Pandemi Covid 19 dalam Perspektif Eco-philosofi Islam

 Pandemi Covid 19 dalam Perspektif Eco-philosofi Islam

Pengantar

Dunia seolah berhenti bergerak secara serempak, negara kecil hingga negara besar semuanya lumpuh. Tak ada lagi keramaian di bandara-bandara internasional yang umumnya dipenuhi warga yang akan melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Bahkan beberapa negara melakukan kebijakan “Lockdown”. Disatu sisi korban Covid 19 terus berjatuhan menyebar ke hampir seluruh negara di dunia.  Para ilmuwan dan lembaga riset melakukan berbagai penelitian fokus terhadap tema Covid 19.

Walaupun  pada kenyataannya  Covid 19 dengan sekejap telah merubah kebiasaan hampir seluruh kehidupan. Seolah teknologi dan ilmu pengetahuan tak bisa mengenali apalagi menghentikan pandemi covid 19 yang bergerak secara massif.

Tragedi ini mengingatkan pada sebuah novel yang terbit  pada tahun 1960an berjudul “Silent Spring” karya seorang ahli biologi Rachel Charson warga negara Amerika Serikat. Novel yang memicu lahirnya ruang introspektif atas narasi pembangunan yang dipandang gagal menyelamatkan lingkungan tempat manusia melangsungkan kehidupan. Pada perkembangannya novel ini menginspirasi diskusi tingkat global tentang kerusakan lingkungan atau kerusakan ekologis (ecosida) yang dipicu oleh antroposentris.

Tesis ekonomi kapitalis bahwa manusia adalah mahluk yang tak dapat dipuaskan menjadi titik konfirmasi. Pencemaran perairan, pencemaran udara, pencemaran tanah, perubahan iklim dan pemanasan global merupakan biaya ekologis atas pilihan yang harus dihadapi oleh manusia akibat hubungan yang tidak harmonis dengan alam. Pada tataran inilah kita diingatkan dengan kalimat bijak Mahatmi Gandhi bahwa,” Sumberdaya alam akan cukup untuk memenuhi kebutuhan ummat manusia namun ia tak akan sanggup memenuhi kerakusan satu orang manusia”.

Pandemi Covid 19 menghentikan kesibukan manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya alam/lingkungan hidup. Bumi yang sudah tua tempat kita berpijak ini seolah terlepas dari penderitaan beban pencemaran dan menikmati releksasi mencari konfigurasi keseimbangan baru yang alami. Artikel ini ditujukan untuk mendisuksikan Covid 19 dalam perspektif  Ecophilosopy sebagai bagian cara kita mengambil pelajaran atas tragedi ini dan menjadi nilai replektif dalam berinteraksi dengan alam.

Wuhan, Lonceng Pandemi Covid 19 untuk Dunia

Wuhan walau posisi geografisnya tidak sestrategis Shanghai yang berada di bibir Laut Tiongkok Timur menghadap ke Jepang dan Korea. Namun Wuhan mecatatkan diri sebagai kota di negeri tirai bumbu dengan pertumbuhan industri yang sangat panjang. Kota yang secara geografis berada di bagian tengah negeri tirai bambu tersebut dibelah sungai Yangtze yakni sungai terpanjang di Asia. Sungai Yangtze menjadikan Wuhan bak lukisan panorama alam yang keindahannya menjadi daya tarik turis untuk berkunjung. Sungai terpanjang ketiga di dunia tersebut (6380 km) sudah ribuan  tahun memainkan peran strategis dalam aspek ekonomi, budaya dan sejarah China. Di kawasan sungai tersebut tumbuh berbagai industri, transportasi, pembangkit listrik dan bendungan.  Nampaknya sungai Yangtze menjadi jantung pertumbuhan ekonomi Wuhan sehingga menjadi kota terbesar ke 7 di China dan ke 42di dunia.

Namun wajah metroplitan Wuhan mendadak hilang dengan tragedi pandemi Covid 19. Berawal dari kota ini virus misterius ini muncul  tepatnya pada akhir bulan Desember 2019. Pihak Otoritas China mengidentifikasi kasus ini menyerupai pneumonia strain baru virus Corona (2019-nCoV).Virus ini awalnya diduga bersumber dari ternak yang berasal dari pasar-pasar hewan di kawasan Wuhan. Oleh karena itu otoritas setempat melakukan kebijakan penutupan terhadap pasar-pasar hewan tersebut.

Namun dalam perkembangannya ternyata virus ini menginfeksi anggota keluarga dari pasien. Pada tanggal 21 Januari 2020 WHO meyatakan bahwa kemungkinan virus tersebut tertransmisi antar manusia. Menurut  Read et al., (2020) total prediksi infeksi corona di Wuhan hingga tanggal 22 Januari 2020 ialah 14464 jiwa. Jika awal mula infeksi terjadi pada akhir Desember 2019, maka angka tersebut  mengkonfirmasi transmisi antar manusia terjadi sangat cepat.

