MUNIR : Duta Universalitas Islam di Indonesia

 MUNIR : Duta Universalitas Islam di Indonesia

Kita orang orang Indonesia, beruntung karena sempat memiliki Munir. Dalam hidupnya yang singkat, ia seperti singgah dan membantu kita di saat dimana kita membutuhkannya. Di masa-masa mencekam saat rejim orde baru masih berkuasa, saat kebebasan dipasung dan segala aktivitas yang berseberangan dengan negara diawasi secara ketat, ia tak kenal takut untuk menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis mahasiswa dan pemuda, serta kelompokkelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan. Profesinya sebagai pekerja bantuan hukum di LBH membuat Munir bersentuhan langsung dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di negara ini.

Dalam kegalauannya melihat situasi Indonesia, Munir mengambil sebuah titik pijak dimana ia bisa melihat jelas problem demokrasi di Indonesia yang terbelenggu oleh politik-kekerasan yang secara struktural berkelindan dalam hubungan Negara-masyarakat. Sebuah “spiral kekerasan” telah menggulung masyarakat sedemikian rupa hingga meresap dalam pola pikir, membentuk tingkah laku dan mendaur ulang kekerasan demi kekerasan tanpa henti, mengakibatkan demikian banyaknya korban jiwa seakan menjadi “ritual” sehari-hari dan ditanggapi masyarakat sebagai barang normal. Berangkat dari pemahaman ini, Munir mengambil pilihan eksistensial untuk berdiri paling depan meneriakkan perjuangan hak asasi, serta politik yang bebas dari kekerasan.

Kecerdasan, kesederhanaan, dan keberaniannya membedakan Munir dengan banyak aktivis dan kaum intelektual lainnya. Di masa dimana banyak intelektual memilih berlabuh di kandang penguasa dan para pimpinan masyarakat lebih banyak bergaul dalam pertalian nyaman dengan penguasa. Munir justru memasuki area-area yang ‘menakutkan’. Kerja keras bersama rekan-rekannya di KontraS berhasil membongkar rangkaian peristiwa penculikan para aktivis mahasiswa dan pemuda, menjadikan kejahatan itu sebagai sebuah fakta utuh, yakni penculikan terorganisasi yang dilakukan oknum aparat. Sejumlah pelaku berhasil diseret ke pengadilan. Sejumlah pimpinan teras TNI diberhentikan, sekalipun sejumlah korban sampai kini belum berhasil diketahui keberadaannya. Dari sini ia terus bergerak, menjelajah area-area kelam dalam politik kekerasan di Indonesia, keberaniannya menerangi kita yang menghuni daerah-daerah itu sehingga jalan reformasi dengan lebih gampang kita lalui kemudian.

Konsistensi dan persistensi, dua hal ini tampak jelas dalam kepribadian seorang Munir. Ia mengetahui betul resiko perjuangannya. Namun demikian, Munir tidak gentar dan mengambil sikap setia melawan. Ia tidak ingin mengambil sikap diam dan menyerah pada tekanan. Tudingan, intrik, intimidasi kerap menimpanya. Dituduh ‘PKI’, ‘Yahudi’, ‘Anti-Islam’, ‘Provokator’, Munir tak surut langkah. Keberanian dan kegigihannya mampu menepis hantaman-hantaman tersebut.

Munir, atau lengkapnya Munir bin Thalib dibesarkan dalam keluarga muslim keturunan Arab. Kakek moyangnya adalah imigran dari Hadhramaut (Yaman) yang ratusan tahun lampau datang ke Nusantara. Dengan latar belakang ini, membuatnya lebih memilih aktif dalam organisasi-organisasi Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad. Namun demikian, kegelisahan Munir muda telah membawanya pada pergulatan pemikiran yang panjang dan lintas batas. Munir meyakini bahwa hak asasi manusia dalam konteks solidaritas kemanusiaan telah menciptakan sebuah bahasa baru yang universal dan setara, yang berbicara melalui batasan-batasan rasial, gender, etnis dan agama. Karena itulah, dalam pandangan Munir, hak asasi manusia harus dijadikan sebagai pintu masuk bagi terciptanya dialog bagi orang-orang dari berbagai latar belakang sosial-budaya dan ideologi. Lewat pintu ini pula Munir masuk dan bergaul dengan aktivis-aktivis yang berbeda-beda latar belakang demi terwujudnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Munir dikenal akrab oleh semua kalangan. Ia mampu menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada dengan semangat kemanusiaannya yang menggebu. Munir adalah duta Islam yang memperjuangkan universalitas Islam untuk penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin). Munir melakukan pembelaan terhadap siapapun yang tertindas, tanpa memandang latar belakang mereka. Di dalam Munir, Islam secara arif dapat dijadikan sandaran yang terpercaya bagi kelompok-kelompok yang ditindas dan dipinggirkan.

Selama bertahun-tahun menjalankan kerja-kerja kemanusiaan, Munir merasa perlu memuaskan dahaga intelektualitasnya sekaligus untuk mengembangkan wawasannya. Ia memutuskan menempuh studi master dalam bidang international protection of human rights di Utrecht Universiteit, Belanda. Kesempatan itu semestinya akan dipergunakan untuk melakukan refleksi dan evaluasi atas perjuangannya sekaligus memperdalam pemahaman konseptual guna mempertajam analisisanalisnya. Sayangnya, hal itu tak sempat terjadi, kaum yang telengas dan bertangan kejam memenggal rencana luhur itu di tengah jalan. Munir diracun dan wafat sebelum pesawat Garuda yang ditumpanginya mendarat di Schiphol. Keluarganya yang masih belia telah kehilangan suami dan bapak yang sangat mereka cintai. Bangsa ini telah kehilangan satu lagi pejuang kemanusiaannya. Dunia Islam di Indonesia kehilangan salah satu duta universalitas terbaiknya.

Selama hayatnya, jauh sebelum di hari laknat pembunuhannya Munir telah berulangkali mengalami ancaman, terror. Namun semua itu serta stempel negatif yang berusaha dilekatkan bahkan setelah kematiannya, tidak berpengaruh banyak. Dari kematiannya justru nampak bahwa jutaan masyarakat Indonesia percaya pada integritasnya, kelompokkelompok minoritas dan tertindas menaruh harapan besar di pundaknya untuk mewujudkan keadilan di negara ini. Sebagian mantan lawanlawannya pun mengakui keberanian dan kelurusannya. Konsistensi dan keberaniannya telah menjadi inspirasi bagi kita untuk menghadapi segala hubungan jahat terhadap kemanusiaan dan keadilan.

Munir telah mewariskan kepada bangsa Indonesia sesuatu yang sangat berharga yakni keberanian dan karakter manusiawi untuk memperjuangkan hal-hal yang baik. Kita adalah orang yang berutang kepadanya. Sekarang giliran kita untuk membalas segala budi baik almarhum salah satunya adalah dengan mengadili dan menyeret siapapun yang bertanggung jawab atas kematiannya ke hadapan hukum secara adil.

NB: Artikel ini merupakan mukadimah dalam buku “Bunuh Munir!: Sebuah Buku Putih” terbitan KonTras, 2006

Bagikan yuk

Ahmad syafii Maarif

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.