Ignas Kleden dan Apresiasi terhadap Tradisi Intelektual Islam
Sebagai intelektual kenamaan yang banyak menulis tentang tema-tema diseputar ilmu sosial dan kebudayaan mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa Ignas Kleden memiliki perhatian dan analisis yang tajam pula terhadap tradisi intelektual Islam. Setidaknya itulah yang tergambar ketika ia diminta menjadi pembicara dalam forum yang diselenggarakan oleh pihak penerbit Obor bekerjasama dengan Nurcholish Madjid Society dalam rangka peluncuran buku karya Nurcholish Madjid berjudul “Khazanah Intelektual Islam” yang diterbitkan oleh penerbit Obor pada 2019 silam. Sebenarnya karya tersebut telah diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1984, namun kemudian pihak Penerbit Obor berinisiatif menerbitkan ulang katya yang mungkin telah sulit didapatkan di pasaran tersebut.
Dalam kesempatan peluncuran buku tersebut secara rendah hati Ignas Kleden menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengetahuan yang memadahi tentang tradisi intelektual Islam yang berkembang di era klasik (abad pertengahan). Ia menyanggupi untuk menjadi pembicara karena merasa bahwa apa yang akan dibahas adalah karya mengenai tradisi intelektual Islam modern di Indonesia yang menurut Kleden ralatif dikuasainya. Bisa dikatakan apa yang dikatakan Kleden secara rendah hati bukan sebuah retorika semata karena kita bisa mengetahui misalnya bahwa Kleden lebih banyak bergaul dan bergulat dengan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para akademisi Muslim di era modern di Indonesia seperti Nurcholish Madjid ataupun Kuntowijoyo.
Satu contoh menarik mengenai ketajaman analisisnya mengenai khazanah intelektual Islam modern di Indonesia misalnya dapat kita simak pada analisisnya terhadap aneka karya sastra yang ditulis oleh Kuntowijoyo. Dalam video dokumenter yang diproduksi oleh Yayasan Lontar berjudul “Dua Dunia Kuntowijoyo” terlihat jelas bahwa Ignas Kleden mampu membaca secara cermat pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam karya-karya sastranya yang ditulis dalam bahasa simbolik. Dalam dokumenter tersebut dijelaskan bahwa Kuntowijoyo adalah sosok yang berada dalam dunia yang berbeda dan ia dalah sosok yang berupaya menjembatani dunia tersebut. Dua dunia yang dimaksud beraneka ragam mulai dari dunia sastra dan sejarah, dunia jawa dan dunia Islam, dan dunia tradisional dan indutsrial modern.
Upaya sang pemikir UGM tersebut untuk menjembatani dua dunia ini misalnya tergambar bahwa sejak ia menginjak usia SMA ia sudah menulis sejumlah tulisan dalam bidang sastra namun pada saat yang ia ia justru menilih melanjutkan studi pendidikan tinggi dalam bidang sejarah yang notabene dipengaruhi oleh corak “saintifik-empirik” yang kuat dan tidak menerima “imajinasi liar” sebagaimana dalam dunia sastra. Dapat dikatakan Kuntowijoyo bukan orang yang “setengah-setengah” ketika ia memilih mendalami bidang ilmu yang digelutinya tersebut. Buktinya salah satu sejarawan terkemuka Indonesia yang sekaligus pengajar di Jurusan Sejarah UGM yakni Sartono Kartodirjo begitu kagum dengan sosok Kuntowijoyo dan kemudian berharap ia dapat meneruskan jejaknya dalam mengembangkan mazhab sejarah indonesiasentrisnya -sejarah yang memihak pada kalangan wong cilik-.
Namun di sisi lain, meskipun Kuntowijoyo membuktikan dirinya tidak “setengah-setengah” dalam menggeluti bidang ilmu sejarah yang cenderung “saintifik-empiris” namun menurut istri Kuntowijoyo Susilaningsih, Kuntowijoyo tidak mengendurkan minatnya kepada dunia seni dan kesusasteraan. Bahkan Kuntowijoyo berceletuk kepada istrinya tersebut bahwa ia mampu “mengintegrasikan” 3 S yaitu Sejarah sebagai bidang, Sastra sebagai hobi, dan Susilaningsih sebagai kekasih (pacar) dan akhirnya pendamping hidup. Dengan kata lain upaya Kuntowijoyo untuk mengintegrasikan dua bidang yang seringkali dianggap bertentangan (antara rasionalisme dengan emosionalisme, termasuk dalam hal ini cinta, imajinasi, harapan, impian) nyatanya berhasil ia lakukan.
Senada dengan amatan Susilaningsih, Ignas Kleden juga meyakini bahwa Kuntowijoyo adalah sosok yang mampu menjembatani dua duania yang seringkali dianggap saling menegasikan tersebut. Menurut Kleden, sosok Kuntowijoyo ini tidaklah “unik” karena dalam kasus peradaban Barat semacam Goethe misalnya ia di satu sisi dikenal sebagai sastrawan dan penyair yang kondang akan tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa ia adalah saintis dalam bidang ilmu alam. Dengan kaya lain bagi Kleden upaya menjembatani ini adalah suatu yang “lumrah” dan “sah” dilakukan oleh Kuntowijoyo. Bahkan menurut Kleden penguasaan Goethe atau Kuntowijoyo terhadap ilmu alam atau ilmu sosial justru merupakan suatu hal yang positif. Karena menurutnya bahan-bahan empiris tersebut (data) dapat dipakai dan kemudian “diterjemahkan” sedemikian rupa melalui proses “manipulasi” lewat imajinasi-imajinasi kreatif sehingga melahirkan pembacaan baru terhadap realitas yang kreatif dalam sebuah karya sastra.
Bagi Kleden, keleluasaan untuk mengolah data empiris dengan bekal imajinasi-imajinasi kreatif lewat karya asatra ini adalah sebuah “kemewahan” karena jika dibandingkan misalnya dengan akademisi sosiologi atau ilmu sosial lain yang hanya menulis dalam bahasa diskursif-akademik (dengan kerangka positivisme ilmu) maka upaya untuk membaca realitas secara kreatif menjadi sulit untuk dilakukan. Alasannya jika menggunakan banyak imajinasi maka karya tersebut akan dicap sebagai bukan karya ilmiah. Kita bisa katakan bahwa analisis Kleden ini berasalan dimana bahkan hingga hari ini dimana “positivisme ilmu” telah “digempur” oleh berbagai paradigma alternatif lain, nyatanya model penulisan ilmiah ala mazhab positivisme ini masih dominan. Padahal sebagaimana dikeluhkan kalangan poskolonial atau feminis misalnya karya-karya “ilmiah” semacam ini “gagal” menangkap suara-suara tradisi atau kelompok marginal dengan alasan bahsa suara tersebut sangat “subyektif” dan “personal.”
