Memanggil melalui analisis big data dan gerakan mahasiswa.

Kedua, sembari menunjukkan pada pembaca arti penting buku ini, saya juga akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada cara buku ini membangun konsep cyber-activism, gerakan sosial baru dan teorinya sendiri mengenai mobilisasi sumber daya.

Apa itu Gejayan Memanggil?

Gejayan Memanggil adalah istilah untuk gerakan aksi massa penolakan rangkaian pembahasan dan penetapan sejumlah regulasi yang dianggap mengancam demokrasi, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada rentang 22 September 2019 hingga 1 Oktober 2019. Gejayan Memanggil adalah rangkaian awal dari apa yang kemudian disebut Gerakan Mosi Tidak Percaya.

Istilah Gejayan Memanggil makin populer berkat dipergunakan secara masif dalam bentuk tagar (tanda-pagar) di media sosial, khususnya Twitter. Maka, istilah ini selain merujuk pada manifestasi aksi massa di ruang publik yang berlangsung pada tanggal 23 September dan 30 September, juga untuk tren penggunaan tagar #GejayanMemanggil di media sosial.

Dalam buku ini, Gejayan Memanggil dianggap berakar secara historis dari peristiwa Gejayan pada Jum’at 8 Mei 1998 berupa demonstrasi penurunan Soeharto (hlm.23). Gejayan sendiri adalah nama populer untuk area sekitar jalan Affandi, Yogyakarta, terutama pertigaan jalan Affandi dan jalan Colombo. Lokasi gerakan Gejayan Memanggil pada 2019 terpusat di pertigaan ini.

Gejayan Memanggil menginspirasi gerakan aksi massa lain di seantero kota-kota di Indonesia dengan tagar yang kian meluas berupa Mosi Tidak Percaya. Merata terjadi di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Ambon, NTT, NTB, hingga Papua. Maka, Gejayan Memanggil identik sebagai gerakan mahasiswa dan solidaritas masyarakat sipil.
Momen gerakan ini meneguhkan kesungguhan ekspresi politik mahasiswa adalah ketika Muhammad Randi, Aktivis IMM dan mahasiswa Universitas Halu Oleo jadi korban meninggal dalam rangkaian gerakan aksi massa di Kendari pada 26 September 2019. Randi meninggal akibat reaksi penembakan membabi-buta aparat kepolisian dalam menangani aksi massa nir-kekerasan.

Tragedi penembakan ini bahkan membuat organisasi Islam terbesar di Indonesia turut bersuara. Dalam rilis resmi (No.02/PER/1.0/1/2019) PP Muhammadiyah mengecam penembakan dan meminta kepolisian menindak anggotanya yang jadi pelaku penembakan.

Gejayan Memanggil diterima luas sebagai gerakan sosial yang baru dan unik. Media massa seperti majalah Tempo (30/9/2019) memuji Gejayan Memanggil sebagai gerakan sosial yang berhasil menghimpun solidaritas lintas batas dan mengedepankan ekspresi nir-kekerasan. Majalah Suara Muhammadiyah (edisi 20/2019) menyebut rangkaian gelombang aksi mahasiswa, termasuk Gejayan Memanggil, sebagai “keberanian kaum muda.”

Gejayan Memanggil dan gerakan aksi mahasiswa pada akhir 2019 ini adalah contoh krusial letupan kekecewaan terhadap modernitas dan pembangunan yang gagal melindungi kepentingan publik. Gejayan Memanggil menjadi gerakan sosial baru berkat keberhasilannya memobilisasi, menghimpun atau mengkonsolidasikan ekspresi depresional warga muda terhadap stagnasi dan dekadensi kehidupan sosial, ekonomi dan politik, merangkumnya menjadi aksi yang fleksibel dan meluas meski penuh resiko.

