Partai dan Gerakan Filantropi di Indonesia
*Artikel ini adalah bagian dari presentasi rancangan riset pada Pekan Riset RBK.
Oleh: Mia Miasih
Pegiat RBK & Mahasiswi Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Tulisan ini berangkat dari pertanyaan bagaimana gerakan filantropi yang tumbuh subur pada dekade 1990-an memiliki hubungan dengan partai politik di Indonesia. Gerakan filantropi dengan demikian tidak dapat dianggap sekedar agenda partisipasi humanitarian keagamaan tapi juga inheren dalam proses politik kelompok Islamis (Lih, Greg Fealy, 2012). Apakah ada patronase politik yang dimainkan oleh lembaga filantropi terutama yang berhubungan dengan partai politik? Jika ada bagaimana hal itu dapat berlangsung? Tulisan ini akan mengeksplorasi pertanyaan pertanyaan di atas. Dalam hal ini kita bisa melihat proses demokrasi dan pembangunan merupakan satu-kesatuan yang tidak akan pernah terpisahkan khususnya dalam memberikan jaminan kesejahteraan nasional. Di era kontemporer terlebih menjelang kontestasi politik elektoral dengan segala kecangihan digital media aktif memberitakan adanya aktivitas filantropi yang dilakukan oleh beberapa kalangan lembaga baik berbasis negara maupun berbasis masyarakat sipil (civil society), partai politik, korporasi atau CSR (Corporate Social Responbility), dan media massa (pers). Kekuatan gerakan filantropi dapat menjadi isu populis di kalangan masyarakat dimana hal ini mengundang antusiasme publik untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional berbasis advokasi dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam beberapa aktor penggerak filantropi di atas, saat ini ada salah satu lembaga filantropi nasional yakni Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) merupakan salah satu lembaga filantropi nasional sejak masa orde baru terafiliasi dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), bergerak dalam pelayanan kesejahteraan sosial. Namun, karena lahirnya lembaga filantropi ini berkaitan dengan PKS, PKPU kerap dianggap bagian dari pencapaian agenda sosial partai. Gerakan yang dilakukan PKPU dan PKS dengan persamaan ideologi Islam membuat arah gerakan yang dilakukan PKPU cenderung sejajar mengikuti organisasi induknya. Selain kemampuan PKS menginisiasi lahirnya lembaga filantropi (PKPU) sebagai partai Islam telah banyak memiliki afiliasi sayap partai di antaranya kelompok tarbiyah, organisasi segmen mahasiswa KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), dan beberapa lembaga berbasis Islam lainnya dapat dijadikan mitra kerja sosial-kemanusiaan. Dalam hal ini patut di apresiasi PKS sebagai parpol yang sangat responsif merespon masalah sosial dan kemanusiaan serta melalui strategi politik dengan motto berkhidmat dan profesional telah membuktikan bahwa gerakan sosial jangka panjang seperti halnya aktivitas filantropi untuk keadilan sosial dapat dipercaya oleh parpol akan memberikan kemungkinan dukungan pada proses elektoral. PKS membentangkan sayap dengan kekuatan memerankan posisi populis untuk menjaga dan mempertahankan basis konstituen pada saat perhelatan politik. Daya marketing politik yang dijalankan oleh PKS bukan saja murni kader PKS yang turun secara teknis melainkan gerakan sayap partai dari beberapa segmen seperti halnya PKPU, KAMMI, dan Tarbiyah merupakan bagian dari sayap kekuatan PKS. Kekuatan PKS dalam mengkonsolidasikan kekuatan politiknya tersebut semata-mata saat ini PKS telah dipandang sebagai partai yang pragmatis dan oportunis (Qodir: 2013). Dalam hal ini penulis sepakat dengan pandangan tersebut ketika memang PKS kehilangan ideoligisasi partai dalam memutuskan kebijakan politiknya. Maka dalam hasil temuan penelitian yang telah dilakukan penulis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan nasional yaitu:
Pertama terjadinya kontestasi politik kesejahteraan yang dibangun dengan kekuatan modal sosial dan praktik demokrasi sosial dalam artian praktik filantropi mampu membuat agenda kesejahteraan sosial, dibuktikan dengan peran PKPU mampu menjamin pelayanan distribusi kesejahteraan disaat negara mengalami kepasitas lemah dalam menyediakan pelayanan kesejahteraan sosial, keduahadirnya pelembagaan PKPU yang notabene berangkat dari hasil inisiatif kader partai politik PKS (kader muslim) dapat berguna untuk beberapa fungsi diantaranya fungsi pembangunan kesejahteraan, konsolidasi politik ideologis, dan adanya potensi besar dalam menyumbang atau berkontribusi pada dukungan proses elektoral. Kehadiran PKPU dipercaya oleh PKS merupakan agensi kolektif non pemerintah yang terlembagakan secara sistematis sebagai alat untuk mengupayakan berjalannya praktik kesejahteraaan, selain itu juga sebagai sarana membangun konsolidasi ideologis politik Islam.