Wuhan adalah kota berpenduduk lebih dari 11 juta jiwa dengan koneksitas penerbangan internasional secara langsung atau tidak langsung. Arus pergerakan penduduk dari luar dan kedalam Wuhan memungkin virus Covid 19 menjadi wabah yang terdistribusi secara massif  ke berbagai belahan dunia. Kota industri yang di kawasannya terdapat sungai raksasa nan indah tersebut telah mengirim lonceng pandemi ke seluruh dunia. Hal tersebut terkonfirmasi melalui laporan WHO yaitu terdapat 4.735.622 kasus di dunia dari sekitar 200 negara,sedangkan yang meninggal 316.289 jiwa (https://covid19.who.int/).

Kerugikan ekonomi dan Sosial

Tiongkok merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat fantastik. Pada tahun 2019 PDB Tiongkok persis dibawa Amerika Serikat, terjadi lompatan sangat tinggi jika dibandingkan dengan tiga dasawarsa sebelumnya. Namun tragedi Covid 19  Wuhan, diyakini oleh banyak pengamat bahwa ekonomi Tiongkok akan terjerembab pada level terendah selama dasawarsa terakhir. Faizal Basri (2020) menyatakan pada Triwulan 1 tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami kontraksi 6,8 persen. Hal yang sama dilaporkan oleh CNN (https://edition.cnn.com/2020/04/01/economy/china-economy-stimulus-coronavirus/index.html) kemungkinan ekonomi  Tiongkok tidak tumbuh sama sekali pada tahun 2020 dan ini merupakan kejadian pertama selama 44 tahun terakhir.

Menyusutnya ekonomi Tiongkok tentu akan memberikan dampak yang luar biasa kepada negara-negara mitra dagangnya termasuk Indoensia. Karena Tiongkok merupakan pasar besar bagi barang-barang dunia termasuk Indonesia. Indonesia termasuk negara yang memiliki ketergantungan ekonomi signifikan terhadap Tiongkok, karena tujuan eksport terbesar Inodnesia adalah negeri tirai bambu ini. Dilaporkan juga angka penggangguran akibat Covid 19 di Tiongkok menanjak tajam (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52322753).

Lewis (2020) menyatakan efek ekonomi dari Covid 19 bergantung dari intensitas sebaran dan lamanya infeksi berlangsung. Melihat fenoma wabah Covid 19 yang menyebar secara masif  Lewis menjelaskan potensi inflasi sangat besar terjadi dan penurunan pertumbuhan ekonomi akan dialami oleh banyak negara. Menurutnya semua bermula dari pembatasan jam produksi sehingga akan berdampak pada volume produksi yang selanjutnya berpengaruh pada nilai produksi.

Pembatasan aktivitas untuk tetap di rumah saja sebagai bagian pilihan kebijakan dalam rangka mengendalikan potensi transmisi Covid 19 antar manusia. Sementara Beck (2020) menyatakan dalam jangka pendek wabah  Covid 19 akan mempengaruhi kondisi rantai pasok atau akan menimbulkan goncangan pada sisi permintaan. Pandangan Beck tersebut mendapatkan konfirmasi dihampir semua sektor. Misalnya fenomena terpuruknya ekonomi sektor pariwisata bisa dilihat dari menurunnya arus mobilisasi masyarakat ke tempat tujuan wisata. Implikasinya potensial memukul sektor perhotelan dan jasa transportasi terjerembab. Sektor perikanan-kelautan lokal dan beberapa komoditi eksport mengalami penurunan harga hingga 50% dibandingkan sebelum Covid 19. Implikasinya potensial menurunkan harga komoditi karena ketersediaan bahan bakunya melimpah sedangkan permintaannya melemah. Sementara komoditi ikan tergolong perishable sehingga membutuhkan teknologi tinggi untuk penanganan rantai dingin agar mutunya tetap terjaga misal Cold Storage.

Sisi lain cash flowh perusahaan mengalami gangguan signifikan yang berdampak pada ketidakmampuannya dalam membayar listrik. Pada tataran nelayan tradisional Covid 19 hasil observasi menginformasikan kegiatan penangkapan ikan menurun karena antara biaya operasional yang tinggi tidak sebanding dengan pendapatannya yang rendah disebabkan harga menurun signifikan. Jika kondisi ini berkepanjangan sangat potensial akan terjadi kerawanan pangan termasuk di sektor perikanan kelautan.