Kleden kemudian mencontohkan bagaimana Kuntowijoyo mempraktekkan proses “translasi” data empiris yang “dimanipulasi” dengan imajinasi-imajinasi kratifnya dalam karya “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan.” Menurut Kleden karya ini sebenarnya adalah kritik Kuntowijoyo terhadap realitas empiris bernama tradisi kejawen. Dalam karya tersebut dikisahkan orang yang berupaya mencari “kesaktian” dengan cara membongkar kuburan orang yang sudah mati dan berupaya untuk mengambil telinga dari si mayit dengan mulutnya sebagai bagian dari prasyarat dari proses “ngelmu” tersebut. Kuntiwijoyo -menurut Kleden- melancarkan kritik terhadap praktik kejawen tersebut dengan menyuguhkan kisah dimana sang pelaku “kesaktian” tersebut mesti berhadapan dengan anjing-anjing yang menyerbu kuburan tersebut yang juga menginginkan untuk “menyantap” jenazah yang ia gali.
Dengan kata lain menurut Kleden, Kuntowijoyo ingin memberi pesan bahwa tidak sepatutnya seorang untuk melakukan praktik semacam itu yang hanya akan berakhir tragis -ia berhadapan dengan kawanan anjing- dan lebih baik orang mengandalkan usahanya sendiri saja. Kuntowijoyo menanamkan pesan yang “rasional” dan juga “agamis” sebagai kontras dari dunia “mistik” Jawa yang menurutnya hanya akan berakhir pada ketragisan. Bagi Ignas Kleden jika menggunakan “pakem” sosiolog atau etnografer mestinya Kuntowijoyo tidak boleh memasukkan idenya sendiri dalam menggambarkan realitas tradisi kejawen, tetapi dalam kasus Sastra maka hal tersebut sah untuk dilakukan.
Selain karya “Anjing-anjing menyerbu kuburan,” Kleden juga melakukan analisis terhadap karya Kuntowijoyo yang lain berjudul “Rumah yang terbakar.” Menurut Kleden karya ini sebenarnya adalah pelukisan Kuntowijoyo terkait dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Jawa (antara kalangan Santri dan Abangan sebagaimana menjadi tesis Geertz). Dilukiskan dalam karangan tersebut ada dua dusun dimana masing-masing memiliki prinsip yang bertentangan. Satu pihak memegang tradisi abangan dimana digambarkan bahwa tidak boleh ada surau di tempat itu dan larangan untuk saling mengawini antara penduduk dusun yang bertentangan tersebut. Pelanggaran terhadap larangan tersebut akan mengakibatkan “yang mbaurekso” akan marah dan bencana akan turun pada dusun tersebut. Sebaliknya, di dusun seberang dapat dikatakan dibangun diatas prinsip santri yang tidak kompromistik.
Menurut Kleden, perubahan terjadi melalui simbolisme pasangan pemuda dan pemudi dari dua dusun tersebut yang menjalin kasih di sebuah rumah kosong di pinggir hutan. Padahal hubungan tersebut adalah terlarang jika mengikut pada adat. Meskipun Kleden tidak menjelaskan mengenai tema cinta ini, namun kita bisa asumsikan Kuntowijoyo yang membaca karya-karya Hamka nampaknya mengdopsi tema asmara sebagai kendaraan untuk mengkritik adat misalnya. Namun dalam kasus Kuntowijoyo, ia memakainya untuk menjelaskan perubahan-perubahan sosial tersebut. Menurut Kleden perubahan tersebut melahirkan konflik yang memuncuk pada rumah kosong yang terbakar yang menandakan bahwa perubahan tidak berjalan dengan mulus.
Secara lebih rinci, di dalam kisah tersebut sejatinya diceritakan ada seorang kyai/ ustadz dari dusun Santri yang tidak tahan dengan adanya rumah yang dianggap menodai “kesucian” dari dusun santri karena dianggap sebagai sarang maksiat. Tanpa mengetahui adanya dua pasangan yang sedang beristirahat di rumah tersebut, sang kyai/ ustadz berinisiatif untuk membakar rumah tersebut agar “kesucian” desa kembali terjaga. Jika kita kembali memaknai peistiwa pembakaran ini sebagai simbolisme mengenai dikotomi sosial kalangan santri dan abangan, maka perilaku tersebut dapat dimaknai sebagai upaya untuk “membalik” perubahan sosial yang itu dilakukan dengan cara-cara yang “keras.”
Perubahan yang “keras” itu menjadi klimaks dari cerita tersebut, dimana di kemudian hari warga yang mengetahui peristiwa tersebut ada yang mengucapkan “alhamdulillah” dan juga “astaghfirullah.” Bagi Kleden peristiwa rumah terbakar tersebut menzahirkan imajinasi warga dua dusun tersebut akan inisiatif-inisiatif perubahan -yang menurut Kleden dapat dikatakan masih belum berhasil dengan disimbolkan terbakarnya rumah-. Ada warga yang merasa “puas” (Alhamdulillah) dan ada yang merasa “tidak puas” (Astaghfirullah). Bahkan dimensi ambivalensi ini sejatinya juga tergambar pada sosok kyai/ustadz yang berinisiatif “membendung” perubahan tersebut setelah mengetahui adanya korban jiwa yakni sepasang pemuda dan pemudi dari dua dusun tersebut dimana setelah kaget dan mengucap Astaghfirullah ia jatuh pingsan.
Kleden tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai kisah “rumah yang terbakar” ini selain menginterpretasikan bahwa ini adalah pelukisan Kuntowijoyo akan perubahan sosial di kalangan masyarakat Jawa (yang tersegregasi antara Abangan dan Santri). Namun kita bisa tambahkan elaborasi Kleden ini dengan menyatakan bahwa kisah ini memperlihatkan spirit Kuntowijoyo untuk mengarahkan para pembaca agar tidak lagi berfikir secara “mistik” ataupun “ideologis” tetapi secara “ilmiah” (ilmu). Kuntowijoyo bisa dikatakan mengkritik mistisisme desa abangan yang dikarenakan takut pada “yang mbaurekso” maka melarang pembangunan tempat ibadah dan melarang hubungan cinta kasih yang “tulus” antara pemuda dan pemudi dari dua dusun tersebut. Namun Kuntowijoyo juga mengkritik kecenderungan ideologis dari kalangan Santri yang melihat secara hitam putih sehingga justru menghasilkan tindakan yang kontraproduktif. Sebaliknya apa yang hendak disampaikan Kuntowijoyo adalah kita mesti berfikir secara “ilmiah” yang mengisyaratkan kompleksitas dalam memaknai dan bertindak.
