Tujuh Desakan Darurat Ekonomi

 Tujuh Desakan Darurat Ekonomi

Desakan 1: Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.

a) Kurangi porsi belanja untuk program populis secara signifikan.

●Alokasi APBN untuk berbagai program populis di 2026 (mencakup Makan Bergizi Gratis (MBG), hilirisasi, Koperasi Desa Merah Putih, subsidi dan kompensasi energi, sekolah rakyat, dan program tiga juta rumah) mencapai Rp1.414 triliun atau setara dengan 37.4% dari total belanja APBN.

b) Kembalikan Transfer ke Daerah (TKD) pada porsinya.

●Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerahmerupakan salah satu implikasi Inpres 1/2025 yang memangkas TKD 5.6% dari nilai awal APBN 2025.

●Penurunan TKD 24.8% pada tahun 2026 seperti yang diusulkan dalam RAPBN 2026, akan mempersulit pemerintah daerah menjalankan tugasnya dalam melayani masyarakat dan berpotensi mengakibatkan kenaikan pajak daerah yang membebani masyarakat.

c) Sesuaikan kebijakan penanganan tiga masalah gizi (triple burden of malnutrition) seperti stunting, obesitas, dan kekurangan gizi mikro berdasarkan bukti, sehingga Program MBG perlu direformasi sesuai tujuan.

●Alokasi sebesar Rp171 triliun (2025) dan Rp335 triliun (2026) terlalu besar dan tidak realistis, bahkan hampir 44% dari anggaran pendidikan. Alokasi tersebut berisiko tidak terserap dengan belum siapnya infrastruktur untuk pelaksanaan program skala besar.

●Anggaran MBG sebaiknya dialihkan untuk memperkuat dan pemerataan pelayanan kesehatan dasar, peningkatan kesejahteraan tenaga medis,meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru, serta memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga miskin seperti air bersih dan listrik.

d) Kembalikan alokasi dana pendidikan sesuai amanat UUD 1945. Gunakan untuk perluasan akses dan peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), perluasan akses ke sekolah negeri untuk jenjang menengah pertama dan atas, peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah, perbaikan desain dan nilai remunerasi guru dan dosen, peningkatan kualitas dan pendanaan pendidikan tinggi, dan perbaikan tata kelola serta rasionalisasi unit cost Pendidikan Tinggi Kementerian Lain (PTKL).

●Indeks Modal Manusia (IMM) Indonesia sebesar 0.54 pada tahun 2020 masih jauh dari target IMM sebesar 0,73 pada aspirasi Indonesia Emas tahun 2045, dan tertinggal dari beberapa negara di regional Asia Tenggara.

●Saat ini, dana pendidikan masih meliputi berbagai program, seperti MBG, yang tidak relevan dengan konteks pembangunan pendidikan.

Desakan 2: Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.

a) Kembalikan independensi KPK.

● Sejak Undang-Undang No.19 Tahun 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bagian eksekutif sehingga independensinya menurun. KPK perlu diperkuat dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi.

b) Pulihkan tata kelola BPK terutama dari konflik kepentingan politis.

●Badan Pemeriksa Keuangan juga sudah lama dikuasai politisi, sehingga perlu dipulihkan tata kelolanya sehingga meminimalkan konflik kepentingan.

c) BI harus kembali pada marwahnya sebagai bank sentral independen, bukan sebagai penyandang dana proyek politik presiden.

●Kebijakan Burden Sharing saat ini untuk mendanai program populis merupakan bentuk debt monetization dan fiscal dominance, tidak sejalan dengan tujuan utama Bank Indonesia (BI) menjaga stabilitas nilai mata uang dan tidak ikut campur dalam pendanaan pemerintah pusat, hal ini berisiko menimbulkan krisis kepercayaan oleh investor, inflasi, dan hilangnya peran stabilisasi.

d) Badan Pusat Statistik (BPS) harus independen dan kredibel, menyajikan dan menjelaskan data secara berimbang dan apa adanya, transparan dalam membuka metode pengumpulan data serta memberikan akses terhadap data.

e) Pastikan oposisi tetap hadir pada fungsi legislatif negara untuk kritik konstruktif dalam sistem politik dan demokrasi berlangsung sehat.

