Maaf, Aku Harus Pulang

 Maaf, Aku Harus Pulang

Mungkin para pembaca akan terheran kenapa judulnya harus “maaf aku harus pulang?”

Melalui tulisan ini aku sebagai anak perantauan yang jauh dari keluarga, sekitar puluhan ribu manusia merantau ke kota istimewa ini mungkin akan sama yang aku ceritakan kali ini. Tahun ini adalah tahun kelima saya berada di kota Yogyakarta, kota dengan seribu kenangan yang dijulukin para perantau untuk meraih mimpi nya dengan menempu Pendidikan, iya nama juga kota pelajar.

Kota yang nyaman ini, mungkin tak senyaman dulu karna adanya wabah Covid 19 yang mulai menyerang di Indonesia pada awal bulan maret 2020. Beribu perantauan tergesa gesa ingin pulang. Dan aku masih menikmatin kota nyaman ini. Tidak sama sekaling terbintas di pikiranku untuk pulang. Keluargaku bukan seperti keluarga keluarga yang seperti di film keluarga cemara jangankan 11 atau 12 dengan ceritanya. Jauh dari kehaluan kalo anak anak milenial bilang.

Keluargaku adalah keluarga sederhana dengan kondisi ekonomi yang sedang sedang pula, orang tua ku kedua duanya adalah pedagang, dan hidup dari hasil jual beli yang setiap hari berjumpa orang dengan transaksi face to face.

Belakangan kali ini aku sering dikasih kabar oleh orang tuaku dengan kondisi lingkungan kota ku yaitu Jambi, perkonomian di kotaku bukan seperti di pulau jawa.

Mungkin jauh dari kelokannya di kota ku dengan tanah lahan di sekitarnya beribu pohon sawit terbentang lebar para dan ada pula investor berpuluhan di kotaku untuk membuka pabrik minyak sawit, batu bara, karet bahkan kota tempat lahirku ini memiliki sungai terpanjang di pulau Sumatra nama nya sungai Batang hari yang dimana puluhan warganya memanfatkan sungai itu untuk mencari rizeki. Miris kalo saya ceritakan namun, itulah kenyataan nya semenjak saya kecil mungkin dari saya belum lahir kondisi sungai yang saya ceritakaan ini jauh dari kata bersih atau pun layak untuk digunakan, tambak pasir illegal bagaikan keluhan yang biasa.

Sedikit gambaran buat kota kelahiranku, bagi ibu ku berdagang adalah penghasilan utama bagi keluargaku dan bukan keluargaku saja namun, ibuku harus memikirkan orang orang yang kerja dengan ibu ku. Perekonomian mulai memburuk semenjak wabah ini menyerang dengan kecemasan nya pun pasar yang dulunya ramai tempat lalu Lalang menjadi pusat perekonomian di tempatku mulai sepi dan yang lewat itu hanya satu, dua orang. Sedangkan aku sebagai anak perantauan yang jauh dari orang tua ini yang bergantung pula dengan keuangan orang tua ku mulai berpikiran gimana cara nya untuk bertahan hidup.

Uang jajanku mulai tipis dan orang tua ku tak mengirim uang seperti sebelumnya. Jangankan untuk meminta, di kirimpun aku bersyukur melihat kondisi perekonomian mulai miris dengan kata stabil. Sekali duakali mulai sering ayah ku melontarkan kata pulang laah, aku dengan seribu pertanyaan di otakku mulai berimajinasi, kalo aku pulang apakah aku membawa virus? Kalo aku pulang nanti malah orang tua ku yang kena? Bukan keluargaku aja nanti warga di kota kelahiranku kena pula? Aduh, ini kegalauan bukan sembarang galau seperti diputus cinta, ini masalah nyawa yang aku pertaruhkan.

Kata ini berat aku katakan dengan orang tuaku iyaa yah liat kondisi dulu. Awalnya sih mau pulang sebelum lebaran aja, melihat kondisi semakin hari semakin memburuk. Hampir setiap saat kalo orang tua ku menghubungin melontarkan kata pulanglah cari tiket, ketakutan orang tuaku nanti tidak bisa pulang lagi. Dan aku masih berkata iya yah lihat kondisi lagi. Oke hampir dua minggu lebih wabah ini mulai menakutkanku, jangankan mau keluar kosan melihat orang bersin aja bagaikan hama yang menyerang padi. Kecemasan itu bukan hanya di rasakan saya saja mungkin beribu orang melihat kondisi semakin buruk mulai mencemaskan wabah ini.

Sebagai anak perantau pasar adalah tempatku untuk membeli kebutuhan, kalo di ceritakan sedikit biasanya kita pulang pasar langsung ke dapur, kali ini ga kita harus ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh kita dan bahan bahan masak yang kita beli. Bayangkan kecemasan ini mulai seperti tahun 98 per ekonomian mulai sedikit bahan makan semakin mahal, sulit pula mendapatkana uang bagi kondisi keluarganya pedagang ini. Baiklah aku sudah menyerah dengan kondisi makin hari tidak memungkinkan aku hidup di perantauan dengan kondisi perekonomian orang tuaku mulai menipis dan akhirnya aku memutuskan pulang dengan kesiapsagaanku dari aku menginjakan kaki di kotaku aku harus bagaimana step apa yang aku lalui sudah aku bicarakan dengan teman teman peratauanku yang mau pulang kerantauan.

Kita harus bersih dan jangan sampai kita membawa wabah ini. Harus mengikuti SOP yang telah di saran kan oleh pemerintah dan jangan ngeyel, walaupun pulang ini adalah salah satu kengeyelanku, wabil akhir aku harus pulang.[]

Bagikan yuk

Sanny Nofrima