Menelusuri Cyber-Activism

Buku ini menyajikan pada pembaca metode untuk membaca cyber-activism melalui produksi tagar (akronim tanda-pagar) dan wawancara dengan aktivis mahasiswa, serta media pembentuk preferensi pembicaraan di media sosial dan internet. Perpaduan tiga hal ini setidaknya cukup untuk mengantarkan pembaca pada gambaran umum seputar dinamika media sosial dan internet yang membentuk aktivisme dalam Gejayan Memanggil.

Secara tidak langsung, konsep cyber-activism dalam buku ini berarti suatu bentuk agensi dalam pemanfaatan media sosial digital untuk memproduksi, menyebarkan dan mengakumulasi kritik publik. Definisi ini memang tidak disebut eksplisit dalam buku ini (tapi implisit dalam kerangka teori yang dipakai). Jika pembaca mengikuti alur kasus yang dianalisis (hlm. 33-37, 65, 84-87), dan alur berpikir yang disajikan sepanjang buku, kita akan sampai pada kesimpulan demikian.

Gejayan Memanggil membekas dalam benak banyak orang. Gerakan ini berkembang demikian dahsyat dari sekedar unggahan pendek di Twitter menjadi aksi massa nir-kekerasan terkonsolidasi.

Dalam buku ini, sebagaimana nanti akan saya uraikan lengkap di bawah, berupaya menelusuri cara-cara mobilisasi massa dalam aksi massa Gejayan Memanggil. Media sosial Twitter telah memungkinkan kombinasi aktivisme berbasis perang tagar, unggahan konten teks, audio, visual dan manifestasi aksi massa saling menopang (hlm. 65-69).

Gejayan Memanggil sebagai satu varian dari cyber-activism adalah kombinasi dari perilaku dan ruang sosial baru berkat kehadiran media komunikasi berbiaya murah, lintas batas dan lentur. Habitus dan arena baru ini ditopang oleh melimpahnya informasi dan psikologi kekecewaan pada otoritas politik eksekutif dan legislatif.

Konsep Cyber-Activism?

Dalam buku ini, konseptualisasi yang paling mungkin dari cyber-activism setidaknya dibentuk oleh dua syarat. Pertama, ada jenis agensi baru yang lahir dari atau terbentuk akibat habitus produksi dan konsumsi informasi digital. Kedua, sebagai rangkaian yang masih sama dengan syarat pertama adalah kapasitas mengubah media sosial menjadi perantara koalisi sekaligus alat kampanye secara spontan atau reaktif.

Maka, cyber-activism adalah skema habitus gerakan sosial yang dihasilkan dari kombinasi perilaku-perilaku agensi dalam produksi, konsumsi dan cara baru menanamkan kepentingan publik di media sosial.

Dalam banyak studi, baik pada awal perkembangan atau tahap penerimaan internet, cyber-activism adalah bagian dari variasi kehidupan siber personal. Sehingga, cyber-activism mencakup gerakan individual, kolektif atau komunal, berbasis ideologi atau tren perhatian publik, dan berbasis otoritas aktivisme yang lama atau baru. Bentuk eksplisit cyber-activism adalah solidaritas, jaringan dan kemajemukan ekspresi.

Manuel Castell, dalam The Network Society (2004) menulis “internet mengurangi gesekan ruang, waktu dan biaya yang diperlukan untuk berkomunikasi melintasi jarak [..] pengurangan gesekan ruang, dikombinasikan dengan akses ke populasi besar yang heterogen, memfasilitasi kemampuan individu untuk membentuk hubungan yang sebelumnya tidak dapat dijangkau” (hlm. 218).

Jika kita memperluas konsep cyber-activism dengan cara Weberian, maka istilah ini bisa bermakna aktivisme tanpa perlu saling kenal latar belakang antar tiap orang. Setiap akun dan isi pembicaraan di media sosial punya peluang diidentifikasi sebagai bagian dari wacana yang tengah diarusutamakan atau diabaikan sama sekali. Para aktivis siber ini tidak perlu terhubung atas dasar latar belakang, tapi kesamaan minat dan emosi pada objek.