●Sejak 2014, Dewan Perwakilan Rakyat berlangsung minim bahkan tanpa oposisi seiring meningkatnya konsentrasi kursi koalisi pendukung pemerintahan, sehingga fungsi dan mekanisme pengawasan dan keseimbangan melemah.

f) Bagi Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Kejaksaan: Kembalikan marwah lembaga sesuai fungsi konstitusional, pastikan tidak terkooptasi kepentingan kekuasaan, dan pulihkan pengawasan dan keseimbangan yang sehat dalam demokrasi.

Desakan 3: Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.

a) Hentikan Mega-Danantara dan utamakan kesehatan persaingan pasar di mana BUMN turut hadir.

●Pembentukan super holding Danantara dengan anggaran Rp300 triliun berisiko hanya menambah lapisan birokrasi baru. Padahal, langkah yang lebih mendesak adalah mereformasi BUMN yang sudah ada. Perusahaan negara yang terus merugi harus ditutup, tata kelola diperkuat dengan transparansi yang ketat, dan dividen seharusnya dialihkan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan proyeksi rasio utang mencapai 40% PDB pada 2025, setiap rupiah pinjaman negara seharusnya digunakan untuk investasi produktif, bukan untuk membiayai birokrasi baru.

●Meskipun jumlah BUMN berkurang dari 118 pada 2018 menjadi 64 pada 2024, dominasi mereka masih sangat besar—dari sektor perbankan hingga perhotelan—dan seringkali menciptakan persaingan tidak sehat dengan usaha kecil. Hentikan penugasan TNI dan Polri pada ranah sipil termasuk pangan dan perlindungan sosial.

●Masuknya TNI dan Polri dalam ranah sipil secara langsung (seperti ikut andil dalam distribusi pasokan pangan) maupun secara tidak langsung (seperti anggota TNI dan Polri aktif yang menduduki jabatan di institusi sipil) mengaburkan batas kewenangan dan menimbulkan adanya ketimpangan kuasa dengan pelaku sipil, serta tidak selaras dengan kompetensinya.

●Penugasan TNI dan Polri3 pada ranah sipil, seperti penyediaan MBG dan distribusi pasokan pangan, dapat menggusur (crowd out) peran sektor swasta dan aktivitas usaha lokal maupun mematikan penciptaan lapangan kerja lokal yang sangat penting untuk pembangunan perekonomian setempat. Tinjau ulang Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

●Koperasi Desa Merah Putih dibangun dengan suntikan modal APBN Rp83 triliun dan potensi didorongnya bank BUMN untuk menyuntikkan modal tambahan membuat KDMP memiliki sumber daya yang sulit disaingi oleh usaha lokal atau BUMDes. Distorsi ini berisiko untuk mematikan berbagai usaha lokal. Selain itu, tanpa tata kelola yang baik, KDMP memiliki risiko kegagalan yang tinggi dan berpotensi menjalar ke bank BUMN serta anggaran fiskal apabila terjadi kondisi gagal bayar.

●Koperasi Desa Merah Putih dibangun secara tidak organik, sementara keberhasilan koperasi pada umumnya bertumpu pada inisiatif dari bawah (bottom-up), sebagaimana terbukti dari kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) pada masa Orde Baru4 yang dipaksakan melalui pendekatan top-down.

Desakan 4: Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang

menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.

a) Evaluasi menyeluruh dan longgarkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di sektor yang belum memiliki pemasok lokal berkualitas dan bina industri lokal yang perlu diperkuat melalui investasi SDM, transfer teknologi, dan pembangunan infrastruktur.