Ambil contoh, Kuntowijoyo berupaya menggumuli Marxisme melalui kacamata “ilmiah” dan bukan “ideologis,” dimana dengan cara pandang “ilmu” maka ia dapat mengambil inspirasi dari Marxisme (misal analisis kelas) namun tidak terjatuh pada pengambilan “buta” misal teori revolusi Marxisme yang dikembangkan Lenin misalnya. Tanpa cara pandang “ilmu” maka orang hanya akan punya pilihan menerima secara mutlak karena Marxisme adalah “kebenaran final” (logika mistisisme/ sakralisasi) atau menolaknya mentah-mentah karena dianggap anti-agama sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian kalangan umat Islam di Indonesia (logika ideologis). Dengan kata lain kita bisa katakan bahwa dua dusun selain juga menyimbolkan abangan dan priyayi juga adalah simbolisasi logika biner yang harus dilampaui. Pelampauan itu bisa dilaksanakan jika cara berikir kita yang “mistik” atau “ideologis” dapat diganti dengan cara berfikir “ilmu” sehingga -disimbolisasi dalam kisah tersebut- tidak perlu ada korban jiwa yang jatuh sehingga menimbulkan syok berat dari sang ustadz/kyai.
Analisis Kleden terhadap karya-karya Kuntowijoyo tersebut amat menarik. karena jika kita berkaca pada kesimpulan Kleden tersbeut kita bisa menarik kesimpulan bahwa Kuntowijoyo sejatinya berupaya melestarikan spirit gurunya yang membangun mazhab sejarah indonesiasentris yang memihak wong cilik. Dengan kata lain Kuntwoijoyo tidak hanya ingin menjadi “tukang potret” realitas tetapi turut bergumul dan membentuk realitas secara emansipatoris. Kita bisa katakan panduan dari Kuntowijoyo untuk bergumul dengan realitas adalah etika profetik yang berpijak pada tiga nilai yakni transendensi, humanisasi, dan liberasi.
Nilai profetik ini tergambar jelas misalnya dalam karya “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” dimana Kuntowijoyo mengkritik praktik mencuri jenazah untuk “ngelmu” yang dinilainya bertentangan dengan prinsip transendensi Islam (melakukan praktik magis) dan juga bertentangan dengan prinsip humanisasi dimana mestinya jenazah itu dihargai dan bukan dibongkar dan digunakan untuk kepentingan “ngelmu” seseorang. Sedangkan dalam kisah “Rumah yang terbakar” kita diajak oleh Kuntowijoyo untuk merenung bahwa perubahan sosial adalah suatu yang tidak terelakkan, dan yang penting adalah bagaimana kita menggumulinya dengan pendekatan profetik agar tidak terjadi ekses-ekses yang negatif.
Kleden mengapresiasi kemampuan Kuntowijoyo untuk menghasilkan karya sastra yang “memihak” tersebut dan di sisi lain paham adanya “pakem” dalam ilmu sejarah yang tidak “memperbolehkan” Kuntowijoyo untuk menulis tulisan yang “terlalu subyektif.” Bagi Kleden sebagai solusinya Kuntowijoyo mampu “bergonta ganti” peran sebagaimana terlihat dalam karya tulisnya. Jika menulis artikel sejarah maka ia akan mematuhi kodidor positivisme ilmu namun ketika ia menulis artikel sastra maka ia dapat “bergerak lebih bebas” dalam mengkritik atau mengimajinasikan realitas. Bagi Kleden kepiawaian Kuntowijoyo tersebut yang tidak “mencampuradukkan” jenis tulisan membuatnya layak menjadi contoh atau role model bagi kalangan intelektual lain yang berupaya menempuh jalan serupa.
Namun perlu diberikan catatan pula bahwa Kuntowijoyo bukan sosok “pasif” yang menerima begitu saja “pakem” positivisme ilmu khususnya dalam bidang ilmu sosial humaniora tetapi ia juga berupaya merekonstruksi pakem tersebut dengan mewacanakan apa yang disebut sebagai pendekatan profetik. Dalam dokumenter tersebut, sang istri Susilaningsih menyatakan bahwa sebenarnya Kuntowijoyo selalu berupaya menyusun semua karyanya -tidak terbatas pada karya sastra- dengan basis nilai yang kokoh yakni nilai profetik. Maka kita bisa katakan bahwa Kuntowijoyo berupaya “bernegosiasi” atau membangun jembatan dalam tataran epistemologis agar nilai dan fakta tidak berjalan sendiri-sendiri tetapi dapat berjalan beriringan.
Namun analisis Kleden mengenai strategi metodologis Kuntowijoyo yang mampu “berpindah-pindah” genre (ilmu sosial atau sastra) juga tidak keliru, sebab dalam karir intelektualnya Kuntowijoyo paham bahwa manuvernya dalam dunia sastra memang lebih luas. Kleden sendiri menyatakan bahwa sastra memang memiliki potensi dalam merubah realitas dibandingkan dengan ilmu sosial yang “psoitivistik” karena dalam sastra kita dimungkinkan untuk membayangkan satu possible world (dunia yang mungkin) dan bukan membatasi dirinya dari empirical world.
Dengan kata lain sastra memungkinkan pikiran kreatif untuk tumbuh, dimana sang pengarang diberi keleluasaan untuk membayangkan apa opsi-opsi yang sekiranya dapat diambil untuk meperbaharui realitas dan realitas alternatif seperti apakah yang dimungkinkan untuk dibangun. Jika merujuk pada sosok Kuntowijoyo kita bisa katakan bahwa imajinasi Kuntowijoyo tidakah keluar dari imajinasi profetik yakni realitas yang bersendikan nilai transendensi, humanisasi, dan liberasi. Maka bisa kita katakan bahwa Kuntowijoyo telah mengubah -dan bukan Kuntowijoyo seorang tentunya yang berfikir semacam ini- sastra menjadi satu ruang kreativitas, satu ruang dimana akademisi dapat lebih leluasa untuk memikirkan proyek emansipasi di tengah “kebuntuan” dunia akademik yang “dipagari” oleh batas-batas positivisme ilmu.
