Setelah Mengeruk Tambang, Kini Dana Haji pun Ikut Dikeruk

Oleh: Thoyyiz Zaman / Pegiat Rumah Baca Komunitas, Mahasiswa Magister KPI UIN Sunan Kalijaga
Diantara berbagai kasus yang menguras emosi masyarakat, selain tunjangan rumah dinas DPR yang menyentuh angka 50 juta rupiah dan joget-joget – ditengah-tengah rintihan orang-orang kecil – muncul kasus yng menyayat hati. Betapa tidak, haji yang sejatinya menjadi momen yang sakral bagi jutaan umat, untuk menyempurnakan rukun islam yang lima, kini menjadi salah satu peristiwa yang sangat memilukan. kita disuguhi cerita getir bahwa dana haji atau tabungan suci umat yang seharusnya murni untuk ibadah ikut menjadi sasaran korupsi. mereka menjarah dana umat.
Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa, tanah yang subur, kaya tambang, penuh hasil bumi, dan laut yang berlimpah ikan. Ironisnya, di balik limpahan kekayaan itu, rakyat justru sering mendengar kabar bahwa sumber daya alam dikeruk habis tanpa banyak dirasakan manfaatnya oleh Masyarakat sekitar. Masyarakat menjadi gelisah karena aktivitas pertambangan yang mengganggu dan mencemari tanah mereka. Seakan tidak puas dengan semua itu Kementerian agama yang diketuai oleh Yaqut Kholil Qoumas, terjerat kasus penggelapan dana haji, sehingga tentu selain menzalimi umat, hal tersebut memberikan kerugian yang banyak terhadap kas negara, bahkan menurut keterangan KPK, kerugian disinyalir mencapai 1 triliun rupiah. Dana haji seakan menjadi primadona untuk ladang pengerukan uang rakyat, melihat ada kasus yang sama dilakukan oleh kemenag pada periode sebelumnya, yang dilakukan oleh Surya dharma Ali dan Said Agil Husin Al Munawar.
Dana haji seyogyanya adalah simpanan umat, dikumpulkan dengan sabar dan penuh harap agar suatu saat bisa berangkat menunaikan ibadah haji di tanah haram, Makkah. Namun alih-alih dijaga, dana itu malah masuk ke daftar panjang praktik korupsi. Kasus penyalahgunaan dana haji di Kementerian Agama bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan umat.
Apa yang terjadi dengan dana haji sejatinya bukan hal baru. Logikanya, bahwa dana haji saja bisa dikorupsi apalagi Lembaga-lembaga yang lain. Kita sudah terbiasa melihat bagaimana tambang emas, nikel, batu bara, dan minyak dikelola dengan cara yang lebih banyak menguntungkan elit daripada rakyat. Alam rusak, hasilnya dibawa keluar negeri, sementara masyarakat sekitar tambang tetap miskin. Kini pola yang sama merambah ke ranah yang lebih sakral: dana haji dijadikan “tambang baru” yang bisa digali demi kepentingan segelintir orang.
Dimensi Moral dan Spiritual
Korupsi dana haji bukan sekadar tindak pidana korupsi biasa, melainkan kejahatan yang merusak sendi moral dan spiritual bangsa. Dana haji yang terkumpul itu merupakan hasil jerih payah umat yang menabung dengan penuh harap dan bertahun-tahun lamanya, menunda kebutuhan lain, bahkan rela hidup sederhana demi satu tujuan, yaitu menunaikan ibadah di tanah suci. Menyalahgunakan dana itu berarti merampas mimpi, doa, dan pengorbanan umat.
Iebih ngerinya lagi, kasus ini terjadi di bawah lembaga yang seharusnya menjadi teladan yang amanah dan adil. Sebagai institusi yang membawa nama agama, Kementerian Agama mestinya ia berdiri sebagai penjaga nilai kejujuran, keadilan, dan kesucian. Namun ketika justru lembaga ini terjerat korupsi, luka yang ditinggalkan jauh lebih dalam. Bukan hanya kerugian material, tetapi juga hilangnya kepercayaan umat kepada lembaga yang seharusnya membimbing masyarakat menuju kebenaran.
Secara spiritual, korupsi dana haji adalah penghinaan terhadap kesucian ibadah itu sendiri. Haji adalah panggilan Allah, puncak perjalanan iman seorang muslim. Menodai dana haji berarti menodai ibadah yang menjadi rukun Islam, menukar nilai sakral dengan kepentingan duniawi. Pada akhirnya, korupsi dana haji tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan akhlak. Ia menyingkap krisis moral di tengah bangsa yang religius. Dan di hadapan Tuhan, tidak ada dalih yang bisa membenarkan kezaliman ini.
Dampak Sosial dan Politik
Kasus dugaan korupsi dana haji yang menyeret Kementerian Agama menimbulkan kekecewaan yang begitu dalam di tengah masyarakat. Dana haji bukanlah sekadar angka dalam laporan keuangan negara, melainkan amanah yang mengandung dimensi spiritual, moral, dan sosial. Ia lahir dari pengorbanan panjang para calon jamaah yang menabung bertahun-tahun. Ketika dana sebesar itu justru disalahgunakan, yang rusak bukan hanya aspek finansial, tetapi juga kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kesucian ibadah.
Dampak sosialnya langsung terasa, umat Islam merasa dikhianati, kecewa, bahkan mengalami keterasingan moral. Mereka mulai meragukan apakah uang yang dikumpulkan benar-benar digunakan sebagaimana mestinya, ataukah justru menguap di tangan segelintir pejabat. Kekecewaan itu bukan sekadar keluhan administratif, tetapi luka spiritual yang menggerus rasa hormat pada institusi keagamaan formal. Akibatnya, sebagian masyarakat menjadi apatis, menilai bahwa negara gagal menjaga amanah yang paling sakral.
Di ranah politik, kasus ini berpotensi meruntuhkan legitimasi pemerintah dan Kementerian Agama sebagai institusi moral. Korupsi dana haji bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan krisis kepemimpinan etis yang memperlihatkan betapa rentannya birokrasi keagamaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Situasi ini membuka ruang bagi oposisi untuk mengangkat isu tersebut sebagai senjata politik, menimbulkan polarisasi, dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap narasi besar “pemerintahan yang bersih.” Namun pada saat yang sama, tekanan publik yang semakin kuat juga memaksa lahirnya tuntutan reformasi: perbaikan tata kelola dana haji, pengawasan yang lebih transparan, hingga keterlibatan lembaga independen seperti KPK dalam proses audit dan pengawasan.
Dengan demikian, korupsi dana haji tidak hanya meninggalkan luka, tetapi juga membawa pesan keras tentang pentingnya membangun sistem yang benar-benar akuntabel. Jika ditangani dengan tegas dan transparan, kasus ini bisa menjadi momentum pembenahan mendasar, bukan hanya dalam pengelolaan dana haji, tetapi juga dalam membangun kembali kepercayaan publik terhadap negara. Namun jika dibiarkan tanpa penyelesaian yang bermakna, ia akan terus menghantui relasi antara umat dan pemerintah, menimbulkan keretakan sosial, sekaligus menggerus legitimasi politik yang sulit dipulihkan.