Resensi Buku Etika Lingkungan Hidup

 Resensi Buku Etika Lingkungan Hidup

Keraf dalam bukunya mengambil banyak pemikiran yang disampaikan oleh Arne Naess mengenai deep ecology. Pemikiran yang disampaikan tersebut menjadi sebuah komitmen yang dijalankan Keraf dalam menjalani kegiatan di bidang pemerintahan secara umum maupun di bidang lingkungan hidup secara khusus.

Dijelaskan oleh pernyataan Keraf, salah satu pembaruan bentuk UU tentang Lingkungan Hidup yaitu UU no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup dari semula UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup mengadopsi beberapa pemikiran yang terkandung dalam bukunya tsb. Terutama pada paradigma biosentrisme dan ekosentrisme maupun tentang bagaimana mengimplementasikan paradigma pembangunan berkelanjutan ataupun paradigma keberlanjutan ekologi, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam buku Keraf ini dimana salah satu pemikirannya mengadopsi dari buah pikiran Arne Naess menjadi acuan pembentukan regulasi baru mengenai kebijakan lingkungan hidup khususnya. Dalam UU 32 tahun 2009 ini menjadi loncatan besar bagi Indonesia dan juga upaya masyarakat bersama untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup di Indonesia. Keraf menjelaskan bahwa untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai instrument hukum yang mewajibkan untuk mengatur bagaimana caranya mengimplementasikan paradigm pembangunan berkelanjutan melalui instrument Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), AMDAL, izin lingkungan, sampai pada pengawasan dan penegakkan hukum yang jauh lebih ketat. Ini dimaksudkan untuk memastikan terjembataninya kepentingan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di satu pihak dan kepentingan perlindungan lingkungan hidup di pihak yang lain.

Keraf dalam bukunya tersebut memberikan penekanan bahwa pentingnya untuk memahami persoalan lingkungan hidup dengan sebuah etika. Lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis, namun krisis global yang dialami saat ini merupakan persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Keraf menjelaskan kembali bahwa kasus lingkungan hidup yang terjadi saat ini baik pada lingkup global ataupun nasional sebagian besar berasal dari manusia yang tidak bertanggung jawab setelah memanfaatkan karena hanya mementingkan diri sendiri. Dalam buku ini Keraf mengambil pemikiran Naess yang memberikan solusi bagaimana cara mengatasi krisis lingkungan hidup tersebut, yaitu dengan cara melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Diperlukan pola serta gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut individu, namun budaya masyarakat secara keseluruhan. Oleh Karena itu dibutuhkan etika lingkungan yang menuntun manusia untuk bagaimana berinteraksi dengan alam.

Buku ini secara jelas memberikan bagaimana memahami etika lingkungan hidup berdasarkan dua jenis etika, yaitu biosentrisme dan ekosentrisme. Dua etika tersebut merupakan buah pemikiran yang lahir dari adanya kritik terhadap paham antroposentrisme. Etika tersebut dipandang melahirkan sebuah kesalahan cara pandang. Terdapat tiga kesalahan fundamental dari cara pandang ini. Pertama, manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial, yang eksistensi dan identitasnya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Manusia tidak dilihat sebagai makhluk ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam. Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Dalam paham ini hanya manusia yang merupakan pelaku moral, yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. Etika tidak berlaku bagi makhluk lain. Ketiga, cara pandang atau paradgima ilmu pengetahuan dan teknologi modern dikembangkan dan diarahkan hanya demi ilmu pengetahuan, sehingga akan melahirkan sikap dan perilaku manipulative dan eksploitatif terhadap alam. Kesalahan cara pandang ini pada intinya adalah etika masih dibatasi hanya berlaku bagi manusia, alam dan segala isinya masih tetap diperlakukan sebagai alat bagi manusia. Oleh karena itu kelemahan cara pandang tersebut dikritik melalui paham biosentrisme dan ekosentrisme, manusia dipandang juga sebagai makhluk biologis dan ekologis bukan hanya sebagai makhluk sosial. Yang artinya manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai manusia utuh dan penuh, tidak hanya dalam komunitas sosial tetapi juga dalam Komunitas Ekologis, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta.

Selain memberikan penjelasan terkait teori-teori etika lingkungan hidup, buku ini juga menjelaskan topik-topik terkait kebijakan ekonomi dan politik. Keraf menjelaskan bahwa komitmen moral pemerintah sangat diperlukan bagi perlindungan lingkungan hidup. Komitmen moral yang diperlukan terutama, pertama, untuk memberi tempat sentral kepada perlindungan lingkungan hidup dalam keseluruhan kebijakan pembangunan nasional. Kedua, komitmen moral diperlukan untuk membangun pemerintah yang bersih dan baik, yang memungkinkan pemerintah lebih serius dalam menjaga lingkungan hidup, termasuk secara konsekuen mengimplementasikan kebijakan perlindungan lingkungan hidup. Ketiga, komitmen pemerintah terhadap pembangunan yang pro terhadap lingkungan, tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Bagaimana cara merealisasikan etika baru ini ? terkhusus menurut pemahaman ekosentrisme, Keraf mengambil cara pandangan Arne Naess yang menjelaskan bahwa etika baru tersebut memerlukan komitmen bersama yang bersinergi menjadi sebuah gerakan bersama secara global dengan melibatkan semua kelompok masyarakat untuk bisa bersama-sama membangun budaya baru, etika baru, gaya hidup baru yang disebut Naess sebagai ecosophy, yang merupakan sebuah gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk menjadikannya tempat nyaman bagi semua kehidupan. Gerakan bersama tersebut sangat diperlukan, karena krisis ekologi yang ada saat ini sudah sampai tahap mengancam kehidupan di muka bumi ini. Karena itu gerakan etika baru tadi merupakan sebuah keharusan moral yang mencoba menyelamatkan krisis ekologi yang sama artinya dengan menyelamatkan kehidupan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengubah pola hidup sebagai individu maupun kelompok.

 

*Penulis: Muhammad Naufal Rofi, mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY

Bagikan yuk

Rumah Baca Komunitas