Dari dokumenter “Dua Dunia Kuntowijoyo” tersebut kita bisa pahami kedalaman analisis Kleden terhadap salah satu pemikiran dari tokoh Muslim modern di Indonesia yakni Kuntowijoyo. Kembali kepada “pengakuan” Kleden ketika ia diminta menjadi pembedah buku “Khazanah Intelektual Islam” karya Nurcholish Madjid, kita bisa ikut “bersimpatik” kepadanya karena dalam konteks membaca kaya-karya intelektual Muslim di era klasik maka itu adalah teks yang asing baginya. Maka tidak keliru ketika Kleden sesekali “menyindir” Ibu Kartini -dari Yayasan Obor- yang “memaksanya” untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.
Namun yang sejatinya patut diapresasi adalah meskipun Kleden mengaui bahwa ia membaca teks yang asing baginya (ia mengaku hanya punya waktu 10 hari untuk membaca buku tersebut) namun jika kita menyimak pemaparannya dalam acara tersebut sama sekali tidak ada kesan bahwa ia adalah orang yang “asing” terhadap kajian tersebut. Dengan kata lain Kleden adalah sosok intelektual yang mumpuni karena dapat menguasai pembahasan yang asing dalam waktu cepat. Sosoknya mungkin paralel -dalam derajat tertentu- dengan sosok Ibnu Sina yang dikaguminya setelah membaca buku tersebut dimana menurut Kleden apa saja yang “dilahap” oleh Ibnu Sina dengan cepat dikuasainya. Nampaknya Kleden juga mewarisi spirit Ibnu Sina sehingga dalam waktu kurang dari dua minggu ia dapat menghasilkan analisis yang tajam terhadap pemikiran para intelektual Muslim di era klasik.
Setidaknya ada lima pokok gagasan dari Kleden terkait dengan pembacaannya terhadap khazanah intelektual Muslim klasik tersebut yang bisa dikatakan ia perbandingkan dengan tradisi intelektual di Barat. Pertama, menurut Kleden tradisi Islam klasik itu tidak memiliki center of excellence (pusat-pusat keilmuan). Bagi Kleden fenomena ini berbeda dengan dunia Barat dimana memiliki center of excellence yang terpusat seperti Paris misalnya di era klasik (abad pertengahan). Ketiadaan center of excellence di mata Kleden adalah suatu hal yang positif karena menandakan bahwa dimanapun Islam berkembang maka pada saat itulah wilayah tersebut potensial menjadi tempat lahirnya para intelektual yang besar.
Dengan kata lain apa yang dikatakan oleh Kleden menjadi semacam kritik terhadap kalangan yang mengidentikkan Islam sama dengan Arab. Karena faktanya dari para tokoh yang ditampilkan oleh Nurcholish Madjid dalam karya tersebut hanya satu yang berasal dari jantung wilayah Arab yaitu Al-Kindi yang berasal dari Arab. Sementara menurut Kleden, Al Asy’ari itu dari Iraq, Al-Farabi berasal dari Kazakhstan, Ibnu Sina itu besar di Persia tetapi lahir di Uzbekistan, Al-Ghazali dari Persia, Ibnu Rusyd dari Andalusia (Spanyol), Ibnu Taimiyyah dari mesopotamia (Harran), dan Ibnu Khaldun dari Tunisia sebelum pindah ke Kairo, dan Al-Afghani lahir dari Asadabab (yang bisa mengacu pada kota di Pakistan atau Iran).
Analisis Kleden tersebut dapat diperluas dengan mengambil kasus Asia Tenggara misalnya. Ketika Islam masuk dan berkembang di Asia Tenggara dapat dikatakan iklim intelektual juga tumbuh subur di wilayah ini. Salah satu contohnya adalah munculnya sosok Hamzah Fansuri yang bisa dikatakan paralel dengan sosok Rumi di Persia. Alasannya karena Fansuri berfilsafat dengan syair-syairnya sebagaimana Rumi.
Selain Hamzah Fansuri kita bisa temukan tokoh-tokoh lain semacam Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdur Rauf Singkili, dan Abdus Shamad al Palimbani yang juga menghasilkan karya-karya besar baik di bidang filsafat dan teologi atapun tasawuf. Dengan kata lain sebagaimana dinyatakan oleh Kleden, ketiadaan center of excellence ini adalah sebuah keistimewaan karena jika satu wilayah mengalami keruntuhan dalam bidang intelektualiyas misalnya Baghdad atau Andalusia namun akan lahir tradisi intelektual Islam dari wilayah-wilayah lain yang mungkin tidak terfikirkan sebelumnya.
Kedua, Kleden mengegaskan bahwa salah satu tema sentral yang diperbincangkan oleh para intelektual Muslim klasik ialah soal teori pengetahuan. Dengan kata lain ini adalah soal epistemologi. Kleden menggarisbawahi keberadaan dua “kubu” yang bertentangan dalam menyikapi sumber pengetahuan yang valid, apakah hanya terbatas pada sumber Islam yakni Quran dan Hadits ataukah diperlukan juga apropriasi terhadap sumber pengetahuan filsafati dari Yunani. Sebelum melangkah kepada sumber Filsafat Yunani, Kleden memaparkan satu uraian yang singkat namun penuh makna. Menurutnya pertentangan dua kubu ini hanya mungkin terjadi ketika sumber Islam telah terkodifikasi dengan baik sehingga dia dapat diakses oleh semua kalangan umat.
Kleden memberikan penjelasan bahwa umat Islam beruntung bahwa kodifikasi Quran telah terlaksana di era Utsman dengan pembukuan Al-Quran. Sedangkan kodifikasi Hadits berikut metodologinya telah dikembangkan oleh para sarjana diantara yang paling kesohor ialah Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasai. Kodifikasi itu penting karena dengan itulah dapat dicegah adanya kemungkinan adanya orang-orang yang berkata secara sembrono tentang pribadi dan ucapan sang Nabi. Dengan kata lain dengan adanya kodifikasi tersebut maka memungkinkan bagi sosok semacam Ghazali misalnya untuk menyerukan agar umat Islam hanya mencukupkan sumber pengetahuan pada sumber primer Islam yaitu Quran dan Hadits dan tidak perlu “menoleh” kepada sumber-sumber filsafat Yunani.
Sedangkan kubu yang kontra dengan Al-Ghazali adalah para filusuf peripatetik semacam Al-Kindi, Farabi, dan Ibnu Sina. Para filusuf tersebut menerima sumber-sumber primer Islam tetapi mereka juga ingin agar sumber pengetahuan diperluas mencakup sumber-sumber filosofis Yunani yang “spekulatif” tersebut. Namun menurut Kleden, diantara para filusuf tersebut mereka menempuh strategi yang berbeda-beda dalam mengupayakan agar terjadi “simbiosis” antara filsafat Yunani dan Islam.