Dibagian lain berbagai industri melakukan pengurangan volume kerja karena dua hal yakni permintaan pasar menurun dan kebijakan Social Distancing. Pilihan kebijakannya adalah merumahkan karyawan bahkan ada perusahaan hingga melakukan PHK. Kondisi tekanan ekonomi pada akhirnya bermuara kepada aspek sosial dan kemiskinan. Data yang disampaikan Faizal Basri (2020) mengutip Kemnaker RI dan BPJAMSOSTEK terkait tenaga kerja terdampak Covid di Indonesia disajikan pada tabel di bawah.

Data pada tabel di atas menunjukkan pandemi Covid 19 khususnya di Indonesia menimpa  57.03% dari total jumlah tenaga kerja.  Jumlah tersebut terbilang sangat besar dan mungkin terbesar sejak republik ini berdiri. Bahkan potensial bertambah jika pengendalian Covid 19 tidak berjalan efektif. Sisi lain, jika kalkulasi dampak Covid 19memasukkan aspek nilai irreversible(korban jiwa) betapa sangat besar nilai dampak sosialnya  mengingat beberapa korban yang berjatuhan merupakan tenaga profesional yang memiliki reputasi karir dan keahlian  yang tinggi seperti dokter, peneliti, perawat dan profesi yang lain. Sementara reputasi dan keahlian tersebut dibangun dalam waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar tentunya.

Perspektif Eco philosophy

Wabah  Covid 19 secara obyektif harusnya tidak semata dipandang sebagai musibah yang melululantakkan  kecanggihan bangsa-bangsa dunia dalam sekejap. Pada sisi lainnya musibah Covid 19 harus juga dimaknai sebagai “cara” Tuhan mendorong manusia ke ruang kontemplasi. Karena pandemi Covid 19 bukan kejadian yang berdiri tunggal sebaliknya merupakan resultan dari akumulasi aktivitas manusia yang tidak pernah punya batas kepuasan.

Para pemikir  filsafat memandang bencana alam atau non alam pada hakekatnya diproduksi dan diakselerasi oleh antroposentrik. Pandangan etika lingkungan antroposentrisme meletakkan manusia sebagai mahluk superior yang memiliki kuasa menggunakan alam/lingkungan secara ekstraktif dan eksploitatif. Berawal dari titik inilah kerusakan ekologis, pencemaran, gangguan biodiversitas dan keacakan genetika terjadi. Minimal ada tiga titik kelemahan etika antroposentrisme; (1)semata memandang  manusia sebagi mahluk sosial semata yang barada di luar sumber daya alam/lingkungan tempatnya hidup; (2) antroposentrisme memandang etika hanya terbatas dalam relasikomunitas sosialnya yang semakin hari sangat distorsif; (3) antroposentrisme hanya membatasi pada kepentingan langsung dengan kebutuhan untuk pemenuhan kepuasanmanusia. Pada tataran ini tesis untuk memandang wabah Covid 19 dari perspektif Eco-philosophy penting dilakukan.

Meminjam istilah  Haedar  Nashir   dalam artikelnya  berjudulnya “Runtuhnya Hegemoni” yang menyatakan bahwa dunia mengalami disorientasi kosmologi (https://republika.co.id/berita/q9bbyx440/runtuhnya-hegemoni). Manusia terlalu jauh berjalan lepas dari agama sehingga yang terjadi para penguasa merasa digjaya dengan sistem politik, ekonomi dan budaya yang dibangunnya. Mengeksploitasi sesama manusia dan mengekploitasi sumberdaya alam dan mengabaikan etika kemakhlukan sebagai sesama ciptaan. Teknologi menjadi instrumen kapitalisme untuk memenuhi daftar keinginan manusia yang tak terbatas.  Agama dipandang sebagai sumber ketertinggalan yang harus dijauhkan dari kehidupan.

Pandangan Haedar Nashir sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Nasr (1968) yang menyatakan bahwa sains mengalami kekosongan spiritulitas. Akibatnya sains dan tekonologi menjadi instrumen manusia dalam mendewakan materialisme. Pandangan tersebut sejalan dengan Thomas Kuhn tentang kebenaran sains yang tidak linier dan tidak akumulatif. Menurutnya positivisme  yang menyatakan bahwa kebenaran sains harus bertitik pada rasional dan empirissemata tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang terus dinamis.

Rasionalitas dan empirisme tak dapat menangkap secara utuh yang terlihat nyata, harus ada ruang hakekat. Thomas Kuhn  mendorong terjadinya shifting paradigma yaitu konstruksi sosial yang dibangun oleh mode of thought atau mode of inquiry  yang selanjutnya menghasilkan mode of knowing. Pandangan Nasr, Haedar Nashir dan Thomas Kuhn tersebut memiliki resonansi substansi yang sama yaitu terjadi kesalahan fundamental pada  paradigma ilmu pengetahuan.  Oleh karena itu merubah perilaku eksploitatif  dan materialistik manusia terhadap alam harus dimulai dari merubah paradigma ilmu pengetahuannya.