Cyber-activism harus diperhatikan sebagai akumulasi dari aktivisme yang terbentuk oleh massifikasi informasi melalui internet dan media sosial. Modalitas penting dalam cyber-activism adalah informasi atau pengetahuan yang melimpah, murah atau gratis. Massifikasi informasi memungkinkan produk-produk visual, audio dan teks bertema keadilan sosial, ekonomi dan politik mudah dijangkau dan diakses.

Jadi, basis empiris aktivisme digital atau siber dalam konteks Gejayan Memanggil adalah ledakan informasi yang membentuk habitus produksi serta konsumsi informasi. Sebagai berkah dari peningkatan populasi pascareformasi, warga atau kaum muda menjadi “bumiputri/a” asli dari dunia siber. Kebiasaan baru mereka telah memindahkan cara mengekspresikan pembelaan kepentingan publik muncul di ruang digital.

Aktivisme atau ekspresi pembelaan sosial tidak lagi membutuhkan cara kerja konvensional, yang berbiaya langsung (mengumpulkan orang diskusi atau ikut rapat fisik perlu tenaga ekstra, dengan efektifitas yang tidak bisa dipastikan), perlu desain yang matang (perlu organisatoris lapangan, pembekalan isu dan ideologi) dan menyita waktu (rapat yang menguras waktu, pikiran dan tenaga). Sementara itu, aktivisme siber memungkinkan partisipannya mengikuti perkembangan isu secara aktual tanpa harus mengorbankan aktivitas sehari-hari. Inilah ciri kehidupan personal era ruang siber menurut Castell.

Agensi/Aktor dalam Gejayan Memanggil

Untuk kebutuhan analisis, buku ini memilih fokus pada jenis agensi yang secara empiris terstruktur dan punya basis massa di kalangan kaum muda urban berlatar perguruan tinggi. Di antaranya adalah gerakan mahasiswa yang lahir dari situasi pergolakan pencarian identitas demokrasi sejak era awal formasi negara hingga era reformasi.

Ada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, berdiri tahun 1961), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO, pecahan HMI, berdiri sebagai kubu terpisah pada 1986), HMI Diponegoro (HMI DIPO, sebagai kubu terpisah pada 1986), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI, berdiri 1954), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI, berdiri 1998).

Sebagai catatan tambahan. Selain gerakan mahasiswa sebetulnya ada pula agensi/aktor lain berupa gerakan atau organisasi non-pemerintah (LSM/Ornop) yang disinggung dalam buku tapi tidak termasuk unit analisis. Misalnya, Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI, berdiri 1980), Rifka Annisa Women’s Crisis Center (berdiri 1993), dan koalisi lentur antar aktivis LSM baik personal atau organisatoris.

Tentu saja ada banyak jenis agensi/aktor yang terlibat. Termasuk aktivis dari organisasi keagamaan, aktivis media, akademisi kampus dan aktivis isu-isu urban. Bahkan komunitas-komunitas literasi yang terdiri atas komunitas perpustakaan alternatif, para pegiat buku, penerbit, hingga para kolumnis muda.

Gerakan Sosial Baru, Mobilisasi Sumber Daya dan Big Data

Apa definisi agensi/aktor lama dan baru? Buku ini misalnya mendefinisikan gerakan sosial lama sebagai politik ideologi. Sedangkan gerakan sosial baru lebih merupakan varian cara mobilisasi massa melalui media sosial yang juga baru.

Dengan landasan teoretis yang terbatas, Gejayan Memanggil dalam buku ini diletakkan sebagai gerakan sosial baru berkat pemanfaatan internet dan media sosial sebagai sarana mobilisasi massa (hlm. 32-40).
Tapi apa yang perlu diperhatikan dalam buku ini adalah upayanya meneliti fenomena Gejayan Memanggil sebagai gerakan sosial baru melalui pendekatan analisis big data. Pengumpulan data dalam buku ini menggunakan aplikasi Nvivo 12 Plus dan Ncapture Google. Dua aplikasi ini digunakan untuk menganalisis big data berupa sebaran kata kunci #GejayanMemanggil di media sosial dan internet.