Maka bagi Kleden, Al-Kindi mengawali “tugas peradabannya” dengan melakukan proyek Islamisasi (Kleden juga menggunakan istilah Arabisasi disamping Islamisasi) untuk memastikan agar filsafat Yunani tidak bertentangan dengan sumber primer Islam. Menurut Kleden, upaya ini dilanjutkan oleh Farabi namun dengan memberikan porsi yang lebih besar dalam upaya penerimaan terhadap filsafat Yunani khususnya dalam bidang logika dan metafisika.
Apa yang dikatakan Kleden adalah tepat karena kajian logika misalnya mengalami perkembangan pesat di era Farabi yang bahkan oleh sebagian kalangan dianggap tidak bisa dilampaui oleh tokoh besar semacam Ibnu Sina. Sementara di bidang metafisika, Al-Farabi adalah pionir dari adopsi skema emanasi yang sebelumnya tidak ditemukan dalam metafisika Al-Kindi. Langkah Al-Farabi tersebut dilanjutkan oleh Ibnu Sina yang melihat bahwa filsafat Yunani sebagai alat yang positif untuk mensistematisasiskan cara berfikir sehingga mudah untuk mengecek kemudian apakah ide seseorang tersebut memiliki kecacatan atau tidak.
Dari penjelasan Kleden tersebut kita bisa melihat bahwa baik Al-Kindi ataupun Farabi dan juga Ibnu Sina berupaya membangun satu jembatan yang menghubungkan antara sumber-sumber primer Islam dengan sumber di luar Islam dalam hal ini adalah filsafat Yunani. Namun proyek “integrasi” ini mendapatkan kritik dari sosok semacam Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah yang keduanya lebih condong untuk menarik kembali gravitasi ke sumber-sumber primer Islam yaitu Quran dan Sunnah. Menurut Kleden, dua proyek intelektual ini sama-sama menarik dan justru mengkayakan perkembangan tradisi intelektual Islam. Pasalnya meskipun Ghazali misalnya berupaya menentang “sintesis” yang dilakukan oleh Farabi dan Ibnu Sina misalnya namun upaya penentangannya tersebut dilakukan secara akademis dan menghasilkan karya-karya yang besar pula.
Kleden misalnya menyebut bahwa sebelum melakukan proyek kritiknya terhadap bangunan filsafat peripatetik, ia mempelajari tradisi tersebut secara mendalam termasuk memperkayanya dengan kajian tentang tradisi Mutazilah yang seringkali diasosiasikan dengan kecenderungan “rasionalismenya.” Berbekal penguasaan terhadap tradisi filsafat peripatetik itulah ia menggunakannya sebagai alat untuk “menyerang” posisi-posisi Farabi dan Ibnu Sina yang dinilainya terlalu jauh menarik gravitasi sumber pengetahuan ke arah filsafat Yunani dan mengecilkan sumber-sumber primer Islam. Lebih jauh menurut Kleden, pasca proyek “dekonstruksinya” tersebut Al-Ghazali berupaya merekonstruksi kembali tradisi intelekual Islam secara baru yang baginya memberikan runag lebih besar bagi penggunaan sumber-sumber primer Islam. Apa yang dikatakan oleh Kleden ini dpaat dikatakan tepat karena kita bisa melihat gejala ini secara eksplisit dalam salah satu karya monumental Ghazali yakni Ihya Ulumuddin yang berarti Kebangkitan ilmu-ilmu agama. Dari judul tersebut nampak bahwa dalam proyek rekonstruksi Ghazali ia berkehendak untuk memberi posisi yang signifikan pada sumber-sumber Islam dalam keseluruhan bangunan tradisi intelektual Islam.
Sebagai informasi, Ghazali tidak sepenuhnya menolak proyek “sintesis” yang dilakukan oleh Farabi dan Ibnu Sina, hanya saja bagi Ghazali ada ruang-ruang kajian yang mestinya lebih didasarkan pada sumber-sumber primer dan bukan nalar spekulatif. Ruang yang dimaksud ialah metafisika dan juga fisika yang bagi Ghazali menyimpan problem jika kajian tentangnya lebih banyak mendasarkan pada spekulasi rasional sementara bidang metafisika misalnya adalah domain yang tidak terjangkau akal. Begitu pula dengan fisika, dimana Ghazali keberatan dengan ide kausalitas yang dipandangnya potensial memutus peran Tuhan dalam aalm semesta dan membayangkan semesta dapat berjalan secara independen dari Tuhan (kita bisa melihat logika semacam ini sangat kuat dalam fisika modern misalnya).
Proyek “dekonstruksi” dan “rekonstruksi” tradisi intelektual Islam yang dimotori Ghazali tersebut bagi Kleden adalah proyek yang luar biasa. Hanya saja ia nampak bersepakat dengan Nurcholish Madjid yang percaya bahwa proyek intelektual Ghazali tersebut sedikit banyak juga mengakibatkan “kelesuan” atau “stagnasi” dalam pengembangan tradisi intelektual Islam pasca Ghazali. Menurut Kleden banyak pihak yang merasa bahwa proyek “rekonstruksi” pengetahuan Ghazali sudah paripurna sehingga tidak perlu ada lagi “dinamisasi” dan “kreativitas” dalam pengembangan tradisi intelektual Islam setelahnya. Mereka kemudian menjadikan proyek Ghazali tersebut sebagai “comfort zone” (zona nyaman) untuk memilih “tidak berfikir” dan cukup taqlid saja.
Tentu ada banyak pro kontra di kalangana akademisi sendiri mengenai apakah Ghazali menjadi sebab “stagnasi” intelektualisme Islam atau tidak (yang terbaru misal Ahmet T Kuru yang sepertinya menyetujui tesis stagnasi ini) tetapi sebenarnya yang ingin ditekankan oleh Kleden ialah bahwa bukan Ghazali yang ingin mencipta “comfort zone,” tetapi sebagian kalangan yang memang “malas berfikir” kemudian menjadikan Ghazali sebagai “tameng” mereka untuk membangun “comfort zone” tersebut. Sementara proyek intelektual Ghazali sendiri bagi Kleden tidak bisa dipungkiri adalah kerja yang sangat hebat dalam konteks merekonstruksi ulang teori pengetahuan yang sebelumnya didominasi oleh pengaruh peripatisme Farabi dan Ibnu Sina.
