Sadabo Ake, Cara Warga Topo Menghargai Air

“Jika ada keajaiban di planet ini, itu terkandung dalam air”
–Loren Eiseley–
Air merupakan unsur yang memiliki peran paling penting dalam kehidupan setiap mahluk hidup termasuk manusia. Dengan bertambahnya penduduk yang sangat cepat, kebutuhan akan air pun semakin meningkat. Namun sumber air yang tersedia tidak bertambah, bahkan cenderung berkurang akibat pengelolaan yang salah. Kerusakan lingkungan dan pencemaran air yang meningkat serta jaminan akan tersedianya air tawar yang bersih juga telah berkembang menjadi isu global.
Kebutuhan akan air bersih masyarakat umumnya di suplay oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Namun hingga saat ini, tidak semua masyarakat memperoleh air bersih dari PDAM sehingga untuk mendapatkan air bersih diperoleh dari air tanah. Pemanfaatan air tanah untuk keperluan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga merupakan hal yang wajar dan aman karena air tanah akan terisi kembali pada saat musim hujan.
Namun, akan menjadi berbahaya ketika terjadi eksploitasi berlebihan terhadap air tanah. Misalnya, terlalu banyak pihak yang menggunakan air tanah seperti pihak-pihak yang tidak berlangganan PDAM dan industri-industri kecil maupun besar yang membutuhkan banyak air setiap harinya. Parahnya lagi, ketika lahan-lahan padat vegetasi dialihfungsikan menjadi gedung-gedung beton. Maka semakin mempersulit penyerapan air hujan ke dalam tanah, sehingga menimbulkan krisis air bersih.
Salah satu solusi sederhana untuk mengatasi ancaman krisis air bersih bagi masyarakat yaitu dengan menerapkan metode Rainwater Harvesting (Pemanenan Air Hujan). Terlebih lagi masyarakat yang mendiami dataran tinggi yang tidak memiliki sumber mata air (air tanah), serta tidak dijangkau oleh PDAM. Maka metode memanen air hujan merupakan pilihan alternatif untuk mengatasi ancaman krisis air.
Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting) adalah teknik pengumpulan dan penampungan air hujan ke dalam tangki atau waduk. Air hujan dialirkan melalui pipa-pipa penghubung atau talang air yang di pasang di atap-atap rumah menuju tempat penampungan di bawahnya. Sebelum masuk ke tangki penampungan, air hujan disaring terlebih dahulu melalui tabung filter untuk menetralisir kotoran.
Apalagi di tengah kondisi perubahan iklim saat ini, pemanenan air hujan sangat bijak untuk dilakukan. Karena memanen air hujan dapat mengoptimalkan pemanfaatan air hujan yang selama ini terbuang sia-sia. Di samping itu, teknologi ini terbilang cukup murah dan mudah di terapkan dibanding teknologi lain, misalnya teknologi desalinasi air.
Menurut Agus Maryono (2020), memanen air hujan merupakan bagian dari drainase ramah lingkungan pada bagian tampung dan resapkan. Air hujan ditampung untuk dipakai sebagai sumber air bersih dan perbaikan lingkungan hidup, dan di resapkan untuk mengisi air tanah. Efek memanen air hujan diantaranya ialah berkurangnya banjir, kekeringan, masalah air bersih, penurunan muka air tanah, dan masalah lingkungan lainnya.
Sadabo Ake, Memanen Air Hujan
Sadabo ake merupakan kata dalam bahasa Tidore yang memiliki arti “menampung air”. Menampung air yang dimaksud adalah menampung air hujan (memanen air) yang jatuh dari atap rumah. Penggunaan istilah ini bisanya digunakan oleh masyarakat yang mendiami dataran-dataran tinggi di Pulau Tidore yang kerap mengalami kekurangan air bersih ketika memasuki musim kemarau.
Salah satu komunitas masyarakat yang masih mempertahankan kebiasaan tersebut adalah masyarakat di Kelurahan Topo. Sekilas, Kelurahan Topo merupakan sebuah perkampungan di Pulau Tidore. Perkampungan yang terkenal dengan komoditas bawang topo (bawang merah) dan jeruk sabalaka (jeruk manis varian keprok) ini masih mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Bagi masyarakat Topo, bergantung pada ketersediaan air hujan bukan tanpa sebab. Karena secara umum, topografi perkampungan ini berada di atas ketinggian 500 MDPL dengan kemiringan lereng termasuk dalam kategori agak curam, yaitu antara 15-25%. Di samping itu, di kawasan perkampungan Topo juga tidak terdapat sumber mata air bawah permukaan tanah (groundwater) yang dapat dimanfaatkan. Sehingga memanen air hujan menjadi satu-satunya pilihan alternatif bagi masyarakat setempat.
Memang, di kelurahan yang menjadi cikal-bakal lahirnya koperasi Bobato ini proyek pemasangan instalasi air oleh PDAM telah rampung beberapa tahun lalu. Tetapi sampai saat ini, proyek yang menelan anggaran cukup besar itu belum dapat dimanfaatkan hasilnya oleh masyarakat. Alhasil, ketika memasuki musim kemarau dan persediaan air di bak-bak penampung mulai berkurang, masyarakat biasanya mengambil (membeli) air dari pesisir yang diantar menggunakan mobil tangki.