●Kebijakan TKDN yang terlalu kaku justru membebani dunia usaha, terutama UMKM. Alih-alih mendorong industri dalam negeri, TKDN yang ketat sering kali menimbulkan biaya produksi tinggi dengan kualitas yang belum sebanding, sehingga produk Indonesia kehilangan daya saing di pasar global, serta menimbulkan celah korupsi dalam proses perizinan maupun pengadaan. Studi ERIA (2023) dan CSIS (2023) menunjukkan bahwa penerapan TKDN memperburuk iklim investasi, menurunkan produktivitas industri, membebani konsumen dengan harga produk yang lebih mahal, menurunkan daya saing industri, memicu distorsi alokasi sumber daya, berpotensi melanggar aturan WTO, serta merugikan hubungan perdagangan internasional Indonesia dan akses Indonesia pada pasar global.

b) Cabut kebijakan perdagangan domestik dan internasional yang diskriminatif dan distortif serta menggantinya dengan mekanisme regulasi perdagangan yang lebih transparan dan adil, misalnya berbasis harga.

●Kuota impor komoditas strategis dan indikator kinerja utama berbasis stok, seperti stok beras, telah terbukti menciptakan distorsi pasar, monopoli segelintir pelaku usaha, serta rente ekonomi bagi pejabat dan pihak tertentu. Mekanisme penetapan kuota dan stok yang tidak transparan telah membuka ruang bagi praktik mafia kuota. Hal ini tidak hanya merugikan petani dan pedagang kecil karena harga jual tertekan, tetapi juga merugikan konsumen karena harga menjadi mahal serta pasokan tidak stabil.

●Temuan Stranas PK (2023) menegaskan bahwa kebijakan impor berbagai komoditas sangat rawan praktik korupsi, antara lain: (i) Penyalahgunaan wewenang, rente ekonomi, kartel, suap, pemerasan, kesepakatan ilegal, hingga politisasi; (ii) Rantai pasok daging penuh kolusi dan sulit diawasi atau dikontrol; dan (iii) Penetapan dan distribusi kuota tidak jelas, sementara persyaratan importir longgar, membuka peluang munculnya aktivitas perburuan rente.

c) Reformasi menyeluruh proses perizinan: sederhanakan prosedur, pangkas rantai birokrasi, dan pastikan transparansi dan akuntabilitas.

●Perizinan impor yang berbelit dan tidak transparan juga menjadi sumber inefisiensi dalam bentuk lambatnya arus barang, naiknya biaya logistik, dan lemahnya daya saing produk Indonesia. Transparansi yang rendah juga membuka peluang korupsi dan perburuan rente.

●World Bank (2024) mengungkap bahwa di Indonesia diperlukan 65 hari untuk mendaftarkan perusahaan asing baru, sementara di negara dengan efisiensi terbaik hanya butuh 3 hari. Kondisi “over-regulated” dalam birokrasi telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang menjadi ancaman bagi peningkatan daya saing Indonesia.

●Meski sudah berbasis elektronik, praktik penahanan izin dan proses yang sengaja diperlambat membuat perizinan tetap rentan dimanipulasi.

d) Berlakukan secara konsisten pemberian izin yang tertib dan transparan

●Berbagai macam perizinan, salah satunya izin usaha pertambangan (IUP), memiliki tumpang tindih kepentingan antar lembaga dan secara historis rawan menjadi celah korupsi.

●IUP juga sering diberikan secara tidak transparan dan dapat melibatkan pihak yang tidak memiliki kapabilitas dalam industri pertambangan, seperti organisasi kemasyarakatan. Penegakan terkait regulasi serta kebutuhan izin usaha sangat lemah di lapangan, salah satunya dalam pemenuhan kriteria Analisis Dampak Lingkungan

(AMDAL).

e) Berantas seluruh bentuk usaha ilegal di sektor ekstraktif, termasuk pertambangan maupun perkebunan, dalam rangka menegakkan amanat konstitusi.

●Amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (4) menekankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, namun kerap diabaikan dalam praktik penyelenggaraan ekonomi nasional.

Desakan 5: Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.

a) Reformasi desain program-program bantuan sosial untuk memastikan bantuan menjangkau masyarakat yang memerlukan dan efektif dalam memberikan dukungan kesejahteraan, yang mencakup: mengembalikan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai Bantuan Tunai Bersyarat, mengkonsolidasi program-program serupa di berbagai K/L antara lain integrasi bantuan pangan/beras dengan bantuan

Sembako/BPNT dan Program Indonesia Pintar dengan komponen pendidikan di PKH.