Kekuatan modal sosial dari hasil aktivitas filantropi tersebut mampu memberikan citra positif kepada masyarakat umum sehingga saat ini aktivitas filantropi bukan hanya kegiatan insidental tetapi juga program pembangunan jangka panjang yang mulai dikontestasikan oleh banyak pihak lembaga baik masyarakat sipil, negara, parpol sampai dengan korporasi atau CSR yang notabene memiliki tanggungjawab sosial besar pada masyarakat dalam aktivitas ekonomi politiknya. Isu kesejahteraan dijadikan isu populis yang mulai digencarkan oleh beberapa lembaga filantropi sebagai sektor ketiga dalam memberikan jaminan pelayanan kesejahteraan sosial. Lembaga filantropi berbasis masyarakat sipil telah menunjukkan aksi nyatanya dalam mengisi kekosongan negara dalam pelayanan distribusi kesejahteraan. Hal ini dibuktikan oleh kehadiran PKPU sejak orde baru telah memberikan sumbangan besar untuk masyarakat Indonesia pada khususnya masyarakat Ambon, dan Poso yang mengalami bencana sosial. Sampai saat ini PKPU terus melambungkan nama besarnya dengan adanya pengakuan lembaga filantropi nasional di bawah organisasi PBB dengan standar internasional. Meskipun kehadiran PKPU ada intervensi PKS di belakangnya, tetapi hubungan kultural yang dibangun oleh kedua lembaga ini sangat rapi dan saling menjaga citra independensi lembaga. Kekuatan konsolidasi politik ideologisasi dan metode dakwah politik yang dimainkan oleh PKS sangat perlu diperhatikan lebih mendalam, karena hal ini bisa dimungkinkan akan adanya patronase politik lembaga filantropi lainnya.
Selain itu, karakteristik lembaga filantropi PKPU mengalami masa transisi dari awal mula berdiri di era orde baru sampai era reformasi meninggalkan beberapa poin penting yaitu pada awalnya hanya bergerak untuk charity dan fundrising, sementara saat ini lebih luas dalam gerakam pemberdayaan masyarakat (empowerment).Praktik filantropi yang dilakukan oleh PKPU ini jika disadari secara mendalam merupakan alat startegis yang dimainkan elit parpol menjalankan misi jangka panjang untuk eksistensi dan kaderisasi yang dapat merangkul dengan jalan alternatif. PKPU yang memiliki legalisasi dan eksistensi merupakan aset terbesar PKS dalam membesarkan jaringannya sampai pada tataran masyarakat bawah. Praktik filantropi merupakan alat perlawanan politik yang sangat jitu mengingat perhelatan politik dewasa ini sudah tidak sesuai nilai-nilai demokrasi politik.
Menjadi kelemahan dan tindak lanjut dalam penelitian ini penulis belum mendapat bukti faktual akan adanya irisan praktik filantropi dengan kontribusi pada proses elektoral. Sulitnya mengidentifikasi sikap politik PKPU yang hadir dengan wajah humanis, sigap dalam membantu permasalahan sosial dan kemanusiaan sehingga, belum banyak masyarakat yang mengetahui tentang adanya bahaya filantropi politik untuk mencapai kekuasaan dalam politik praktis partai. PKPU selalu bergarak moderat ditengah-tengah masyarakat dengan aktivitas sosialnya. Maka dalam hal ini seharusnya masyarakat dengan beragam jasa pelayanan lembaga sosial harus mampu mengatahui backgroundlembaga sebelum menyalurkan donasi maupun zakat profesinya.