Beberapa pemikir filsafat lingkungan diantaranya Arne Naess tahun 1972 menyampaikan pandangannya tentang Deep Ecology atau Ecosophy (Keraf, 2006). Menurut Arne Naess Bencana alam dan (bagi penulis) termasuk wabah Covid 19 merupakan kesalahan fundamental filosofis manusia dalam memandang alam, dirinya dan ekosistem. Oleh karena itu cara mengatasi krisis lingkungan dan bencana alam termasuk Covid 19 ini adalah dengan merubah secara fundamental dan radikal paradigma ilmu pengetahuan dalam memandang alam dan manusia.

Sopian (2014) mendefinisikan Eco-philosophy sebagai kearifan manusia untuk hidup dalam keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dengan seluruh alam semesta sebagai sebuah sunnah yang telah didesain oleh Allah. Pada tataran ini Kontuwijoyo merujuk pada konsep paradigma Thomas Kuhn,  memberi contoh tentang paradigma quran yaitu konstruksi pengetahuan atas realitas yang dibangun atas nilai-nilai qurani. Berdasarkan dari konstruksi pengetahuan tersebut lahir hikmah yang membentuk perilaku pada tataran moral dan sosial (Damayanti dan Ma’ruf, 2018). Dengan demikian bencana Covid 19 dalam perspektif Eco-phylosophi islam (paradigma quran) adalah cara Tuhan mengingatkan perilaku destruktif  manusia dalam berinteraksi dengan alam.

 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rûm [30]:

Bukankah alquran menjalaskan bahwa  salah satu fungsi dari penciptaan alam adalah untuk menunjukkan kebesaranNya agar manusia senantiasa tetap dengan kefirahannya.

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

“Sesungguhnyadalampenciptaanlangitdanbumi, dansilihbergantinyamalamdansiangterdapattanda-tandabagi orang-orang yang berakal.”(QS. Al Imaran [190]

Manusia, alam, langit dan daratan beserta yang ada diantaranya dalam perspektif  Al-quran merupakan satu kesatuan ciptaan. Kemudian oleh Tuhan masing-masingdiberi mandat. Interaksi antara unsur-unsur ciptaan tersebut membentuk kesatuan sistem kehidupan. Relasi yang harmonis antara unsur-unsur tersebut menentukan stabilitas alam yang secara sunatullah telah Allah SWT  tentukan. Konsepsi tersebut dalam ilmu konvensional disebut dengan ekosistem  yaitu berasal dari istilah oikos rumah tangga dan system kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian ekosistem merupakan kesatuan sistem rumah tangga alam raya yang saling tergantung. Stabilitas sistem rumah tangga kehidupan tersebut tergantung dari cara pandang dan interaksi yang harmonis manusia sebagai khalifah. Selama manusia tunduk dengan syariat Allah SWT sebagaimana tunduknya alam dan unsur lainya, maka keharmonisan kehidupan akan tercipta. Sebaliknya jika manusia keluar dari cara pandang sebagai mahluk diluar rumah tangganya maka sejak itulah manusia telah memulai menghadirkan bencana dalam kehidupannya termasuk Covid 19 ini.

Daftar Kepustakaan

Beck T. 2020. Finance in the Time Coronavirus in Baldwin R and di Mauro B.W (edt) Economic in the Time of Covid 19. Center for economic policy reseacrh, London.

Damayanti S.N, Ma’ruf M. 2018. EpistemologiSaintifik Thomas S. Kuhn terhadapMunculnyaIlmuPengetahuanSosial. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol. 1 nomor 3.

Keraf S. 2006.EtikaLingkungan, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Lewis S.W.2020. The Economic effects of Pandemic. in Baldwin R and di Mauro B.W (edt) Economic in the Time of Covid 19. Center for economic policy reseacrh, London.

Nashir, H. 2020. Runtuhnya Hegemoni. https://republika.co.id/berita/q9bbyx440/runtuhnya-hegemoni

Nasr, S.H. 1968. The Encounter of Man dan Nature. The Spiritual Crisis of Modern Man. George Allen and Ulwin Ltd, London.

Read J.M, BridgenJ.R.E, Cummings D.A.T, HoA, JewellC.P. 2020.Novel coronavirus 2019-nCoV: early estimation of epidemiological parameters and epidemic predictions. https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.01.23.20018549v2

Satmaidi E. 2015. KonsepDeep Ecology DalamPengaturanHukumLingkungan. Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum. Vol. 24 nomor 2

Sopian. 2014. Eco-Philosophy sebagai cetak biru Filsafat Ramah Lingkungan. Teosofi Vol. 4 nomor 2.

Tualeka N.WN. 2011. Teologi Lingkungan Hidup dalam Perspektif Islam. Jurnal Progresiva Vol. 5 nomor 1

Bagikan yuk

Hasim Hasim