Untuk mengatasi ancaman kelangkaan air (water scarcity) maka masyarakat Topo biasanya memanen air ketika musim hujan. Bagi masyarakat Topo, aktivitas sadabo ake untuk menampung air hujan sebenarnya telah dipraktekkan sejak lama dan diwariskan secara turun temurun. Walaupun demikian, tidak ada referensi atau rujukan yang jelas terkait kapan tepatnya praktek konservasi air di mulai.
Tetapi, jika dilihat dari kondisi geografis di mana di kelurahan Topo sendiri tidak memiliki sumber mata air bawah permukaan tanah. Maka dapat diasumsikan bahwa masyarakat Topo yang mendiami kawasan tersebut sedari awal memang sudah memanfaatkan air hujan untuk keperluan keseharian mereka, baik untuk mandi, mencuci, maupun untuk kebutuhan konsumsi seperti memasak. Suatu cara bijak memanfaatkan air oleh masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani itu.
Metode Konservasi Air
Kebiasaan warga Topo secara turun-temurun dalam aktivitas sadabo ake ketika musim hujan jika dikaji secara ilmiah sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mencegah terjadinya erosi tanah. Sebagaimana telah diuraikan di atas, sebagai perkampungan yang memiliki kemiringan lereng cukup curam, hal ini membuat air hujan yang jatuh tanpa ditampung akan semakin mempercepat proses pengikisan tanah.
Air limpasan yang langsung mengenai tanah dapat menyebabkan terjadinya erosi, apalagi dengan intensitas hujan yang cukup tinggi serta kurangnya vegetasi yang dapat memperlambat dampak erosi. Selain itu, air hujan yang jatuh tanpa ditampung akan menyebabkan terjadinya jalur-jalur aliran air. Ketika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan membentuk “sungai” di dalam suatu perkampungan.
Berdasarkan UU nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan, sumber air harus dilindungi, serta diamankan, dipertahankan, dan dijaga kelestariannya, agar dapat memenuhi fungsinya. Perlindungan sumber daya air dilakukan dengan melakukan usaha penyelamatan air, pengendalian dan pengamanan daya rusak air, pencegahan terjadinya pencemaran air, serta pengamanan terhadap bangunan pengairan.
Berbicara soal konservasi air, pada prinsipnya kita sedang berbicara soal bagaimana penggunaan dan pemanfaatan air hujan yang jatuh ke bumi seefisien mungkin dan memastikan ketersediaan air pada musim kemarau. Dengan adanya konservasi air ditujukan tidak hanya meningkatkan volume air, tetapi juga meningkatkan efisiensi penggunaannya, sekaligus memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukannya.
Secara ekologis, terdapat empat alasan mengapa memanen air hujan atau sadabo ake oleh warga Topo sangat penting untuk konservasi air. Mengutip Janette Worm (2006), salah satu alasan memanen air hujan sangat penting untuk konservasi air, karena sumber air lain biasanya jauh dari rumah atau komunitas pemakai. Dengan mengumpulkan dan menyimpan air dekat rumah akan meningkatkan akses terhadap persediaan air dan berdampak positif terhadap kesehatan serta memperkuat rasa kepemilikan pemakai terhadap sumber air alternatif ini.
Sumber air yang jauh dari rumah atau komunitas pemakai inilah yang dihadapi warga Topo. Sehingga bagi warga Topo, cara menghargai air yang kadang langka di musim kemarau hanya dapat dilakukan dengan memanen air hujan. Bahkan di setiap rumah warga masing-masing memiliki bak penampung yang ukurannya cukup besar.
Dari uraian di atas jelas bahwa cara menghargai air yang diperlihatkan dan dipraktekkan masyarakat Topo selama ini dengan cara memanen air hujan, layaknya menjadi role model bagi masyarakat di daerah-daerah lain yang kerap diperhadapkan dengan masalah kelangkaan air. Masyarakat Topo memang tidak memiliki sumber air bawah permukaan tanah. Tetapi, bagaimana pun juga, jika hujan yang meneteskan titik-titik air adalah rahmat Tuhan, kenapa rahmat itu kita buang sia-sia.
Diakhir tulisan ini, kiranya bencana krisis air bersih yang melanda Iran dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih menghargai sumber daya air. Dilansir Sindonews.com (21/07/2021), aksi protes krisis air di barat daya Iran kembali memakan korban jiwa, setidaknya tiga orang tewas dalam aksi menuntut keadilan atas air di negeri yang kaya minyak tersebut.
Air memang bukan minyak yang membuat pemiliknya bisa menjadi orang terkaya di dunia. Air juga bukan emas yang memiliki nilai jual tinggi dan dapat diinvestasikan. Tetapi air dapat menyebabkan terjadinya peperangan dan pembunuhan ketika sumber air mulai langkah, sedangkan semua orang terdesak membutuhkannya.