Lying or Dying?

 Lying or Dying?

Penyimpangan berulang-ulang akhirnya diterima sebagai hal yang wajar,
normal chaos of everyday life. Itu menyebabkan penyimpangan tak dilihat lagi sebagai masalah (Ahmad Arif-Kompas,26 Februari 2020)

Adalah kawan saya David Efendi mengunggah kegelisahan Ahmad Arif melalui Catatan Iptek, dari Kompas, 26 Februari 2020, dengan judul ‘Mengabaikan Resiko’. Tulisan yang sangat padat dengan data dan analisis kritis ini menyulitkan saya menemukan kalimat intisarinya, namun akhirnya saya tak ragu mengambil sebuah kutipan secara emosional menggambarkan kegelisahan yang sering menganggu batin saya, “sebuah penyimpangan berulang-ulang akhirnya diterima sebagai hal yang wajar dan menyebabkan penyimpangan tak dilihat lagi sebagai masalah”.

Saya lalu menghubungkannya dengan banyak peristiwa politik, sosial, hukum, sampai ke persoalan pendidikan. Sebuah pertanyaan akhirnya menggelayuti pikiran saya dengan pertanyaan bagaimana seseorang, dari berbagai profesi, posisi, maupun kelas sosial membuat keputusan yang seharusnya dapat menyelamatkan banyak nyawa menjad, justru melakukan hal sebaliknya, tanpa dia sadari.

Saat saya menyaksikan banyak video dari youtube tentang isu-isu politik dan hukum atau sekedar perbincangan ringan tentang bagaimana pilihan seorang ketua RT atau lurah maupun bagaimana pimpinan sekolah kita temui membuat keputusan yang tidak absurd. Kisah kecil saya temui pada minggu ini. Di suatu siang di dalam sebuah mobil ojol , pPlak supir berkisah tentang sekolah anaknya yang akhirnya diliburkan sehari karena salah seorang wali siswa dikabarkan suspect covid19. Sebagai salah satu anggota komite sekolah, dia menanyakan kepada kepala sekolah apakah sudah mendengar kabar tersebut dan kepala sekolah mengiyakan bahwa dia telah mengetahui kabar tersebut. Atau sebuah kisah yang bagi saya sangat mengagetkan dari seorang teman yang habis berkunjung keluar negeri dan merasakan gejala yang ditengarai mirip dengan gejala covid19. Kejujurannya kepada dokter bahwa dia habis bepergian keluar negeri bersama rombongan, membuatnya justru dipersalahkan karena akan mengancam posisi dan identitas mereka jika dia benar dinyatakan sebagai pasien positif covid19.

Dalam konteks dalam dunia politik, situasi ini digambarkan oleh Derek Bacon dalam ‘The Economist’, 2016, dengan kalimat, “Ketidakjujuran dalam politik bukanlah hal baru; tetapi cara di mana beberapa politisi saat ini berbohong, dan kekacauan yang mereka dapat lakukan dengan melakukannya, sangatlah mengkhawatirkan”. Bayangkan akibat yang mungkin saja terjadi jika pak Supir Ojol ini tidak mengetahui bahwa kepala sekolah sudah mendiamkan saja kebenaran bahwa salah satu orangtua siswa adalah suspect covid19 atau jika teman saya tidak jujur mengatakan bahwa dia habis bepergian keluar negeri yang justru dipersalahkan oleh koleganya atas kejujuran yang dia lakukan. Apa yang terjadi akibat mendiamkan dan menutup-nutupi riwayat perjalanan yang mungkin saja terdampak tanpa diketahui/disadari?

Entah sadar atau tidak, paham atau tidak, kebiasaan melakukan penyimpangan berkali-kali dan dimaafkan, akhirnya dianggap sebagai sebuah tindakan yang wajar dan dapat diterima sebagai hal yang wajar adalah sebuah fenomena yang kita rasakan sehari-hari yang ditangkap dengan tepat oleh Ahmad Arif menyebabkan sebuah penyimpangan tak lagi dilihat lagi sebagai masalah. Apakah itu awalnya sebagai sebuah keteledoran atau mungkin sadar dilakukan hingga sesuatu yang sebenarnya sudah diketahui namun tidak dianggap penting sehingga diabaikan, pada prinsipnya mirip sebuah kebohongan yang diakui namun dikemas menjadi sebuah peristiwa lazim yang dipaksakan harus diterima sebagai sebuah kebenaran.


Badai yang dihadapi oleh dunia saat ini sangat langka. Bagaimana kita dapat melihat apa pesan yang ingin disampaikan melalui ujian ini. Saya menangkap beberapa, pertama, akhirnya lembaga pendidikan maupun (pasti) perusahaan-perusahaan belajar secepat kilat bagaimana mengadjust teknik pembelajaran dan berkomunikasi secara daring (online). PT dan sekolah-sekolah yang tadinya menjadikan pembelajaran daring hanya sebagai bench-marking dan tidak sungguh-sungguh menerapkannya atau sekolah yang aras-arasan memberi pelatihan para gurunya untuk belajar mengajar secara daring, mau tidak mau saat ini harus belajar dengan waktu sekejap dan ajaibnya meski banyak yang terseok-seok akhirnya kita mendengar tidak hanya sekolah di perkotaan saja namun sekolah di pedesaanpun sibuk mengajar para murid secara daring.

Demikianlah hebatnya manusia yang cepat beradaptasi dalam keadaan darurat dan terpaksa dapat mempu melakukannya sebagai bentuk survive. Kedua, agama tertentu tidak lagi memonopoli ajaran tentang kebersihan karena semua tempat harus dibersihkan secara radikal sekaligus belajar menerjemahkan makna beribadah tak lagi secara tekstual namun dengan cepat belajar tentang makna konteks berdasarkan dari situasi emergensi yang dialami. Ketiga, Ketidakjujuran dan pengabaian akan terlihat dampak langsung pada hilangnya nyawa jutaan manusia sehingga pemimpin takkan lagi mampu mempedulikan vest – interestnya pada kubu mereka, sementara yang dipimpin seharusnya bersedia bekerjasama demi menyelamatkan nyawanya sendiri.

Di atas sana, mungkin Dia sedang menertawakan makhluk yang sudah yakin menciptakan seolah-olah post-truth dapat bertahan dan mampu menandingi kebenaran itu sendiri.

Jogjakarta, 20 Maret 2020

Bagikan yuk

Rohmatunnazilah