Buku ini menyajikan peta-peta mobilisasi sumber daya gerakan mahasiswa (aktor, media, pengetahuan, tenaga kerja, dan uang), media yang berpengaruh pada mobilisasi media (akurat.co, cnnindonesia.com, iNews.id, krjogja.com, okezone.com, rmol.id, tempo.co), isu-isu dalam Gejayan Memanggil (gender, lingkungan hidup, HAM, penolakan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, penolakan RUU Ketenagakerjaan, penolakan RUU Minerba, penolakan RUU Pertanahan, desakan pengesahan RUU PKS, penolakan revisi UU KPK, dan RUU KUHP).

Tidak ada penjelasan mendalam mengenai konsep sumber daya dalam buku ini. Misalnya, mengapa mendefinisikan anggota-anggota gerakan mahasiswa sebagai “tenaga kerja”? Atau, yang sangat krusial adalah definisi “uang”? Mengapa tidak disebut sebagai kapasitas finansial atau modalitas ekonomi saja kalau yang dimaksud adalah dari mana dana aksi terhimpun.

Mengapa “tenaga kerja” dan “uang” menjadi variabel krusial? Sebab keduanya adalah indikator untuk membaca apa yang dimaksud mobilisasi sumber daya. Apalagi kalau untuk menuju simpulan Gejayan Memanggil sebagai gerakan sosial baru, kita perlu membuktikan terlebih dahulu makna dari setiap indikator dalam mobilisasi sumber daya.
Sebagai perbandingan, berdasarkan hasil analisis di buku ini (hlm. 33), variabel “tenaga kerja” dan “uang” tidak selalu jadi faktor penting. GMNI misalnya dapat skor 25 % pada mobilisasi media, tapi tidak pada “aktor”, “pengetahuan”, “solidaritas” “tenaga kerja” dan “uang” (hlm. 33). Begitu pula pada HMI DIPO, perolehan 25% pada media, sedangkan pada lima indikator lain nol. IMM DIY dan HMI MPO Yogyakarta lebih stabil untuk semua indikator.

Apa artinya data ini untuk menjawab dua pertanyaan berikut: (1) di mana letak unik dan khas bagi gerakan sosial baru dari perspektif konsep mobilisasi sumber daya? (2) apa arti ketimpangan dalam indikator-indikator mobilisasi massa dari setiap gerakan mahasiswa yang dianalisis? Sayang sekali buku ini tidak menjawabnya dalam satu bab khusus. Sehingga rangkuman simpulan atau hasil penelitian awal yang berharga dan berani ini hadir secara parsial.

Penutup
Buku ini menawarkan pendekatan gerakan sosial baru melalui analisis big data untuk membaca fenomena Gejayan Memanggil. Berkat lanskap media sosial dan internet, Gejayan Memanggil menjadi wadah identifikasi dan konsolidasi gerakan lintas struktur, identitas dan latar belakang.

Meskipun pada derajat tertentu belum mencukupi keandalan dan keajegan, upaya menggunakan analisa big data ini perlu diapresiasi. Setidaknya sebagai eksperimen awal. Dan, untuk batas tertentu, sudah menunjukkan potensi keandalan untuk menyajikan kompleksitas data jejaring antar agensi/aktor dan implikasi dari mobilisasi massa via internet dan media sosial.

Adapun batasan yang masih perlu dipecahkan adalah untuk menghubungkan tiga benang merah ini: gerakan mahasiswa, gerakan sosial baru dan aktivisme siber. Sepintas, seperti sudah terjadi begitu saja relasi antara ketiga konsep ini. Tapi dalam tingkat analisis, sebagaimana juga kita temukan di buku ini, akan ada area abu-abu untuk menghubungkannya satu sama lain.

Inilah tugas bagi pemerhati, pengamat dan periset untuk studi gerakan sosial baru di Indonesia. Kekuatan mengabstraksi fenomena sosial dan meletakkannya secara kreatif dalam lanskap perubahan perilaku produksi atau konsumsi konten digital menjadi kunci bagi masa depan studi di bidang ini.

Bagikan yuk

Fauzan A Sandiah