Selain Al-Ghazali yang melancarkan proyek “rekonstruksinya” terhadap tradisi intelektual Islam, Ibnu Taimiyyah juga adalah tokoh yang berada dalam satu “sampan” dengan Al-Ghazali. Menurut Kleden baik Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah ingin memberi porsi yang lebih besar kepada sumber-sumber primer Islam dalam konstruk teori pengetahuannya. Kleden sempat bercanda dengan Ulil Abshar Abdalla yang menyebut Ulil sebagai “teman” Ibnu Taimiyyah ketika ia (Ulil) menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah membenci Yunani secara personal dan bukan karena alasan intelektual. Bagi Kleden kalaupun Ibnu Taimiyyah benci kepada Yunani karena alasan personal dan bukan intelektual tetapi jelas bahwa “kebenciannya” itu ia formulasikan dalam proyek intelektual pula yang canggih.
Menurut Kleden, Al-Ghazali yang meskipun sangat kritis terhadap bangunan metafisika dan fisika Yunani yang diapropriasi oleh Ibnu Sina dan Farabi namun nampaknya Ghazali menerima logika Yunani tanpa reservasi. Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyyah yang memiliki keberatan terhadap logika Yunani tersebut dan bisa dikatakan proyek kritiknya sangat banayk dilancarkan terhadap isu logika tersebut. Bagi Kleden apa yang dikeluhkan oleh Ibnu Taimiyyah bukan suatu hal yang “remeh” tetapi merupakan satu hal yang penting. Bagi Kleden logika Yunani yang dibasiskan pada silogisme dipandang oleh Ibnu Taimiyyah sebagai “kosong” dan “tidak membumi.”
Jika menggunakan istilah Alaprslan Acikgenc -filusuf Turki kontemporer- mungkin bisa dikatakan kritik Ibnu Taimiyyah ini ialah ia membuka kembali debat soal kebenaran dalam arti “konseptual” dan dalam arti “eksistensial.” Kebenaran “konseptual” yang dibassikan pada logika Yunani silogisme hanya berbicara tentang hal-hal yang abstrak. Walaupun penarikan kesimpulannya benar namun apa yang disimpulkan juga merupakan suatu yang abstrak dan tidak terkait dengan kebenaran “eksistensial” sama sekali. Dengan kata lain Ibnu Taimiyyah menarik gravitasi teori kebenaran bukan lagi pada pengejaran kebenaran “matematis” yang mungkin bermakna secara “teoretik” namun ia tidak bermakna secara “eksistensial” bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Kita mungkin bisa melihat gaya berfikir semacam ini pada para filusuf eksistensialis modern semacam Kierkegaard yang mengkritik Hegel misalnya dimana apa yang dibicarakan Hegel adalah suatu yang sepenuhnya abstrak dan justru dalam taraf tertentu mendehumanisasi manusia karena individu-individu yang kongkrit “dibenamkan” dalam ide-ide abstrak seperti sejarah, masyarakat, negara, dan semacamnya. Maka bagi Ibnu Taimiyyah kebenaran “eksistensial” ini tidak bisa didapatkan dengan bergantung pada sumber-sumber Yunani tetapi pada sumber primer Islam. Bagi Kleden “empirisme” Ibnu Taimiyyah bukan makanya empirisme yang dipahami dalam ilmu alam saat ini tetapi ia mengubah gravitasi teori kebenaran dari yang sangat “abstrak” ke yang “kongkrit” dalam arti ekesitensial. Artinya kebenaran yang diperjuangkan oleh Ibnu Taimiyyah bukan lagi kebenaran “konseptual” yang bisa jadi canggih tapi “omong kosong” -dalam istilah Kleden- tetapi yang lebih penting adalah kebenaran “eksistensial” yang membumi.
Lebih jauh, Kleden menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah sadar ketika menolak logika Yunani maka bagaimana cara memeriksa kebenaran? Apakah artinya kebenaran itu “subyektif” tergantung proses pemaknaan individual yang berbeda-beda? Bagi Ibnu Taimiyyah sebagaimana dinyatakan Kleden – solusi untuk ini ialah mengajukan alternatif logika yaitu intuisi. Kleden menyatakan bahwa posisi Ibnu Taimiyyah ini sekiranya sejajar dengan Bergson dalam tradisi Barat modern. Bagi Bergson intuisi memungkinkan seseorang untuk menarik kesimpulan secara benar tanpa melalui tahapan-tahapan logis. Dengan kata lain intuisi semacam “sinar” dalam pikiran yang memungkinkan seseorang untuk memahami kebenaran.
Kleden menyatakan bahwa penekanan pada intuisi ini mengimplikasikan model pencarian kebenaran yang sama sekali lain dari model “konseptual” ala peripatetik. Bagi Kleden, karena intuisi berkaitan dengan “penyinaran” dari Tuhan maka ia harus dicapai lewat pembersihan jiwa seseorang. Jika kita kaitkan dengan dikotomi antara kebenaran “konseptual” dan “eksistensial” maka metode perolehan kebenaran “eksistensial” ini bisa dikatakan sangat “membumi” sekali karena dikaitkan dengan praktik keseharian Islam itu sendiri yang menekankan pada ibadah dalam arti luas. Ketika seorang melakukan berbagai amalan ibadah yang bersifat keseharian itulah maka ada “jaminan” bahwa ia akan memperoleh kebenaran tersebut dan bukan mesti “menyepi” di “menara gading” semacam “dunia kampus” pada hari ini.
Dalam bahasa Kleden, Ibnu Taimiyyah mengubah teori pengetahuan dari “teoritik” menjadi teori pengetahuan berbasis kehidupan religius. Seorang dihasung untuk mengalami kebenaran “eksistensial” dengan penghayatannya pada praktik ibadah secara luas dan juga “berjumpaannya” secara langsung dengan sumber-sumber primer Islam yaitu Quran dan Hadits yang dengannya maka “penyingkapan” kebenaran akan terjadi. Jadi kebenaran bukan diperoleh dengan “menjauhkan diri” dari empirisme kehidupan religius tetapi justru semakin intens bergumul dengan kehidupan religius tersebut. Bahkan semakin intens seorang kembali kepada empirisme yakni sumber primer Islam yaitu Quran dan Hadits maka derajat-derajat penyingkatan melalui proses intuitif tersebut akan terus meningkat.