●Penyaluran kembali berbasis berbagai persyaratan di bidang kesehatan dan pendidikan (misalnya kunjungan ibu hamil ke posyandu, kehadiran anak di sekolah).

●Tingkatkan efektivitas program dalam memutus rantai kemiskinan antar-generasi, bukan sekadar bantuan konsumsi jangka pendek.

●Satukan Program Indonesia Pintar (PIP) dengan komponen pendidikan PKH, sehingga rumah tangga penerima hanya perlu mengakses satu mekanisme bantuan dengan sistem administrasi terpadu. Konsolidasi ini dapat mengurangi biaya administrasi, meningkatkan akurasi data penerima, dan memperkuat dampak kebijakan sosial (SMERU, 2022).

b) Pastikan akses kelompok rentan pada program bantuan sosial dan jaminan sosial baik dengan meluncurkan program baru seperti program bantuan lansia dan disabilitas maupun perluasan program jaminan sosial (kesehatan dan ketenagakerjaan) untuk lebih menjangkau kelompok ‘aspiring middle class‘ yang rentan. Selain itu perlu juga dipastikan sistem perlindungan sosial yang ada untuk lebih adaptif untuk dapat merespon lebih baik krisis yang terjadi di depan.

●Penurunan proporsi dan kesejahteraan kelas menengah di Indonesia tidak hanya mengurangi kontribusi konsumsi domestik, tetapi juga meningkatkan ketimpangan, melemahkan stabilitas demokrasi dan daya tahan ekonomi terhadap krisis.

●Hasil analisis TNP2K dan studi World Bank (2021) menunjukkan bahwa kelompok menengah memiliki peran penting dalam menjaga kontrak sosial, karena mereka merupakan basis penerimaan pajak sekaligus konsumen utama produk manufaktur dan jasa.

c) Ubah skema jaminan sosial fleksibel dan adaptif untuk pekerja informal/berbasis rumah tangga (home-based enterprise) agar pekerja informal dapat mengakses jaminan ketenagakerjaan dan pensiun dasar. Diperlukan juga perluasan sektor formal melalui penciptaan lapangan kerja yang berkualitas lewat peningkatan investasi produktif baik domestik maupun luar negeri. Ekonomi Indonesia tidak akan dapat maju dan tumbuh optimal dengan sektor formal hanya mencakup 50% dari total pasar tenaga kerja.

●Dorong pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi baik lewat perluasan akses pada modal, kemudahan perizinan, pendampingan, dan lainnya. Intervensi dan pendekatan top-down pemerintah harus dihindari karena justru kontraproduktif dan berlawanan dengan prinsip ekonomi masyarakat.

d) Reformasi subsidi energi dalam komponen anggaran perlindungan sosial dengan mengubah subsidi harga menjadi bantuan tunai/subsidi terarah pada kelompok menengah bawah.

●Ubah subsidi harga energi (BBM, listrik, LPG) yang bersifat regresif menjadi bantuan tunai atau subsidi terarah bagi kelompok menengah bawah. Sehingga, alokasi anggaran dapat dialihkan ke program perlindungan sosial yang lebih progresif, seperti PKH atau bantuan pendidikan/kesehatan.

e) Jamin ketersediaan dan stabilitas harga beras dan barang-barang pokok dengan mekanisme pasar.

●Sebagian besar penduduk Indonesia masih berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan, guncangan harga pangan, energi, atau krisis kesehatan dengan cepat mendorong mereka kembali ke kemiskinan (Asian Development Bank [ADB], 2022).

f) Blokir situs judi secara masif, tindak tegas agen/influencer yang mempromosikan situs judi, sediakan konseling dan edukasi secara proaktif, tingkatkan literasi digital dan finansial masyarakat, berdayakan masyarakat melalui rehabilitasi sosial dan pengembangan keterampilan kerja, jalin kerja sama dengan elemen masyarakat serta komunitas dalam upaya pencegahan dan rehabilitasi, perkuat kerja sama internasional untuk memberantas aktivitas judi lintas negara, dan dorong reformasi regulasi pembayaran digital.

