Anti-Planned Development

Jangan-jangan dalam lima tahun ke depan, negara tidak sedang merencanakan agenda pembangunan apapun pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia.
Sedikit saya nukil isi pidato Presiden Jokowi di Sentul ketika ditetapkan sbg presiden terpilih “…kita harus mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya. Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka yang sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, yang menghambat investasi, semuanya harus dipangkas, baik itu perizinan yang lambat, yang berbelit-belit, apalagi ada punglinya! Hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, saya kontrol, saya cek, dan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan-hambatan investasi karena ini adalah kunci pembuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.”
Jika mendengar isi pidato ini, kita bisa saja membayangkan bahwa negara sedang berada pada arah pendekatan anti-perencanaan (anti-planning perspective) / laissez feire di mana negara tidak perlu menyusun agenda perencanaan pembangunan. Biarkan “pasar” dan “tangan-tangan tak terlihat” yang menentukan langkah-tindakan yang lebih efisien (Sarosa, 2019). Alasan sederhananya adalah negara tidak akan mampu memperkirakan keadaan yang mendatang.
Pada periode pertama kepemimpinan Jokowi, poros maritim yang digaungkan olehnya adalah membangun pelabuhan dan memastikan jalur pelayaran aman, serta mengamanatkan pembentukan rencana zonasi yang diskriminatif terhadap nelayan tradisional sbg entitas awal pesisir Nusantara.
Lagi-lagi, saya sedang membayangkan keluarga-keluarga nelayan yang digusur, dirampas ruang lautnya, ditimbun lautnya, dililit hutang akibat tak mendapatkan ikan lagi, serta harus beralih profesi adalah akibat negara yang tidak menawarkan perencanaan yang berkeadilan.
Terakhir, saya sedang membayangkan bahwa dengan keadaan sedemikian rumit dan memilukan, masyarakat pesisir adalah kelompok yang paling layak dieksploitasi dengan upah yang tidak layak. Mereka adalah calon-calon pekerja murah untuk membuktikan bahwa agenda Presiden Jokowi “membangun dari pinggiran” telah sukses. Sukses merampas identitas sbg entitas mandiri dan menyediakan sumber manusia dengan harga murah untuk tidak alergi terhadap investasi.
*Aktifis Pesisir dan Pendamping Nelayan
Catatan Redaksi: Tulisan yang mengingatkan jamaah pads buku keren -The Anti-Politics Machine karya maestro Paman James Ferguson. Buku ini mengkritik secara frontal, ganas,bertonggak pada fakta empirik akan mantra mantra konsep “pembangunan” secara umum. Ia melihat rentetan kegagal demi keggalan kuasa planned development yang dipentaskan negara, khususnya Proyek Pengembangan Thaba-Tseka di Lesotho dari 1975-1984.