Menurut Kleden, pasca Ghazali dan Ibnu Taimiyyah, kecenderungan “empirisme” menjadi sangat kuat dan itu juga membekas pada diri Ibnu Khaldun yang berupaya merekonstruksi tradisi intelektual Islam berbasis tradisi peripatetik dan juga para pengkritiknya. Bagi Ibnu Khaldun, kebenaran “konseptual” dan “eksistensial” mestilah disatukan karena bagaimanapun juga kebenaran “konseptual” juga penting khususnya bagi para sarjana. Namun bagi Ibnu Khaldun, kebenaran “kosneptual” mestilah dibangun diatas pijakan yang membumi yakni kebenaran eksistensial.
Maka kemudian Ibnu Khaldun keluar dengan “rumusan” bahwa seseorang mestilah mantap dalam hal keagamaan terlebih dahulu sehingga itu menjadi pijakan ketika berupaya menggumuli kebenaran “konseptual” dengan alat bantu Filsafat Yunani tersebut. Menarik ketika kita membandingkan rumusan Ibnu Khaldun tersebut yang bisa dikatakan paralel dengan Mulla Sadra yang oleh Nasr disebut mengembangkan sistem filsafat khusus yang disebut theosophy. Artinya filsafat tidak boleh dipisahkan dari pengalaman keagamaan yang autentik.
Ketiga, bagi Kleden tema sentral lain ialah masalah kemahakuasaan Tuhan dan soal moralitas manusia. Sebagaimana dikatakan Kleden, ini adalah pembahasan teologi pada mulanya karena menyangkut konsep iman. Tetapi pada saat yang sama kita bisa katakan juga bahwa ini adalah pembahasan filsafat moral karena debat tersebut justru memuncak pada pertanyaan mengenai hakikat manusia sebagai makhluk moral. Mengutip narasi Nurcholish Madjid, pada mulanya debat ini muncul seiring dengan hadirnya kelompok Khawarij.
Kalangan Khawarij ini berupaya mengajukan pertanyaan teologis namun dengan implikasi politik yang besar. Bagi Khawarij apakah seorang masih dianggap beriman jika melakukan kemaksiatan yang tergolong dosa besar? Mereka meyakini bahwa iman seorang batal dan implikasinya mereka harus dilenyapkan. Dan kalaum Khawarij-lah yang memiliki mandat untuk melakukan eksekusi tersebut. Bahkan lebih jauh menurut Kleden, kaum Khawarij menyatakan siapa yang tidak menganggap orang yang berdosa besar itu kafir (hilang imannya) maka ia kafir pula dan berhak untuk dieksekusi oleh Khawarij.
Namun bagi kleden teori iman Khawarij ini mengalami problem baik secara politis ataupun secara teologis. Dari sisi politis, Khawarij mesti berhadapan dengan penguasa Umayyah yang waktu itu dalam kacamata Khawarij sudah melakukan dosa besar dan mesti dieksekusi. Masalahnya menurut Kleden bagaimana “kelompok sempalan” berhadapan dengan imperium yang memiliki kekuasaan besar. Dari sisi politik ini pada akhirnya kalangan Khawarij menjadi musuh dan diburu oleh imperium Umayyah. Dari sisi teologis, debat ini pada akhinya justru melebar kepada persoalan filsafat moral mengenai hakikat manusia itu apakah ia memiliki free will (kehendak bebas) atau tidak? Sebagai kontra dari Khawarij muncul kalangan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas sehingga posisi ini menegasikan legitimasi Khawarij untuk melakukan proyek politiknya mengekseskusi orang-orang yang dianggap murtad. Bagi Jabariyah, jika manusia tidak memiliki kehendak bebas maka apa legitimasi anda untuk membunuh orang-orang tersebut?
Menariknya menurut Kleden, kalangan Jabariyah ini bukan berhadapan dengan Khawarij yang nampaknya tidak memiliki argumen untuk mengkritisi Jabariyah. Jabariyah berhadapn dengan kelompok baru yakni Qadariyah yang membela adanya free will (kehendak bebas) dan menyatakan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Menariknya kalangan Qadariyah ini tidak memiliki posisi sebagaimana Khawarij yang mengimplikasikan bahwa jika ada pelaku dosa besar -karena pilihan bebasnya- maka ia berhak dieksekusi. Dapat dikatakan kalangan Qadariyah ini lebih mewakili kalangan intelektual dan bukan gerakan politik sebagaimana Khawarij.
Kleden kemudian menyatakan bahwa debat tersebut berlangsung secara dinamik termasuk muncul kalangan Irja’ yang menyatakan bahwa benar bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar itu secara moral keliru -artinya kalangan ini mengakui kehendak bebas manusia- tetapi seorang tidak boleh melakukan main hakim sendiri. Biarlah urusan orang yang berdosa besar itu dikembalikan pada pengadilan akhirat nantinya. Posisi ini menarik karena mendeligitimasi posisi politik Khawarij tetapi pada saat yang bersamaan juga menegasikan posisi Jabariyah yang menolak kehendak bebas manusia.
Satu poin yang tidak dikemukakan oleh Kleden ialah bahwa debat mengenai kehendak bebas manusia ini yang kemudian dibahas panjang lebar dalam tradisi etika dalam Islam. Dalam tradisi etika (filsafat moral) Islam memang manusia ditetapkan memiliki kehendak bebas (free will) sehingga ia dapat disebut makhluk moral yang tindakannya dapat diberi label “benar” atau “salah.” Tetapi bukan sebagaimana kalangan Khawarij yang kemudian mengambil solusi politik, kalangan intelektual Muslim dalam tradisi etika ini justru berupaya mentransformasikan manusia agar tidak lagi mengambil tindakan yang keliru termasuk dalam hal ini dosa besar dan mengarahkannya kepada tindakan yang utama.
Dibasiskan pada upaya mentrasnformasi perilaku manusia, tradisi etika Islam telah menghasilakn berbagai karya-karya yang agung termasuk juga menjadi pionir bagi pengembangan disiplin psikologi dalam upaya memahami jiwa manusia dan bagaimana jiwa berpengaruh terhadap tindakan, termasuk pula bagaimana cara untuk mentransformasi jiwa. Dengan kata lain debat yang awalnya bernuansa politis-teologis kemudian bergerak ke teologi “spekulatif” (scholastic theology) dan akhirnya bergerak ke etika (filsafat moral) yang melahirkan satu tradisi intelektual yang kaya di bidang ini.
Keempat, adalah soal keterkaitan antara dimensi teoritik dengan praksis. Kleden hanya sedikit saja membahas mengenai tema ini dimana ia komparasikan dengan tradisi intelektual Barat. Menurut Kleden, dalam trasifi filsafat Barat para filusuf sangat “sibuk” menyusun sistemya sendiri-sendiri. Sistem di sini maksudnya adalah perenungan spekulatif yang sifatnya murni teoritik dan tidak berkaitan dengan dimensi praktik. Namun menurut Kleden, dalam tradisi filsafat Islam tidak ada pembangunan sistem dalam arti bahwa pembangunan tradisi intelektual pertama-tama mesti memiliki dimensi praktis dan tidak sekedar renungan teoritis yang “abstrak” saja.
Bahkan sosok semacam Ibnu Sina yang menjadi sasaran kritik Ibnu Taimiyyah karena diangap berlalu “mengawang” saja misalnya juga sangat menekankan dimensi praktis ini pada dasarnya. Kleden menyatakan bahwa Ibnu Sina pernah berkata bahwa penemuan logika Yunani adalah sebuah kebahagiaan bagi dirinya. Alasannya karena dengan logika tersebut membuatnya dapat berfikir secara lebih teratur dan efisien dibanding tanpa adanya logika tersebut. Dnegan kata lain menurut Kleden, mempelajari logika bukan hanya semata-mata teoritis tetapi karena melaluinya ia dapat memperoleh kebahagiaan yang sifatnya personal karena membantunya berfikir secara lebih sistematis. Sehingga tidak ditemukan belajar logika sekedar karena ingin tahu saja tetapi ia mesti memiliki dampak praktis.
Apa yang dikatakan Kleden paralel dengan gagasan Alpardlan Acikgenc. Menurut Acikgence, genesis (kemunculan) ilmu pengetahuan antara Yunani dan Barat sangat berbeda. Jika menjadikan kemunculan para filusuf pre-sokratik sebagai awal berkembangnya ilmu pengetahuan maka ilmu yang berkembang pertama kali adalah ilmu fisika (filsafat alam). Satu kajian yang sangat teroritik dan mungkin hanya dapat diakses oleh para “elit” filusuf itu sendiri (sebagai analogi, dalam era modern ilmu ini mungkin hanya NASA atau lembaga antariksa lain misalnya yang bisa mengakses secara primer ilmu astronomi). Namun dalam peradaban Islam, ilmu-ilmu yang pertama kali muncul adalah ilmu-ilmu agama dan menariknya menurut Alparlsan ilmu-ilmu teoritik hingga bentuknya yang spekulatif muncul sebagai ekstensi dari ilmu-ilmu agama tersebut. Mudahnya ilmu astronomi dan geografi misalnya muncul pertama kali dari kebutuhan praktis untuk mengetahui arah kiblat dan juga menentukan rute ke Makkah (untuk berhaji).
Kelima, soal profil intelektual Muslim klasik, secara khusus Ibnu Sina. Bisa dikatakan Kleden sangat mengagumi Ibnu Sina meskipun juga menaruh rasa hormat yang tinggi kepada para pemikir Muslim yang disebut dalam karya tersebut seperti Ghazali dan Ibnu Taimiyyah. Bagi Kleden Ibnu Sina adalah seorang polymath, dimana segala yang “dipegangnya” dapat dikuasainya dengan cepat dan begitu mendalam. Kleden misalnya menggarisbawahi bahwa pada umur 17 tahun Ibnu Sina sudah menguasai body of knowledge dari ilmu kedokteran. Itupun sebelumnya ia telah menguasai berbagai ilmu-ilmu keislaman dengan baik seperti Quran, Fiqih, dan gramatika Arab.
Lebih jauh, Ibnu Sina tidak hanya menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan baik tetapi juga mampu menjadi otoritas dalam bidang tersebut. Tidak mengherankan Kleden menukil Russel yang menyatakan bahwa Ibnu Sina ditahbiskan sebagai otoritas tertinggi kedokteran di dunia Barat selama lebih kurang lima abad (12-17) lewat karya monumentalnya Qanun fi at-Thibb. Jadi bagi Kleden para intelektual Muslim semacam Ibnu Sina adalah orang yang hebat dan patut untuk diteladani.
Kita bisa tambahkan bahwa apa yang dikatakan Kleden tersebut juga mestinya memicu kita semua untuk tidak hanya “puas diri” memiliki sosok yang hebat seperti Ibnu Sina tetapi justru menjadikan otorkitik bahwa jika Ibnu Sina mampu “memegang apapun jadi” tetapi kenapa saat ini kita yang memiliki fasilitas pendidikan lebih baik dibanding di zaman Ibnu Sina tidak bisa mencapai derajat tersebut? Otokritik ini penting agar seorang tidak terjebak nostalgia masa lalu tetapi menjadikan masa lalu sebaagi cermin untuk mengubah/mentransformasi diri menjadi lebih baik ke depannya.
Sebagai penutup, kita bisa katakan bahwa Ignas Kleden adalah contoh intelektual yang memiliki wawasan yang luas sebagaimana “idolanya” yakni Ibnu Sina. Meskipun ia tidak mendalami kajian tradisi intelektual Islam klasik namun hanya dalam waktu 10 hari membaca ia dapat menghasilkan analisis yang begitu tajam. Begitu pula dengan tilikannya mengenai karya-karya intelektual Muslim modern di Indonesia seperti Kuntowijoyo yang menunjukkan abwha ia bias mengurai pesan-pesan simbolis yang dituangkan Kuntowijoyo melalui novelnya. Intelektualisme Ignas Kleden ini mestilah mendorong umat Islam secara khusus misalnya untuk mempelajari dan mendalami tradisi intelektualnya yang telah diuraikan secara menarik oleh Kleden. Intelektualisme Kleden yang mau belajar dari tradisi Islam meskipun ia adalah seorang Kristen juga mestinya menjadi semacam pemicu baik bagi umat Islam atau agama lain bahwa karya intelektual dari berbagai tradisi (baik Barat, Islam, Timur, Afrika, dan selainnya) adalah warisan dunia yang mestinya dipelajari secara simpatik tetapi juga kritis. Kleden misalnya selepas memaparkan analisisnya secara rendah hati menyatakan bahwa ingin lebih mendalami dan mengkomparasikan tradisi intelektual Islam dengan tradisi intelektual Barat yang selama ini digelutinya. Hendaknya budaya ilmu semacam ini -sebagaimana juga ditunjukkan oleh akademisi lain semacam Kuntowijoyo mestilah dimiliki oleh setiap intelektual dan juga publik secara luas di negara ini. Harapannya ke depan dengan tumbuhnya budaya ilmu yang sehat maka akan menjadi fondasi kuat bagi majunya peradaban Indonesia yang bermanfaat tidak hanya bagi rakyat Indonesia sendiri tetapi juga bagi masyarakat global termasuk bagi kelestarian alam semesta.