Desakan 6: Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).

a) Implementasi regulasi perlu melalui proses penilaian dampak regulasi (regulatory impact assessment/RIA) oleh lembaga yang kredibel, independen, dan profesional sebelum penerapan program.

●Dorongan kebijakan berbasis bukti sangat penting mengingat program-program populis yang kerap diusung, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, hilirisasi sumber daya, serta subsidi dan kompensasi energi, berpotensi menambah tekanan fiskal jika diluncurkan tanpa kajian matang. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan semacam ini sering menggerus ruang fiskal dan mengurangi fleksibilitas pemerintah dalam merespons guncangan eksternal (World Bank, 2021). Awali program dengan proses uji coba (piloting) dengan luaran dan indikator dampak yang terukur dan transparan, kemudian tingkatkan skala program (mainstreaming) hanya pada program yang terbukti berhasil.

●Praktik internasional menekankan bahwa desain kebijakan publik harus didahului oleh kajian independen, penggunaan bukti kuantitatif, dan penerapan fase uji coba yang jelas dengan indikator luaran dan indikator dampak terukur.

●Oleh karena itu, setiap program baru sebaiknya diwajibkan melalui studi kelayakan oleh lembaga kredibel, independen, dan profesional, disertai tahap uji coba regional/temporal dengan indikator keluaran dan dampak yang dipublikasikan secara transparan (SMERU, 2022). Pembiayaan dan target harus dikaitkan dengan kerangka fiskal jangka menengah untuk menjaga prudensi anggaran (OECD, 2020). Laksanakan proses pemantauan untuk evaluasi proses program strategis oleh lembaga yang kredibel, independen, dan profesional, yang memastikan pelaksanaan program sesuai dengan perencanaan. Hasil dari evaluasi proses menjadi bagian dari perbaikan berkelanjutan suatu program.

●Mekanisme pemantauan berkala serta evaluasi perbaikan proses perlu dirancang agar kebijakan dapat dibatalkan atau disesuaikan jika tidak mencapai hasil yang ditujukan. Sehingga, proses pengambilan keputusan berbasis bukti dan keberlanjutan fiskal dapat tercapai.

Desakan 7: Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.

a) Kembali pada amanat UU TNI No. 34 Tahun 2004, militer hanya untuk pertahanan.

●Jabatan sipil harus diisi lembaga sipil, dengan pengawasan ketat dan perlindungan HAM.

b) Hentikan segala bentuk represi, intimidasi, dan kekerasan.

●UUD 1945 Pasal 28 menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul. Negara wajib melindungi hak rakyat, bukan sebaliknya.

c) Berikan ruang lebih besar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dalam perencanaan kebijakan, serta bangun mekanisme imbal balik (feedback loop) agar kebijakan dapat terus diperbaiki.

d) Terapkan sistem berbasis meritokrasi dalam perekrutan pejabat publik dan BUMN.

●Saat ini terlalu banyak jabatan yang dibagi kepada pihak dekat penguasa meskipun tidak kompeten, sehingga mengurangi efisiensi pemerintahan.

e) Larang pejabat publik melakukan rangkap jabatan dan menduduki jabatan di perusahaan swasta maupun BUMN, karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

f) Partai politik harus dikelola secara profesional, bukan dikuasai oleh kroni tertentu.

●UUD 1945 Pasal 24C menegaskan pemisahan kekuasaan. Pejabat publik bekerja untuk rakyat, bukan untuk partai tertentu, BUMN, atau swasta.

g) Berantas budaya suap antara perusahaan dan pejabat publik.

Berdasarkan survei World Bank (2023), 35,4% perusahaan besar di Indonesia mengalami setidaknya satu kali permintaan pembayaran suap, 44,0% perusahaan besar di Indonesia perlu membayar suap untuk mendapatkan izin operasional dan 60,9% perusahaan besar perlu membayar suap untukmendapatkan izin konstruksi.

Bagikan yuk

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *